Layang Sesaji dan Harmonisasi Manusia dengan Alam
Agama dan ekologi pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, demikian pandangan Whitney Bauman dkk. (2017). Secara sederhana, lingkungan tempat manusia berada akan sangat berpengaruh dengan kehidupan, termasuk praktik-praktik beragama. Namun, sejak kehidupan hakiki dalam ajaran agama lebih sering dipahami sebagai kehidupan setelah kematian, dalam kutub ekstremnya ia seolah-olah terpisah dengan kondisi lingkungan hidupnya saat ini.
Situasi ini tak ayal turut memberikan konsekuensi ekologis. Hal yang paling mendasar tentu saja melihat bagaimana agama-agama dunia memengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh sistem ekologi. Meskipun asumsi bahwa agama benar-benar terpisah dari lingkungan tidak terbukti secara empiris, hal ini seringkali digaungkan oleh kelompok sekuler dengan menciptakan garis batas antara apa yang dianggap sebagai sakral dan profan.
Dalam konteks tersebut, lingkungan seringkali dipandang sebagai sesuatu yang profan. Karenanya, ia tidak terhubung secara langsung dengan agama. Namun demikian, ketika banyak terjadi kerusakan lingkungan seperti saat ini, tampaknya mau tidak mau hal itu turut berdampak pada praktik beragama. Oleh karena itu, di Indonesia hal ini belakangan tampak menjadi perhatian bersama masyarakat dari lintas agama.
Kendati demikian, sebenarnya ada satu model keagamaan ekosentrik yang kita bisa belajar banyak darinya. Di antaranya adalah kelompok kepercayaan dan agama leluhur atau adat. Cara mereka mempersepsi semesta, termasuk lingkungan hidup, tanah, air, udara, api, tumbuhan, hewan, leluhur, dan lain sebagainya, menggambarkan satu pandangan ekologis yang terus berupaya menciptakan sistem kehidupan bersama yang harmonis berbasis spiritual.
Sesaji
Baik dalam agama leluhur maupun kelompok kepercayaan, berbagai praktek religiusnya acap kali tidak bisa dipisahkan dari sesaji. Ia bukan semata-mata sajian atau pemberian yang diberikan oleh manusia kepada entitas lainnya, namun ia sekaligus mengingatkan manusia perihal ajaran-ajaran leluhur. Satu hal yang perlu dicatat adalah di manapun kita berada seringkali sajian itu sekaligus merepresentasikan kekayaan alam masyarakatnya.
Persatuan Eklasing Budi Murko Kulonprogo, misalnya, memiliki beragam model sajian yang terkait dengan siklus hidup manusia sejak lahir sampai meninggal. Dalam setiap fase penting perkembangan manusia hampir selalu ada puja-puji sekaligus doa pada Yang Maha Kuasa agar manusia mendapat berkah dan keselamatan dalam hidupnya. Bahkan, perayaan hampir serupa juga dilakukan saat hewan ternak melahirkan. Ia biasanya disebut brokohan.
Saya juga belajar dari seorang sesepuh golongan Si Raja Batak. Mereka dengan tegas mengartikulasikan pandangan terkait dengan lingkungan. Bagi mereka, alam semesta merupakan tempat hidup yang diberikan oleh Tuhan. Ada pula doa-doa seperti “berkembangbiaklah hewan-hewan, segala yang diciptakan Yang Maha Kuasa. Tanaman-tanaman kita itu janganlah ada yang mengganggu, berlipatgandalah hasilnya. Berikan kesejahteraan, pengetahuan yang baik bagi manusia.”
Hal esensial yang bisa dipelajari dari mereka semua adalah penghormatan terhadap alam. Sesaji bagi kelompok kepercayaan hampir tidak mungkin bisa terwujud jika lingkungan mereka tidak memadai. Artinya, sesaji sebagai salah satu aspek religiusitas merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari alam. Ia bukan semata mengingatkan soal ajaran leluhur, namun sekaligus menyiratkan pentingnya penjagaan lingkungan hidup demi kelangsungan agama itu sendiri.
Dalam konteks model religiusitas masyarakat seperti inilah kemudian kita bisa menyadari mengapa muncul beragam adagium yang menggambarkan kedekatan mereka dengan alam. Misalnya, dari Kendeng kita tahu persepsi soal “ibu bumi bopo angkoso”. Tanah adalah ibu, dan lagit adalah bapak. Dari tanah kita mendapatkan kebutuhan kehidupan. Kehidupan di bumi ditopang oleh kehidupan langit yang menurunkan hujan.
Tidak mengherankan jika bagi masyarakat adat maupun agama leluhur eksistensi lingkungan adalah bagian dari identitas mereka. Memahami Kendeng misalnya, tidak cukup dengan melihat masyarakatnya saja. Bagi mereka, identitas mereka terikat menjadi satu dengan gunung, sungai, sawah, flora-fauna di dalamnya, dan lain sebagainya. Karena itu, mencerabut dan memisahkan masyarakat yang demikian dengan—apalagi mengeksploitasi—lingkungannya pada dasarnya juga merupakan sebentuk ‘penistaan agama’.
Spiritualitas Ekologis
Masyarakat adat dan kelompok kepercayaan merupakan gambaran bagaimana spriritualitas dibangun di atas relasi manusia dengan alam. Apa yang oleh para sarjana Barat abad ke-19 anggap sebagai realitas sakral dan profan sepertinya tidak dapat dipancangkan batas tegasnya. Hal ini sebenarnya mudah saja dipahami jika cara kita mempersepsi sesuatu di luar diri manusia diubah sedikit saja.
Dunia modern terlanjur terlalu asyik melihat manusia sebagai subjek dan segala di luar manusia sebagai objek. Secara filosofis, pandangan ini bisa ditarik mundur pada konsep dualisme Cartesian yang menganggap manusia sebagai subjek sedangkan alam sebagai objek. Subjek yang dianggap memiliki kemampuan berpikir dianggap bisa mengendalikan, bahkan mengeksploitasi alam. Masalahnya adalah pandangan seperti ini tidak kita temukan dalam pandangan hidup masyarakat adat sebagaimana digambarkan di atas.
Secara epistemologis, saya lebih sepakat dengan pandangan Hallowel (1960) yang memperluas konsep person. Ia tidak semata terbatas pada manusia (human person) namun juga alam yang dipahami sebagai non-human person. Gagasan ini kemudian populer dengan sebutan personhood. Karena baik manusia maupun alam sama-sama merupakan person, maka tidak ada lagi istilah manusia mendominasi bahkan sampai mengeksploitasi alam.
Apa yang kita lihat dari kehidupan keagamaan masyarakat menunjukkan demikian. Persepsi mereka terhadap hutan atau batu, misalnya, tidak berhenti pada objektivikasi semata. Seluruh entitas itu, sebagai non-human person, saling berbagi kehidupan. Karenanya manusia dan alam hidup dalam konteks kebersamaan yang diikat oleh relasi etis, tanggung jawab, dan timbal balik.
Di Mollo misalnya, masyarakat menyadari betul bahwa alam adalah jati diri manusia itu sendiri. Perusakan terhadap alam merupakan perbuatan yang tidak etis. Ini menggambarkan bagaimana manusia yang tidak memiliki rasa tanggung jawab pada kehidupan. Jika itu sampai terjadi, maka timbal baliknya akan sampai pada manusia itu sendiri.
Di tempat-tempat lain, kita turut sering mendengar mitos bahwa ada sosok supranatural yang menjaga pohon besar. Secara ekologis, pengkeramatan seperti ini bisa berfungsi menjaga pohon dari potensi penebangan liar. Penebangan seperti ini telah terjadi di banyak tempat. Padahal, pohon-pohon itu sebenarnya berperan aktif dalam menjaga ketahanan hidup sebagai penyerap sekaligus penyimpan air dalam tanah.
Belakangan bahkan beredar luas respon yang miris dari warga adat di Papua ketika hutannya dibakar oleh perusahaan asing. Melalui video yang disiarkan oleh BBC News Indonesia, dia mengatakan ketika hutannya telah dibongkar habis, di mana roh leluhurnya akan tinggal? Basis kepercayaan spiritual seperti inilah yang saya kira penting untuk kita selami bersama. Mereka mesra dengan alam. Berrelasi dengan alam adalah kegiatan religius spiritual. Inilah spiritualitas ekologis. []
Penulis: Gedong Maulana Kabir