Peringatan Suro MLKI DIY 2023: Perenungan Spiritual dalam Kebersamaan
Satu Suro dikenal sebagai pergantian tahun dalam kalender Jawa. Pada tahun 2023, satu Suro jatuh pada tanggal 18 atau 19 Juli lalu. Peringatan Satu Suro sangat lekat dengan budaya Jawa, begitupun pada masyarakat Penghayat Kepercayaan salah satunya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Masing-masing paguyuban penghayat kepercayaan di DIY memiliki cara tersendiri dalam memaknai Sasi Suro (Bulan Suro). Mereka mengadakan acara di paguyuban mereka untuk memperingati pergantian tahun kalender Jawa ini. Namun, mereka juga memiliki kegiatan yang dilakukan bersama-sama.
Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) DIY memeringati Sasi Suro dengan kegiatan Suran Semedi. Kegiatan ini dilaksanakan pada Senin Kliwon, 7 Agustus 2023 bertempat di Pantai Goa Cemara, Sanden, Bantul. Kegiatan ini dikoordinasi langsung oleh MLKI DIY dan difasilitasi oleh Dinas Kebudayaan DIY (Kundha Kabudayan) Bidang Adat dan Tradisi. Berdasarkan informasi dari Dra. Sri Endang Sulistyowati, kegiatan Suran ini dihadiri oleh 26 paguyuban yang tersebar di seluruh DIY yang terbagi dari wilayah Sleman, Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul dan Yogyakarta. Selain itu, acara ini juga dihadiri oleh Dinas Kebudayaan DIY yang diwakili dari Bidang Adat dan Tradisi serta beberapa tamu undangan dari komunitas-komunitas di DIY.
Rangkaian Ritual dalam Kegiatan Suran Semedi
Acara dimulai dengan manembah lintas paguyuban, di mana setiap paguyuban melakukan manembah sesuai dengan adat dan tradisi dari leluhurnya. Menurut Presidium MLKI Drs. Bambang Purnomo, M.Sc., kegiatan ini merupakan manembah bersama seluruh Penghayat DIY. Melalui manembah bersama, setiap paguyuban yang memiliki tata cara manembah masing-masing bisa saling mengetahui dan menghargai. Prosesi acara sujud diiringi dengan macapat untuk mengheningkan suasana dan membakar dupa yang dilakukan masing-masing paguyuban. Selepas melaksanakan manembah, dilaksanakan Kirab yang dilakukan dari Pendopo 1 ke Pendopo 2. Prosesi Kirab dibuka oleh Duo Sekar, tiga orang pemudi dari perwakilan Gema Pakti yang bertugas menabur bunga di barisan depan, lalu diiringi oleh anggota MLKI DIY dan anggota paguyuban dengan membawa saji masing-masing.
Setelah Kirab dilaksanakan, selanjutnya adalah rangkaian seremonial yang dimulai dari menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan Pancasila, dan laporan yang disampaikan oleh Harjo Daryono, SH, MH kn. Acara dilanjuutkan dengan tarian Sekar Pudyastuti oleh salah seorang perwakilan Gema Pakti. Pembukaan secara resmi dilaksanakan oleh Presidium MLKI DIY Drs. Bambang Purnomo, M.Sc dan perwakilan Dinas Kebudayaan Bidang Adat dan Tradisi, Isna Elfianti, S.H. Acara seremonial ditutup dengan serah terima buletin Wening kepada masing-masing perwakilan dari kabupaten dan doa yang dipimpin oleh Rama Daryono dari Paguyuban Eklasing Budi Murko (PEBM).
Kegiatan Suran Semedi ini diakhiri dengan Larung Sesaji yang dilaksanakan oleh perwakilan paguyuban PEBM yaitu Rama Daryono dan Ki Trisno Rahardjo. Dengan iringan macapat oleh Dewi Dersonolo perwakilan dari paguyuban Tulis Tanpo Papan yang berjalan menuju pantai membawa sesaji, dan berdoa sambil membakar dupa sebelum melakukan Larung Sesaji. Makna Larung Sesaji ini adalah supaya setiap manusia dalam kehidupannya harus mau berkorban. Lilin, salah seorang pemudi Penghayat Kepercayaan berharap kegiatan Suran Semedi ini bisa membuat seluruh anggota paguyuban Penghayat di DIY saling bersinergi, bertemu, menghargai, mengenal, dan srawung untuk menyadari bahwa kita adalah satu keluarga sebagai Penghayat Kepercayaan.
Nilai Spiritual dalam Peringatan Suran
Dalam peringatan Sasi Suro yang mewakili awal tahun dalam kalender Jawa, ritual pembersihan atau penyucian spiritual dilakukan dengan tujuan menghilangkan energi negatif serta mengaharapkan perlindungan untuk tahun yang akan datang. Menurut pengakuan Romo Suroso, salah satu anggota MLKI dari Paguyuban PPN, Sasi Suro tidak semestinya diresepsikan sebagai sesuatu yang mistis sebagaimana banyak disalahpahami oleh banyak kalangan. Namun, Sasi Suro adalah waktu di mana umat selayaknya banyak bertirakat untuk merefleksikan apa saja yang telah dilalui dalam satu tahun terakhir kehidupannya. Sasi Suro sendiri merupakan waktu untuk terhubung dengan alam dan yang ilahi, merayakan alam dan membangun keharmonisan spiritualitas bersama. Spiritualitas masyarakat Jawa seringkali didasarkan pada harmonisasi kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan seperti terang dan gelap, jauh dan dekat. Namun dengan sudut pandang yang lain, oposisi biner tersebut sejatinya dianggap sebagai sesuatu yang saling melengkapi seperti pria dan wanita. Baik individu ataupun komunitas sama-sama berjuang untuk keseimbangan dalam dan luar selama Suro, yang mencerminkan nilai fundamental ini.
Berbagai rangkaian kegiatan Suran memiliki maknanya tersediri. Ritual tersebut merupakan gerakan simbolis untuk menghormati leluhur mereka. Dalam Larung Sesaji misalnya, menandakan hubungan mendasar antara alam terestrial dan alam spiritual, mengakui kehadiran kekuatan lain selaian manusia. Larung sendiri juga merupakan manifestasi fisik dari rasa terima kasih, rasa hormat, dan kerinduan akan keharmonisan dengan kekuatan tak terlihat yang bersinergi dengan manusia. Sedangkan Kirab, atau prosesi iring-iringan, meningkatkan nilai spiritual dengan menyatukan komunitas dalam perjalanan bersama. Orang-orang yang berpartisipasi dalam Kirab, membawa persembahan dan sesajen mereka dari setiap kabupaten, menyalurkan kesatuan tujuan dan dedikasi bersama.
Suran sebagai Momen Perayaan yang Inklusif
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa yang menghadiri kegiatan Suran ini berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Pada prosesi Kirab misalnya, peserta yang tergabung tidak hanya dari kalangan penghayat saja melainkan beberapa undangan dari identitas kepercayaan atau agama berbeda juga ikut dalam barisan. Hal ini menunjukkan harmonisasi dalam perbedaan berkeyakinan yang ditonjolkan melalui Suran 1957 Jimawal, tahun baru kalender Jawa. Untuk memahami perspektif non-penghayat kepercayaan terkait tradisi Suran, kami pun menanyai pendapat peserta yang menghadiri acara ini.
Selama proses seremonial berlangsung, kami bertegur sapa dengan seorang bapak paruh baya yang duduk di samping kami, sayangnya kami tidak saling menyebutkan nama masing-masing. Bapak ini merupakan penganut Katolik yang mengidentifikasi dirinya sebagai abangan. Ia bercerita bahwa tantangannya saat ini bagi beberapa penghayat yakni terkait pasal administrasi negara. Pada akhirnya, beberapa dari mereka mencatatkan salah satu dari 6 “agama resmi” sebagai identitas dalam kolom agama di KTP dengan tujuan mempermudah urusan pencatatan sipil seperti pernikahan, akte lahir, dan pendidikan anak. Selaku penganut agama Katolik, ia sangat menghargai tradisi leluhur yang selama ini dilakoni oleh nenek buyutnya. Sehingga ketika mendapat undangan dari MLKI DIY dalam perayaan Suran, ia menghadirinya dengan penuh antusiasme dan menghormati setiap rangkaian acara tersebut dengan ikut berperan serta. Selain itu, terlihat beberapa peserta perempuan yang merupakan penghayat kepercayaan mengenakan hijab dalam balutan pakaian tradisional. Mereka memperhatikan secara khidmat kata demi kata yang diucapkan menggunakan bahasa Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa Sasi Suro bukan secara ekslusif milik satu kelompok tertentu dalam masyarakat Jawa tetapi merupakan satu tradisi leluhur yang memiliki makna penting untuk dilestarikan bersama-sama.
Tim Redaksi: Puti Ayu Anandita, Zulfikarni Bakri, Puja Alviana Dewantri, Fany N. R. Hakim