ArtikelVideo

Kedaulatan Pangan bagi Masyarakat Adat dan Penghayat Kepercayaan

Sejak adanya wabah COVID-19 yang berpengaruh pada mandeknya rantai pasok dan logistik global, pangan menjadi salah satu isu mendesak. Beberapa kelas-kelas sosial rentan terhadap krisis pangan, sementara kelas-kelas sosial lainnya seperti masyarakat adat dan petani kecil yang secara pangan lebih berdaulat, kerentanannya cenderung lebih sedikit.

Komunitas adat yang secara politis dan historis dikonstruksi sebagai primitif dan terbelakang ini justru yang secara pangan lebih berdaulat. Bahkan pada kondisi-kondisi seperti ini mereka mampu bertahan dengan durabilitas waktu yang lebih panjang daripada masyarakat modern perkotaan. Tentunya kedaulatan pangan tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan-pengetahuan, nilai-nilai, tradisi, dan ritus-ritus mereka dalam memproduksi pangan.

Membicarakan topik ini, Forum Kamisan Daring seri ke-5 menggelar diskusi bertajuk Kedaulatan Pangan Dalam Perspektif Spiritualitas Penghayat Kepercayaan Leluhur atas kerja bersama ICRS, CRCS UGM, PUSAD Paramadina, PusKAHA FH UP, LIPI, Yayasan Satu Nama, Puan Hayati, MLKI, dan KOMNAS Perempuan. Seri kali ini diselenggarakan dalam rangka menggali pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh penghayat atau penganut agama leluhur terkait kedaulatan pangan sebagai alternatif untuk menjawab krisis pangan yang sedang dihadapi. 

Pengetahuan Lokal dan Kedaulatan Pangan

Sistem atau pengetahuan masyarakat adat dalam memenuhi kebutuhan dasar bukanlah proses yang lahir begitu saja. Hal ini tumbuh seiring dengan pengalaman mereka dengan lingkungannya. Beberapa antropolog juga ahli ekologi budaya menganggap bahwa hal itu merupakan proses adaptasi manusia dengan lingkungannya. Dalam konteks ini, konsep-konsep ketahanan pangan memiliki pola yang berbeda-beda karena memiliki sejarah adaptasi yang berbeda pula.

Salah satunya adalah pengalaman salah satu narasumber diskusi, Rini Suhartini (penghayat komunitas adat Cireundeu di Cimahi, Jawa Barat). Sejak tahun 1918, sesepuh adat komunitas Cirendeu sudah mengonsumsi alternatif pangan selain beras. Hal ini disebabkan oleh kelangkaan beras sebagai akibat politik liberalisasi lahan kolonial yang memonopoli lahan untuk kepentingan pasar dunia saat itu. Pasar lahan dibuka dan lahan basah rakyat dialihfungsikan untuk perkebunan-perkebunan komoditas pasar. Pada gilirannya ini berdampak pada kelangkaan beras. Sebagai ganti beras, masyarakat Cireundeu mengganti pangan karbohidrat lain seperti singkong, ubi, hanjeli, jagung, talas, dlsb, sebagai alternatif pangan yang cenderung bisa ditanami di lahan kering.

Baru pada tahun 1924, masyarakat adat Cireundeu menemukan cara mengolah beras singkong (rasi) yang sampai hari ini terus berlanjut sebagai konsumsi makanan pokok beserta olahan makanan lainnya yang berasal dari tepung singkong sebagai pengganti tepung terigu.

Praktik konsumsi pangan alternatif ini dipertahankan oleh masyarakat adat Cireundeu sebagai suatu tradisi yang diamanahkan oleh leluhur mereka. Secara teoritis, nilai dari tradisi leluhur tersebut berfungsi untuk mengikat seluruh masyarakat Cireundeu agar mengkonsumsi pangan alternatif tersebut sehingga membentuk pola konsumsi yang beragam. Itu sebabnya sampai saat ini masyarakat adat Cireundeu masih mengonsumsi pangan non-beras sebagai makanan pokok hari ini.

Saat COVID-19 membuat mandek distribusi beras—yang dianggap sebagai pangan pokok, “karena belum dihitung makan kalau belum makan nasi”–tentunya ketahanan pangan masyarakat yang pangan pokoknya adalah beras ikut terdampak. Ketahanan pangan masyarakat ini tentunya lebih rentan dalam kondisi ini dibanding dengan masyarakat adat Cireundeu yang mengkonsumsi pangan non-beras. Pola konsumsi ini menciptakan ketahanan pangan yang berbeda dalam masyarakat.

Selain pola konsumsi, ada juga pola produksi dan distribusi. Di tempat lain misalnya, narasumber Anang Yulianto (penghayat Ngudi Utomo, Jawa Timur), membagikan pengetahuan yang berbeda mengenai sistem ketahanan pangan di desanya. Mereka memiliki sistem orientasi produksi dan distribusinya sendiri. Tujuan mereka memproduksi sawah adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, bukan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dalam satu kali panen, hasil padi diorientasikan untuk memenuhi kehidupan keluarga. Minimal cukup untuk hidup sampai periode panen selanjutnya datang.

Untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut, mereka hanya mengalokasikan rata-rata 30% hasil padinya. 70% sisanya yang melebihi kebutuhan dasar mereka didistribusikan dengan menjualnya ke pasar. Yang paling mendasar dari produksi dan distribusi ini adalah memenuhi kebutuhan pokok. Artinya, orientasi distribusi dan produksi harus dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Setelah cukup atau terpenuhi, baru sisanya didistribusikan ke luar.

Produksi ini juga tidak melibatkan bahan-bahan sintetis. Mereka memproduksi pupuk dan obat hama sendiri yang diajarkan dari para leluhur mereka. Begitu pula dalam produksi-produksi di luar pertanian, seperti perikanan atau peternakan. Mereka menggunakan bahan-bahan yang diolah sendiri. Mereka, semaksimal mungkin, menjalankan produksinya dengan mekanisme keluarga atau masyarakat adat yang berada di unit pedesaan. Dalam produksinya mereka hampir tidak mengandaikan produksi industri. Tidak ada beban bagi petani untuk membeli pupuk, bibit, atau obat pengusir hama.

Ini sama halnya seperti yang dijalankan masyarakat adat Ciptagelar, sebagai dijelaskan Kang Asep, salah satu penanggap diskusi. Mereka memiliki kurang lebih 8.000 lumbung padi yang bisa memenuhi kebutuhan pangan 30.000 jiwa selama 3 tahun. Periode tanamnya pun hanya satu kali dalam satu tahun. Orientasi produksi dan distribusi mereka adalah pemenuhan kebutuhan subsisten masyarakat Ciptagelar, bukan keuntungan. Mereka berorientasi pada kebutuhan internal (proteksionisme) dan tidak menjualnya keluar untuk kebutuhan pasar (liberalisasi).

Pupuk, benih, dan obat juga mereka hasilkan sendiri. Proses produksinya bertumpu langsung pada komunitas tersebut, tidak bergantung dengan pasar. Alih-alih komunitas adat secara politis dan historis dikonstruksi sebagai primitif, mereka justru yang secara pangan lebih berdaulat dan pada kondisi-kondisi seperti ini mampu bertahan dengan durabilitas waktu yang lebih panjang dari pada masyarakat modern perkotaan.

Model ini mirip dengan gerakan-gerakan kedaulatan pangan yang menurut Philip McMichael dalam Food Regimes and Agrarian Questions (2013) merupakan gerakan alternatif yang memisahkan diri dan secara tidak langsung bereaksi terhadap rezim pangan global. Mereka berdiri sendiri pada satu nilai yang berbeda dari nilai akumulasi kapital. Sistem ini yang memungkinkan mereka bertahan di saat pasokan dan logistik pangan di berbagai negara mandek. Sebab, mereka bertumpu pada produksi sendiri, bukan bergantung pada pasokan pangan dunia.

Kedaulatan Pangan dan Spiritualitas

Mekanisme-mekanisme kedaulatan pangan tadi sebetulnya tidak hanya bisa direduksi sebatas mekanisme produksi, melainkan juga mekanisme yang melibatkan spiritualitas. Bertani atau menanam misalnya, selalu dianggap sebagai aktivitas yang tidak melibatkan spiritualitas. Padahal, sebagai satu kesatuan sistem produksi, bertani dalam masyarakat adat tidak bisa dilepaskan dari spiritualitas mereka. Proses produksi pertanian dalam masyarakat adat selalu melibatkan makna, nilai, dan ritual.

Dalam diskursus antropologi budaya, Roy A. Rappaport dalam bukunya Pigs for the Ancestors (1968) misalnya, berpendapat bahwa ritual dan pengetahuan lokal berkaitan erat dengan produksi dan keduanya tidak bisa dipisahkan. Ritual dan produksi menjadi suatu siklus kehidupan religius masyarakat dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Pada gilirannya hal ini menjadi corak kebudayaan yang beragam antara budaya satu dengan yang lainnya.

Terlepas apakah ritual, nilai, dan makna yang ada dalam proses produksi pertanian merupakan hasil dari proses produksi itu sendiri, praktik ritual tersebut selalu mengandaikan proses produksi. Misal, dalam ritual sedekah bumi yang populer di Jawa: ritual ini harus melibatkan sesajen yang terdiri dari hasil-hasil bumi (seperti kelapa, beras, biji-bijian, umbi-umbian, sayuran, buah dsb.) yang harus diproduksi oleh masyarakat adat itu sendiri. Tanpa ada proses produksi tersebut, tidak akan ada sesajen—dengan kata lain, satu elemen dalam ritual tidak bisa terpenuhi.

Lebih konkret lagi adalah ritual panen padi atau ritual sebelum menanam padi. Tanpa adanya proses produksi padi, ritual ini kehilangan makna. Artinya ritual tersebut akan selalu mengandaikan proses produksinya sebagai elemen yang tidak terpisahkan agar makna dari ritual tersebut relevan. Saat tidak ada produksi padi, ritual panen atau menanam padi malah menjadi tidak relevan.

Produksi padi dalam konteks ritual ini menjadi satu kesatuan ritus yang apabila proses produksi padi hilang, dengan sendirinya ritual itu hilang. Fungsi ritual yang selalu mengandaikan produksi menjadi semacam mekanisme mempertahankan produksi. Merawat atau melestarikan ritual panen atau menanam padi dengan demikian juga melestarikan produksi padi itu sendiri. Keduanya tidak bisa dipisahkan secara ajeg.

Dalam pandangan yang lebih luas, spiritualitas dalam masyarakat agraris, yang selalu direduksi pada praktik-praktik ritual, justru keliru. Spiritualitas dalam pandangan ini tidak hanya ada di bagian ritual-ritual yang terpotong-potong seperti ritual panen atau ritual menanam. Justru karena praktik ritual selalu mengandaikan proses produksinya sebagai bagian atau elemen yang tidak terpisahkan, dalam satu periode tanam itulah—sebagai satu fase bagian dari hidup—spiritualitas itu ada. Bukan pada bagian-bagian ritualnya saja. Dengan melihat secara keseluruhan, pemaknaan ritual akan menjadi relevan dalam proses produksi.

Begitupun sebaliknya, proses produksi tidak hanya sebatas masa tanam hingga masa panen, tetapi juga melibatkan proses ritual sebagai bagian dari proses produksi yang juga sama-sama tidak terpisahkan dalam masyarakat adat.

Jadi bila ada pertanyaan, apakah mencangkul sawah itu merupakan prosesi ritual atau produksi, dalam pandangan ini jawabannya adalah keduanya. Mencangkul merupakan proses produksi yang sekaligus melibatkan spiritualitas. Juga sebaliknya, mencangkul merupakan praktik ritual sebagai satu-kesatuan sistem produksi pertanian. Satu kesatuan tersebut ini, dalam pandangan Rappaport, merupakan sistem kebudayaan atau satu-kesatuan ekosistem tempat masyarakat tersebut berada.

Begitu pula cara dalam melihat spiritualitas dan kedaulatan pangan sebagaimana yang diutarakan oleh beberapa pengalaman narasumber di atas. Kedaulatan pangan ditopang oleh praktik-praktik ritual, sistem budaya, dan nilai-nilai yang diajarkan para leluhur. Orientasi produksi dan distribusi dalam memenuhi kebutuhan dasar merupakan nilai dan ajaran para leluhur yang mengikat spiritualitas. Pada gilirannya, berdaulat secara pangan adalah satu proses yang tidak terpisahkan dari spiritualitas yang sudah ditransmisikan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, menjadi spiritual adalah menjadi berdaulat secara pangan sendiri.

Politik dan Pengetahuan Lokal

Pengetahuan yang beragam mengenai kedaulatan atau ketahanan pangan tersebut tentunya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Proses transmisi dan regenerasinya bukanlah hal mudah. Beberapa kasus transmisi dan regenerasi pengetahuan juga terhambat oleh kebijakan-kebijakan politik negara yang bias wacana developmentalisme.

Saat era revolusi hijau, produksi pertanian kebanyakan berubah karena adanya intensifikasi dan teknologisasi pertanian. Dari segi bibit, bibit bernama IR 64 (yang berasal dari International Rice Research Institute) dibagikan ke seluruh lahan pertanian karena dianggap lebih efektif. Padi yang sebelumnya hanya berproduksi 2 kali periode tanam dalam setahun bisa menjadi 3 kali periode tanam dengan IR 64. Tetapi konsekuensi di samping itu, padi membutuhkan pupuk-pupuk sintetis seperti pupuk urea yang mengandung zat nitrogen yang tinggi.

Beberapa alhi agraria kritis seperti Frans Husken dalam bukunya Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980 (1988), dan Ben White dalam Rice Harvesting and Social Change in Java (2010) menunjukan dampak-dampak sosial yang signifikan dalam pertanian akibat kebijakan politik pangan revolusi hijau. Misal, tergerusnya sistem panen ‘ani-ani’ yang dilakukan oleh kategori sosial ‘penderep’, perempuan-perempuan pedesaan pemanen padi. Hal itu disebabkan karena tinggi tanaman padi IR 64 tumbuh lebih pendek dari bibit-bibit padi lokal, sehingga panen tidak lagi efektif menggunakan sistem ani-ani. Akibat sosialnya, perempuan yang sebelumnya terlibat dalam proses panen, hari ini kebanyakan tersingkir dan digantikan oleh laki-laki yang menggunakan arit.

Keragaman varietas bibit padi juga perlahan menghilang, dan semakin menyeragam. Petani menjadi tergantung pada pupuk dan bibit pascarevolusi hijau. Dengan ongkos produksi yang mahal (untuk membeli bibit dan pupuk yang sebelumnya diproduksi sendiri), petani-petani kecil mau tidak mau menjual hasil panennya untuk menutupi ongkos produksi sebelumnya. Sementara dengan lahan yang kecil, akumulasi hasil penjualan panen petani kecil tidak sebesar petani-petani kaya yang memiliki lahan luas.

Perubahan orientasi produksi dan distribusi ini terjadi. Petani tidak lagi berproduksi untuk memenuhi kebutuhan mendasar keluarga, tetapi bertujuan memenuhi kebutuhan pasar dengan dalih kebutuhan pangan nasional, swasembada beras, dan lain-lain.

Proses-proses politik negara seperti penggusuran lahan, pembangunan, pengalih-fungsian lahan, pembatasan akses hutan dan lain-lain, seturut pendekatan ekologi budaya, turut berkontribusi pada menurunnya keragaman budaya atau sulitnya regenerasi pengetahuan-pengetahuan adat mengenai ketahanan pangan ini. Belum lagi politik pendidikan penghayat kepercayaan yang sampai hari ini bermasalah dari segi kurikulum, pengajar dan ketersediaan mata pelajarannya di sekolah-sekolah negeri.


Tautan rekaman diskusi: https://www.youtube.com/watch?v=xouEUhi8_m0

Penulis: Ronald Adam

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button