FKD 2023Forum Kamisan DaringProgram

RUU Masyarakat Adat dan Dampaknya terhadap Perlindungan Hutan dan Lingkungan

RUU Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) adalah sebuah usulan undang-undang yang bertujuan untuk melindungi hak-hak dan kepentingan masyarakat adat di Indonesia. RUU ini mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah, sumber daya alam, serta budaya mereka.

Dalam konteks hutan, RUU MHA memiliki potensi positif untuk mengurangi deforestasi dan kerusakan lingkungan. Pengakuan hak masyarakat adat atas tanah mereka dapat mendorong praktik pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dengan mengandalkan pengetahuan tradisional mereka dalam mempertahankan keanekaragaman hayati dan menjaga keseimbangan ekosistem.

Namun, dampak RUU MHA terhadap hutan dan lingkungan juga memiliki tantangan. Jika tidak ada pengaturan yang jelas, penggunaan hak-hak ini oleh Masyarakat Adat mungkin juga berpotensi memicu eksploitasi sumber daya yang tidak terkendali.

Di sisi lain, FKD episode #12 yang mengangkat tema “RUU Masyarakat Adat dan Dampaknya terhadap Perlindungan Hutan dan Lingkungan” ini, Glory Prayoga Victor, seorang mahasiswa MPRK UGM sekaligus perwakilan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), menyatakan bahwa Masyarakat Adat merupakan warga negara asli Indonesia yang selama ini hidup ditengah- tengah ancaman terhadap ketidakpastian hidup. Sebagai pemilik asli suatu wilayah, hak-hak Masyarakat Adat hingga yang saat ini masih belum terdistribusikan secara maksimal membuat Masyarakat Adat hanya menjadi penonton di tengah perkembangan zaman yang semakin maju.

Sedangkan Yuli Prasetyo, penanggap dari KLHK, dalam paparannya mengenai masyarakat hukum adat dan hutan adat menyebutkan bahwa hingga Oktober 2019 terdapat 718 bahasa daerah. Sayangnya, bahasa-bahasa daerah tersebut mulai ditinggalkan para penuturnya, ini menjadi salah satu penanda hilangnya Masyarakat Adat selain tanah atau wilayah.

Terkait wilayah, dalam hal ini hutan, Yuli menyebutkan bahwa undang-undang kehutanan selalu berkelindan dengan proses politik yang terjadi di Indonesia, misalnya saja ketika tahun 1966 terjadi kerusuhan menuju lalu pada tahun 1967 keluar undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan yang menganeksasi hutan menjadi hutan negara. Kemudian pada masa Reformasi 1998 lalu pada tahun 1999 keluar undang-undang nomor 41 tentang kehutanan, di mana terdapat pasal-pasal di dalamnya yang dianggap tidak tepat bagi Masyarakat Adat. Hal semacam ini terus terjadi karena sebelum putusan MK No.35 pada saat itu keberadaan Masyarakat Adat tidak ada dalam pemikiran para pemangku negara.

Dalam kesempatan ini diputarkan pula video dokumenter produksi KLHK tentang Awig-Awig yakni tradisi menjaga Hutan Adat Tenganan oleh Masyarakat Adat di dalamnya. Masyarakat Adat ini merupakan contoh diakuinya perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat untuk melanjutkan konservasi hutannya.

Selengkapnya:

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Lihat Juga
Close
Back to top button