FKD 2023Forum Kamisan DaringProgram

Eksistensi Agama Leluhur di tengah Keberagaman: Cerita dari Minahasa

Diskusi Forum Kamisan Daring episode #15 bertemakan “Eksistensi Agama Leluhur di tengah Keberagaman: Cerita dari Minahasa”.  Secara khusus, episode ini mengajak kita mendengarkan cerita dari tanah Minahasa tentang bagaimana pratik-praktik yang dilakukan dalam menjaga eksistensi Agama Leluhur di tengah keberagamaan yang ada.

Agama Leluhur memiliki sejarah panjang tentang usaha-usaha dalam menjaga eksistensinya sebelum sampai pada posisi saat ini. Bagi mereka yang mempraktikkan ajaran Agama Leluhur, sejatinya bukan hanya sekadar satu bentuk kepercayaan semata, tetapi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas budaya dan warisan yang mereka miliki.

Namun, seringkali persoalan yang ada di lapangan menunjukkan adanya sebuah segregasi ruang berbasis agama yang secara tidak langsung akan menjadi preseden yang secara simbolik mengkomunikasikan ketidakharmonisan dalam sebuah realitas masyarakat itu sendiri. Hal ini tentu akan berdampak pada keberadaan Agama Leluhur dan hubungannya dengan realitas yang ada di sekelilingnya.

Febriani P. Sumual (Pemuda Adat Minahasa), sebagai pemuda adat menyatakan bahwa pemuda adat merupakan penjaga dan pewaris Agama Lehur yang menjamin keberlanjutan ajaran-ajarannya. Di Minahasa sendiri, pemuda diberi ruang dan memainkan peran sentral dalam ritual, misalnya bertugas menjadi pemandu acara atau pembawa sesajen. Selain itu, banyak orang mulai kembali pada kesadaran jati diri bahwa dirinya memiliki nilai dan tradisi budaya Minahasa bahkan dalam kegiatan sinodal.

Berbeda dengan Febriani, Iswan Sual (Penghayat Lalang Rondor Malesung Minahasa) menceritakan bahwa ia dan saudara-saudara penghayatnya baru berani melakukan upacara kerohanian secara terbuka sejak tahun 2016. Ritual paling besar misalnya, dilakukan ketika bulan purnama yang dilakukan di tengah hutan yang berjarak 4km dari pemukiman sehingga menyulitkan bagi orang-orang berusia lanjut yang ingin melakukan ibadah. Alasan-alasan ini menjadi salah satu alasan didirikannya Laroma (Lalang Rondor Malesung Minahasa) yang akan banyak membantu warga.

Untuk menghindari stigma buruk yang beredar, maka ritual-ritual Laroma didokumentasi dan dipublikasikan melalui Facebook. Harapan dari usaha ini adalah tersampaikannya pemahaman yang benar yang bersumber dari Penghayat itu sendiri, sayangnya hal ini justru memicu ketidaksenangan dari masyarakat yang ingin ritual mereka dilakukan secara tertutup karena ketika dilakukan secara terang-terangan hal ini justru dianggap sebagai ancaman atau menantang.

Mary Silvita (Center for Indonesian Cultural Initiatives), menanggapi hal tersebut dengan menceritakan pengalaman-pengalamannya dalam mengadvokasi penghayat. Lebih jauh, ia menyebutkan bahwa tidak ada keadilan restorasi untuk pelanggaran HAM, “Membubarkan ibadah artinya melanggar HAM dan itu berat, jangan dianggap enteng. Ketika kita dipersekusi saat sedang beribadah, sejatinya itu adalah pelanggaran HAM karena hak beribadah di dalam sistem hukum negara kita masuk dalam regulasi undang-undang dasar”

Selengkapnya:

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button