Merayakan Hari Perdamaian: Persepsi dan Kontribusi Perempuan Penghayat terhadap Perdamaian Berkelanjutan
Dalam FKD seri Hari Perdamaian tahun 2023 ini membahas mengenai bagaimana penghayat, terutama perempuan, mengartikan dan mewujudkan konsep perdamaian dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar. Perdamaian, dalam konteks ini, bukanlah sekadar ketiadaan konflik, tetapi juga terciptanya keadaan yang rukun dan damai, dimulai dari diri sendiri, hubungan sesama manusia, hingga dengan alam semesta. Sebagaimana disampaikan Adelwis R. Gunawan, seorang Penghayat Buddha Jawi, bahwa perdamaian merupakan suatu keadaan di mana tidak ada rasa membenci atau menguasai antar individu. Sehingga dengan adanya perdamaian ini akan tercipta suatu keadaan damai yang berdasarkan pada rasa empati, cinta kasih terhadap sesama manusia, dan alam semesta. Setiap individu dapat berperan aktif dalam proses perdamaian ini, di mana saja dan kapan saja dengan cara menyadari perbedaan yang ada serta mengembangkan kesadaran dan nilai-nilai toleransi. Penghayat Buddha Jawi menekankan perdamaian melalui welas asih, kesinambungan antara makhluk hidup dengan alam semesta.
Lebih lanjut, Is Werdiningsih (Puanhayati MLKI) menjelaskan bahwa terwujudnya perdamaian tidak hanya melibatkan aspek luar, tetapi juga perubahan dalam diri sendiri. Pada level selanjutnya, Mereka menyadari bahwa perbedaan adalah hukum alam yang harus diakui, dan untuk itu, nilai-nilai kesadaran dan toleransi harus dikembangkan secara lebih mendalam. Semangat perempuan dalam tatanan masyarakat juga sangat signifikan dalam usaha peningkatan kesetaraan dan harkat perempuan, membuka peluang pendidikan yang adil, dan bahkan menjadi duta perdamaian dengan membawa nilai-nilai kebijaksanaan dan harmoni seperti ‘hamemayu hayuning bawono’. Puanhayati dalam hal ini menjadi wadah bagi Perempuan Penghayat Kepercayaan untuk mengembangkan diri baik secara internal maupun eksternal.
Selengkapnya: