Tradisi Agama Leluhur dalam Memaknai Bulan Suro
20 Juli 2023, FKD 2023 yang ke-16 ini mengangkat tema “Tradisi Agama Leluhur dalam Memaknai Bulan Suro”. Dimoderatori oleh Eka Yuniati, mahasiswi Antropologi UGM sekaligus Volunteer ICIR, FKD kali ini dihadiri sekitar 20 orang.
Prof. Dr. Purwo Susangko M.Pd selaku narasumber pertama dari Penghayat Kejawen Maneges menjelaskan bahwa Kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah ajaran murni sebelum adanya ajaran agama dunia yang dikenal saat ini. Kejawen Maneges merupakan organisasi Penghayat Kepercayaan asli atau murni Jawa (Jawa Dipa) sebelum ajaran Hindu, Budha, Kristen dan Islam masuk ke Tanah Jawa. Ajaran ini dilestarikan oleh salah seorang Tumenggung dari Kerajaan Majapahit yaitu Eyang Wiragati. Kejawen Maneges bertujuan untuk mengembangkan delapan sila atau ajaran yang bermoral santun. Wilayah pusat dari kelompok ini adalah di Kabupaten Tegal, Jawa tengah.
Dalam diskusi ini, Purwo Susangko sebagai Resi Palon (sebutan untuk Ketua Dewan Penasehat/Pembina Utama) Kejawen Maneges memaknai waktu sebagai bagian dari siklus kehidupan manusia. Masa atau waktu dimaknai dari berbagai ritual yang dilakukan mulai dari kelahiran hingga kematian. Lebih lanjut, digunakan pula kalender Pranata Mangsa yang juga dikenal sebagai pengenalan waktu tradisional yang menurut Ronggowarsito sudah ribuan tahun lalu dikenal oleh masyarakat Jawa.
Bentuk formal Pranata Mangsa diperkenalkan pada masa Sunan Pakubuwana VII (Raja Surakarta) dan mulai dipakai sejak 22 Juni 1856, dimaksudkan sebagai pedoman bagi para petani pada masa itu untuk menghitung tanggal-tanggal penting dalam siklus pertaninan. Pada akhir pemaparan, Purwo mengajak kaum muda untuk ikut merayakan tahun baru Pranata Mangsa karena merupakan salah satu keunikan yang dinilai oleh masyarakat Jawa berbeda dengan kalender yang dimiliki wilayah atau negara lain.
Di sisi lain, terdapat pula Paguyuban Penghayat Hardo Pusoro yang merupakan salah satu paguyuban kebatinan tertua di Jawa. Agus Susilo Widodo, narasumber kedua yang juga berasal dari paguyuban tersebut menyatakan bahwa Hardo Pusoro yang berpusat di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, juga dianggap sebagai salah satu dari lima besar paguyuban kebatinan Jawa, jika dihitung dari jumlah pengikutnya. Dalam pemahamannya, sejarah Bulan Suro atau Tahun Baru Jawa tidak dapat lepas dari Kalender Sultan Agungan yang merupakan penyesuaian dari Tahun Saka yang berasal dari masa Jawa Kuno.
Disampaikan oleh Romo Agus bahwa Bulan Suro sering dimaknai sebagai bulan yang wingit. Namun, tidak ada tradisi khusus yang dirayakan oleh Penghayat Hardo Pusoro. Tradisi-tradisi yang bergantung pada tradisi di setiap wilayah, serta bagaimana masyarakat memaknai mengenai Bulan Suro tersebut. Pemaknaan tersebut dikembalikan ke pribadi masing-masing, di mana biasanya tahun baru dimaknai untuk membuat pondasi spiritual baru untuk menjalani kehidupan satu tahun kedepan dengan harapan selalu diberikan kesehatan serta keselamatan.
Selengkapnya:
Kontributor: Puti Ayu Anandita
Editor: Puja A.D