Kepercayaan/Agama Leluhur Menyikapi Wabah

Wabah COVID-19 menghantam kehidupan tanpa pandang bulu. Manusia dari berbagai latar belakang terkena dampaknya. Karenanya, aktivitas manusia dengan seluruh relasinya seperti agama, sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya juga terdampak. Dalam fenomena global seperti ini, muncul satu pertanyaan penting: bagaimana kelompok Kepercayaan atau agama leluhur menyikapinya?
Pertanyaan seperti ini layak diajukan karena beberapa alasan. Pertama, merujuk Morrison (2000), paradigma agama leluhur memandang sesuatu di luar diri manusia (covid-19 bisa masuk dalam kategori ini) sebagai subjek—non human person (Morrison, 2000). Kedua, agama leluhur memiliki nilai-nilai yang memiliki kaitan erat dengan lingkungan. Di saat yang sama, praktek religiusitas agama leluhur menggambarkan model berelasi yang interpersonal dengan alam.
Hal tersebut sejalan dengan citra umum yang berkembang soal agama leluhur yang wawasan kosmologisnya selalu mengidealkan relasi harmonis. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai khazanah pengetahuan, kearifan lokal, dan spiritual mereka. Dengan pandangan-dunia seperti ini, kita layak belajar dari mereka soal menjaga tatanan kehidupan yang harmonis, termasuk ketika pandemi melanda.
Pageblug
Istilaha pageblug digunakan oleh paguyuban Sapta Darma untuk menggambarkan fenomena COVID-19. Secara umum, dulu masyarakat Jawa banyak menggunakan istilah pageblug untuk mendeskripsikan wabah yang menyerang manusia sehingga orang punya memori kolektif: ‘pagi sakit lalu sore meninggal’. Bisa jadi, ini merupakan ungkapan untuk menggambarkan ganasnya penyakit yang menyerang masyarakat pada masa dulu.
Seturut dengan pandangan tersebut, mereka juga memiliki model penyikapan khas. Setidaknya, Sapta Darma mempunyai 3 prinsip utama untuk menjadikannya sebagai sarana mawas diri, yaitu pageblug sebagai pepiling (pengingat), bencana, dan sarana harmonisasi alam semesta.
Dasar dari pepiling ini adalah pandangan kosmologis bahwa seluruh kejadian di alam semesta merupakan kehendak Hyang Maha Kuasa. Karena itu, COVID-19 perlu dihadapi dengan cara sujud manembah untuk memohon pertolongan pada Hyang Maha Kuasa. Kendati demikian, hal ini tidak lantas mengabaikan perkembangan informasi sains terkait COVID-19. Karena pada faktanya, surat edaran dari MLKI juga menginstruksikan agar pasujudan bisa dilakukan di rumah masing-masing menyusul informasi adanya PSBB.
Melihat pageblug sebagai bencana, Sapta Darma mengingatkan kembali pada sesanti “ing ngendi bae, marang sapa bae, warga Sapta Darma kudu sumunar pindah baskara.” Maknanya adalah warga Sapta Darma mempunyai kewajiban untuk berbagi kepada siapa pun dan di mana pun tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antargolongan. Berbagi merupakan wujud solidaritas sosial sekaligus manifestasi dari konsep tanggap ing sasmito. Pada prinsipnya ia dimaknai sebagai peka terhadap tanda-tanda di sekitar kita. Karena itu, ketika banyak masyarakat terdampak covid-19, maka warga Sapta Darma bersama segenap generasi muda penghayat lainnya melakukan aksi saling berbagi.
Dalam konteks makrokosmos, pageblug dipandang sebagai salah satu bentuk harmonisasi alam semesta. Pandangan ini berpangkal dari konsep memayu hayuning bawana. Konsep ini merupakan perwujudan welas asih semesta kepada sesama manusia, binatang, tumbuhan, serta pada sari bumi (tanah, angin, air, dan api). Manusia bertalian dan berrelasi dengan seluruh aspek tersebut.
Ketiga prinsip di atas harus dipahami sebagai pandangan yang saling terkait satu sama lain. Dengan demikian, kita bisa melihat suatu pandangan hidup yang menempatkan seluruh entitas dalam semesta ini dalam satu kesatuan. Melalui pandangan seperti ini, posisi manusia pada akhirnya dipahami dalam konteks relasinya dengan seluruh unsur semesta.
Senada dengan pandangan tersebut, Maarif (2019) menggambarkan konsep religiusitas agama leluhur menekankan aspek relasi dengan segala: alam, hewan, air, tanah, udara, dan lain sebagainya. Dalam konteks relasional itulah COVID-19 berada diantara dan bersama kita.
Revolusi Kesadaran
Berbekal konsep kosmologis seperti gambaran di atas, yang dibutuhkan untuk menyikapi COVID-19 pertama-tama adalah revolusi kesadaran. Hal ini misalnya tergambar dari cara paguyuban Hardo Pusoro memandang manusia sebagai tamu di bumi. Manusia harus sadar bahwa dia bukan ‘pemilik’ bumi sehingga bisa mengeksploitasinya. Sebagai tamu, manusia harus memperhatikan cara bersikap terhadap seluruh makhluk hidup lainnya seperti tumbuhan, binatang, flora, fauna, dan bahkan virus.
Kendati demikian, kita juga tidak bisa menafikan dampak pandemi yang dihadapi manusia secara global, khususnya dalam hal ekonomi. Di poin ini, paguyuban Hardo Pusoro mengingatkan kita perihal jatah. Dengan berbalut penjelasan spiritual, secara sederhana jatah dimaknai sebagai daya hidup dan apa yang bisa dikembangkan darinya. Konsep ini sebenarnya sekaligus menyadarkan kita tentang ketercukupan. Manusia perlu terus berusaha dalam segala kondisi, namun jangan sampai jatuh pada sifat rakus yang bisa mengeksploitasi sesama tamu di bumi, bahkan merusak bumi itu sendiri. Dalam kesadaran kosmik, mengalirnya jagad cilik (kehidupan manusia) akan mengikuti jagad ageng (semesta). Sedangkan jagad ageng akan menjaga kestabilan jagad cilik.
Dalam tataran praktis, setiap usaha memang perlu memperhatikan peraturan yang berlaku seperti penjarakan fisik. Ia juga perlu diwujudkan dalam bentuk konkret seperti menjaga kebersihan diri, lingkungan, hati, dan pikiran. Hal ini sebenarnya juga perlu dipahami dalam konteks kepatuhan terhadap pranataning jagad (peraturan sekaligus keteraturan semesta).
Seturut pandangan tersebut, penjarakan fisik dapat dipahami sebagai wujud hening. Bagi banyak kelompok kepercayaan dan agama leluhur, hening bisa dicapai melalui olah pernafasan. Dengan pernafasan yang tertata sedemikian rupa, maka manusia bisa tetap menjaga kesadaran dalam situasi apapun. Dengannya manusia juga akan mampu berpikir secara holistik. Dan jangan lupa bahwa covid-19 menyasar pernafasan. Karena itu, sebenarnya diantara cara menyikapi covid-19 adalah dengan menciptakan situasi hening agar dengannya manusia bisa memiliki kebijaksanaan dalam bertindak, menjaga keselarasan dengan sesama, dan diikuti hal-hal positif lainnya.
Ngunduh Wohing Pakerti
Daya resiliensi kelompok kepercayaan ditopang oleh pengetahuan spiritual. Mungkin itulah hal yang bisa kita serap dari berbagai kebijaksanaan kelompok kepercayaan dalam menyikapi pandemi COVID-19. Di tangan mereka, ‘agama’ itu adalah kehidupan dengan seluruh aspek relasinya. Karena itu, penyikapan terhadap COVID-19 sejatinya juga menggambarkan bagaimana religiusitas kita. Soal penjarakan fisik misalnya, mereka memandang itu sejalan dengan konsep hening yang telah menjadi laku hidup mereka. Prinsip dasarnya adalah mawas diri melihat ke dalam dan saling membantu manifestasi ekspresi ke luar.
Di Yogyakarta, kelompok Sumarah dengan berbagai masyarakat lintas iman telah menginisiasi gerakan yang disebut SEGORO AMARTO. Ini adalah akronim dari semangat gotong royong agawe majune ngayogjokarto. Kegiatan dilaksanakan dengan tujuan pengendalian kondisi sosial masyarakat terdampak COVID-19.
Pada akhirnya, seluruh kekayaan pengetahuan dan laku spiritual inilah yang menjadi jangkar dalam menangani COVID-19 bagi para penganut kepercayaan atau agama leluhur. Di tangan mereka, praktik beragama menjadi begitu dinamis dan aktif bukan hanya dalam merespons komunitas dengan masalahnya, namun juga dengan lingkungannya. Berbekal seluruh kekayaan pengetahuan tersebut, mereka menjadi tidak gamang dan tampak lebih siap dalam menghadapi berbagai kondisi. Inilah barangkali yang disebut dengan ngunduh wohing pakerti.
Penulis: Gedong Maulana Kabir