Memaknai Kembali Nilai-Nilai Kebangsaan Dalam Ritual Sipaha Lima
Warisan kolonial yang menganggap nilai-nilai lokalitas sebagai sesuatu yang primitif dan perlu ditinggalkan mengakibatkan penderitaan terhadap berbagai ajaran, praktik, dan ritual yang ada pada penganut agama leluhur di Indonesia hingga saat ini. Nilai-nilai tersebut sesungguhnya adalah pembentuk dari nilai dan identitas kebangsaan Indonesia. Salah satu contohnya adalah ritual Sipaha Lima yang merupakan ritual tahunan yang wajib dilakukan dalam tatanan ibadah umat Parmalim di Sumatera Utara. Tradisi Sipaha Lima dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas apa yang mereka dapatkan kepada sang pencipta. Upaya mempertahankan ritual ini menghadapi berbagai tantangan karena umat Parmalim sendiri masih sering mengalami misrekognisi dan berbagai tantangan kewargaan.Dengan membayangkan FKD 2022 episode ke-24 yang bertemakan “Sipaha Lima dan Penguatan Budaya Nusantara” , tulisan ini berupaya untuk melihat kembali tradisi Sipaha Lima sebagai bagian dari budaya nusantara yang spiritualitasnya dapat menjadi penguat nilai-nilai kebangsaan.
Misrekognisi terhadap Agama Parmalim
Parmalim merupakan salah satu komunitas agama leluhur di Indonesia. Namun, kebijakan untuk meregulasi Penghayat Kepercayaan di dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuatnya dianggap sebagai budaya dan bukan agama, sebagaimana yang diakomodir oleh Kementerian Agama. Pembedaan agama dengan kepercayaan dan budaya memiliki keterkaitan sejarah dengan proyek pemberadaban (pemberadaban) dan peng-agama-an (religionizing) di era kolonial. Engkus Ruswana dalam tanggapannya misalnya menyebut bagaimana dunia agama-agama di zaman penjajahan datang menyebarkan agamanya dengan menyembunyikan agama lokal yang ada. Mereka disebut animis, primitif, dan sesat.Stigma terhadap sistem kehidupan—termasuk keagamaan—masyarakat lokal inilah yang kemudian diwariskan hingga hari ini.
Misrekognisi terhadap agama leluhur seperti Parmalim terjadi secara simultan baik di ranah sosial keseharian maupun politik kebijakan. pengacara dengan tegas mengakui status dan haknya dalam konstitusi—yang juga pada tahun 2017 kembali ditegaskan keadilannya dengan agama melalui putusan Mahkamah Konstitusi, kelompok penghayat kepercayaan terus berjuang untuk dapat diakui sebagai warga negara yang setara. Paradigma agama yang sudah sekian lama mendominasi dengan berbagai standarnya—harus memiliki kitab suci, nabi, dan bersifat monoteis—masih belum benar-benar bisa diatasi.Fakta bahwa Kementerian Agama hanya mengakomodir enam agama dan tereksklusinya Kepercayaan dari FKUB dan forum-forum lintas agama adalah di antara yang melanggengkan misrekognisi terhadap kelompok penghayat seperti Parmalim.
Nilai Kebangsaan dalam Spiritualitas Sipaha Lima
Dengan misrekognisi yang dialami penganut Parmalim, kekayaan nilai spiritual dan keagamaan dalam ajaran, praktik, dan ritual mereka, termasuk Sipaha Lima, cenderung direduksi. Padahal, sebagai bagian dari tradisi lokal nusantara, Sipaha Lima adalah elemen penting pembentuk identitas bangsa. Dalam wacana Kepercayaan di Indonesia saat ini, Sipaha Lima dapat dipahami sebagai bagian dari Budaya Spiritual yang merupakan salah satu pokok penting dalam menyusun Kepercayaan.Direktorat KMA dalam Buku Saku Kepercayaan tahun 2022 mendefinisikan Budaya Spiritual sebagai “ekspresi spiritual dalam ragam bentuk seperti kelisanan, perilaku (ritualistik) dan materi (simbol)” yang merupakan bagian dari kreativitas pemilik dan pelestarinya dalam mengkomunikasikan pengalaman dan pengetahuan terkait hubungan harmoni kosmos yang selaras , seperti hubungan dengan Tuhan, manusia, dan/atau alam. Kreativitas ini untuk dipahami, diamalkan, dikembangkan, dan dimanfaatkan sesuai konteks kehidupan sosio-kultural suatu masyarakat.
Jika melihat pada konteks Sipaha Lima, tokoh Parmalim yang mewariskan tradisi ritual Sipaha Lima adalah Si Singamangaraja. Ritual yang memiliki nilai sakral dan spiritual ini dipraktikkan sebagai bentuk peribadatan. Selain itu, mereka juga memiliki keyakinan terkait pelaksanaan ritual bahwa: pertama, seluruh umat Parmalim wajib mematuhi pati (titah); kedua, mereka harus mematuhi segala aturan yang ada di Parmalim; ketiga, mereka harus melakukan segala aturan dengan kesucian.Aturan-aturan yang dimaksud meliputi ibadah rutin setiap hari Sabtu, mengadakan ritual membuat nama setelah satu bulan kelahiran seseorang, mengadakan ritual atau doa setelah satu bulan meninggalnya seseorang, mengadakan ritual ketika mendapatkan rezeki lebih, mengadakan ritual penggantian dosa yang telah dilakukan selama setahun penuh, mengadakan ritual di hari tua,
Ritual Sipaha Lima dilakukan dengan mempersembahkan sesajen dari hasil jerih payah dan kerja umat Parmalim berupa lembu, kambing, dan ayam. Pelaksanaannya dipimpin oleh seorang pemimpin agama dan disaksikan oleh umat Permalim yang menggunakan pakaian adat Toba. Ritual ini didefinisikan sebagai persembahan terhadap Debata Mulajadi na Bolon , nama lain dari Tuhan Yang Maha Esa. Umat Parmalim melangsungkan ritual ini dengan tujuan mengungkapkan rasa keimanan, ketuhanan, kasih sayang, kedisiplinan, penyantunan, dan rasa syukur atas nikmat hidup yang diberikan selama setahun.
Para penanggap dalam seri FKD ini mengungkapkan bahwa Sipaha Lima mengandung nilai-nilai kebangsaan yang sangat luhur. Nia Sjarifudin misalnya menyebut bahwa ritual Sipaha Lima dapat dikatakan bersifat pancasila karena terkait dengan spiritualitas kepercayaan kepada Tuhan dan memiliki nilai egaliter yang mencerminkan melalui kerja sama yang tanpa membedakan status dan kedudukan. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa sikap penganut Parmalim bahkan dapat menjadi contoh dalam kehidupan beragama di Indonesia yang sangat majemuk. Menurutnya, agama Parmalim sebagaimana agama-agama leluhur lain di Indonesia tidak memiliki karakter misionaris sehingga tidak memiliki intensitas untuk menganut agama pemeluk lain ke dalam agamanya.Dengan demikian, sikap mereka terhadap agama lain sangat terbuka dan positif.
Namun demikian, penganut Parmalim masih terus berupaya mempertahankan ritual Sipaha Lima beserta nilai-nilainya dan tentu saja agama mereka secara keseluruhan. Dalam hal ini, tantangan mereka adalah untuk memperkuat status dan pemenuhan hak kewargaannya. pandangan penganut agama Parmalim telah teregistrasi sebagai kelompok Penghayat Kepercayaan, mereka masih mengalami berbagai persoalan baik di ranah politik kebijakan maupun ruang keseharian. Dalam kaitannya dengan regulasi, pencatatan kolom Kepercayaan di KTP mereka misalnya adalah masalah yang tidak mudah dilaksanakan di lapangan.menjelma mengubah kolom KTP ini kemudian berimplikasi pada banyak hal pemenuhan hak-hak yang lain seperti hak atas pekerjaan, pendidikan, pencatatan buku, dan lain-lain. Dalam hal pendidikan, di luar kebutuhan akan dasar hukum yang lebih kuat dari Permendikbud tentang Pendidikan Kepercayaan, isu yang tidak kalah pentingnya dalam konteks ini adalah soal penguatan pengetahuan lokal seperti ritual Sipaha Lima melalui rekognisi dan inklusi dalam sistem pendidikan.
Penulis: Sry Lestari Samosir