Margin yang Mewarga: ICIR dan Upaya Pewargaan Kolaboratif
Press Release 4th ICIR
Sekalipun menerima beragam penghargaan internasional dan pengakuan konstitusional dari negara atas komunitas dan hutan adatnya, masyarakat adat Dayak Iban di Sungai Utik sedang mengalami ancaman serius terkait degradasi lingkungan akibat proyek pembangunan seperti pembukaan lahan sawit. Kondisi ini menggambarkan situasi penganut agama leluhur di Indonesia yang sedang berada pada suatu persimpangan kritis (critical juncture) antara penguatan konstitusional dan minimnya pelibatan kewargaan.
Untuk itu, ICIR Rumah Bersama sebagai salah satu jaringan masyarakat sipil mengupayakan penguatan kewargaan bagi penganut agama leluhur secara kolaboratif yang di antaranya melalui rangkaian International Conference on Indigenous Religions (ICIR) dan Konsolidasi Jaringan yang pada tahun keempat ini diselenggarakan di Pontianak, Kalimantan Barat. Bagaimana ICIR Rumah Bersama memfasilitasi upaya penganut agama leluhur agar terus mewarga?
Kemunduran Demokrasi
Kemunduran demokrasi merupakan isu penting yang melatarbelakangi konferensi dan konsolidasi ICIR Rumah Bersama. Demokratisasi Indonesia dengan peristiwa reformasi sebagai penandanya telah membuka ruang publik bagi beragam suara yang—meski tak selalu saling bertentangan—membentuk kompleksitas tantangan demokrasi dan sekaligus merepresentasikan pluralitas kewargaan (pluralities of citizenship). Gerakan-gerakan masyarakat sipil pun bermunculan dengan berbagai agenda terkait isu-isu yang bervariasi.
Tak terkecuali wacana agama leluhur ikut ambil bagian dalam arak-arakan demokratisasi ini, menyambung perjuangannya yang telah menyejarah setua usia negara ini. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan fokusnya pada hak atas tanah dan kerja-kerja advokasi bagi masyarakat adat untuk pemenuhan hak-hak sipil politik adalah contoh gerakan yang di antara hasilnya adalah penguatan rekognisi konstitusional hutan adat. Contoh gerakan yang berhasil lainnya yakni yang dilakukan oleh beberapa NGO melalui program Peduli untuk rekognisi konstitusional kepercayaan/agama leluhur. Capaian gerakan tersebut sangat signifikan, walaupun masih menyisakan tantangan implementasi dan penerimaan sosial.
Belum selesai dengan agenda reformasi, banyak sarjana menangkap indikasi kemunduran demokrasi di Indonesia yang salah satunya ditandai dengan menyempitnya ruang sipil (lih. Power & Warburton, 2020; Mietzner, 2020). Dalam kaitannya dengan agama leluhur, regresi demokrasi ditandai dengan pelanggengan politik agama resmi pada ranah kebijakan dan ruang sosial. Beberapa indikasinya adalah tereksklusinya pendidikan kepercayaan dari draft sistem pendidikan nasional, semakin maraknya perampasan lahan adat, dan stigmatisasi agama leluhur.
Kemunduran demokrasi bisa jadi mengindikasikan respons negara terhadap ‘kebisingan’ ragam aspirasi masyarakat sipil di ruang publik yang tentu saja bertentangan dengan kehendak rezim. Untuk kepentingan penertiban, pluralitas keberagaman (pluralities) dan kompleksitas kewargaan disimplifikasi.
Lebih buruk lagi ketika kepentingan negara bertemu dengan kepentingan kapitalisme dan populisme agama. Situasi masyarakat Dayak Iban sebagaimana disebutkan sebelumnya dapat menerangkan hal ini; kondisi keterancaman alam—yang mana komunitas dengan alamnya selalu terkait erat dalam paradigma adat—adalah implikasi dari konstruksi simplistik negara dalam mengelola adat, alam, dan agama, kepentingan profit dari korporasi berlisensi negara, dan ke-tak-berpihak-an agama-agama “yang (di)resmi(kan)” terhadap isu tersebut.
Kemunduran demokrasi setidaknya berimplikasi pada dua hal terkait pemenuhan hak-hak kewargaan dan upaya pemajuan diskursus agama leluhur. Pertama, dengan rekognisi kewargaan yang masih setengah hati, kemunduran demokrasi menjadikan agama leluhur lebih rentan dalam mengakses hak-haknya seperti hak atas pendidikan, tanah, kebebasan beragama, dan keterlibatannya dalam pembuatan kebijakan.
Kedua, pembatasan ruang sipil juga turut menghalangi upaya pemajuan diskursus agama leluhur. Di antara pertanyaannya adalah sejauh mana konsep “agama” dan politik agama dapat dipersoalkan dan didesakralisasi? Berbagai kajian akademik menunjukkan progresifitasnya dalam menjawab pertanyaan ini (Picard & Madinier, 2011; Ropi, 2017; Maarif, 2017). Pengalaman masyarakat juga menunjukan bahwa “agama” sebagaimana dihidupi dalam keseharian (lived religion) jauh lebih kompleks melampaui konstruksi formalnya (oleh negara). Namun, kedua hal ini akan kehilangan signifikansinya jika ruang publik dimana ia mestinya ditelisik secara kritis terus dibatasi.
Agama Leluhur dalam Kerangka Kewargaan
Alih-alih mengkhususkannya sebagai kelompok terpinggirkan, ICIR Rumah Bersama menempatkan agama leluhur dalam konteks kewargaan yang lebih luas. Hal ini berimplikasi pada cakupan isu yang lebih beragam, namun sejatinya selalu berkelindan (shared and interconnected issues of citizenship). Dari 35 sesi panel yang terdiri dari total lebih dari 100 topik pembahasan, jumlah presentasi yang menjadikan agama leluhur sebagai fokus utama tidak lebih dari seperempatnya. Sisanya mengangkat isu ekologi, perempuan, isu agama secara umum seperti kebebasan, moderasi, konversi, minoritas, dan relasi lintas agama, serta isu-isu terkait demokrasi seperti pelibatan sipil, pemilu, generasi muda, pembuatan kebijakan, advokasi, dan politik identitas. Muncul pula tema-tema kontemporer seperti pandemi, teknologi, media, dan literasi digital.
Kerangka kewargaan juga mengimplikasikan interelasi agama leluhur dengan sesama warga dan dengan negara. Disadari bahwa perjuangan agama leluhur adalah baik untuk rekognisi sosial maupun legal. Upaya melibatkan penganut agama leluhur dengan sesama warga (individu, kelompok, dan institusi) setidaknya tergambar pada kolaborasi ICIR Rumah Bersama dengan IAIN Pontianak dan STAKATN Pontianak sebagai institusi berbasis keagamaan, serta Universitas Panca Bhakti sebagai institusi non-keagamaan. Tidak dipungkiri bahwa Islam dan Kekristenan adalah di antara faktor signifikan dalam pengalaman kewargaan penganut agama leluhur, sehingga pelibatan mereka dalam diskursus menjadi bagian penting.
Sementara itu, upaya mengakses rekognisi legal dari negara nampak dalam agenda konsolidasi bersama lintas sektor yang difasilitasi oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud Ristek Dikti RI, yang melibatkan 25 kementerian dan lembaga. 25 Kementerian dan Lembaga tersebut tergabung dalam Tim Koordinasi (Tikor) Advokasi Layanan Penghayat Kepercayaan dan Masyarakat Adat. Konsolidasi tersebut sekaligus melibatkan organisasi masyarakat sipil (CSO) dan institusi pendidikan yang tergabung dalam Forum Komunikasi. Dalam konteks konsolidasi lintas sektor, negara dilihat sebagai institusi otoritatif yang memiliki kewajiban dan tugas pokok untuk pemenuhan hak kewargaan, dan masyarakat sipil serta komunitas agama leluhur adalah subyek dan mitra pemajuan kewargaan.
Bahasa politik kebijakan tentu saja menjadi bagian tak terpisahkan dalam upaya meraih rekognisi negara. Sebagai turunan dari penggunaan istilah kepercayaan dan masyarakat adat, beragam regulasi yang menggunakan terminologi tersebut potensial digunakan untuk pemenuhan hak kewargaan. Lebih dari itu, ICIR ke-4 bahkan memperhitungkan dengan serius wacana pemajuan kebudayaan dan moderasi beragama yang cenderung problematis bagi eksistensi dan keberlanjutan agama leluhur.
Sebagai tema besar untuk dua dari tiga sesi planeri yang ada, keduanya ditelisik dalam kerangka demokrasi inklusif yang di antara tujuannya tentu saja untuk kewargaan penganut agama leluhur. Sekalipun terkesan peyoratif karena merepresentasikan “pem-budaya-an” agama leluhur, sementara proyek moderasi hanya berfokus pada agama tertentu, keduanya justru diangkat agar dapat dicermati bersama sisi problematikanya dan bagian potensialnya. Dalam konteks advokasi, yang pertama sekalipun dengan kategori profan, “budaya”, dapat digunakan dan dioptimalisasi untuk melindungi dan mengembangkan elemen “agama”. Sementara itu moderasi beragama dapat direkonstruksi pemaknaannya sehingga berorientasi pada inklusi, keadilan dan kesetaraan, terkhusus dalam kaitannya dengan agama leluhur.
Dari Margin, Mewarga
Dalam memahaminya sebagai warga, implikasi lain yang tak kalah substantif dari relasi agama leluhur dengan negara dan sesama warga adalah subjektivitasnya. Artinya, mereka bukan sekadar objek ‘asuhan’ negara, tetapi agensi aktif yang selalu berjuang untuk kewargaannya.
Bagian ini dapat diterangkan dengan konsep kewargaan sehari-hari (lived citizenship) yang merupakan dimensi lain dari kewargaan informal yang berupaya memahami praktik kewargaan dalam realitasnya—yang menggambarkan pluralities dari identitas dan kompleksitas pengalaman kewargaan—melampaui asumsi-asumsi kewargaan formal yang cenderung simplistik sebagaimana tercermin dalam kebijakan dan regulasi negara. Pada gilirannya, lived citizenship bahkan dapat meredefinisi kewargaan formal.
Pada titik ini, kewargaan dipahami sebagai proses, praktik, dan perjuangan yang selalu dinamis dan terus mengada dalam pengalaman keseharian. Ia sesungguhnya merupakan “warganisasi” atau pewargaan (citizenization) yang terus-menerus menyikapi, mengkritisi dan menegosiasikan politik kewargaan (formal/informal) dengan tujuan transformasi sosial dan perubahan kebijakan.
Memahami kewargaan sehari-hari dengan demikian membuka berbagai peluang terutama bagi warga tereksklusi dan terdiskriminasi untuk secara aktif-kreatif memperjuangkan kewargaannya sekalipun berada di bawah tekanan kewargaan formal. Pengalaman Pangestu misalnya menunjukkan bagaimana mereka bahkan dapat keluar dari dikotomi agama dan kepercayaan yang dikonstruksi negara dengan menyebut dirinya sebagai kelompok spiritual. Praktik “Islam-Adat” seperti Muslim Ammatoa dan Dayango Islam adalah contoh lain yang menggambarkan bagaimana konstruksi formal “agama” dilampaui dalam pengalaman kewargaaan.
Salah satu landasan berpikir yang memungkinkan cara mewarga yang demikian ialah dengan memahami identitas sebagai yang dinamis dan tidak kaku (not fixed). Individu atau kelompok tertentu dapat merepresentasikan elemen tertentu dari identitasnya dengan bahasa (formal-legal) tertentu secara kritis, negosiatif, dan resisten untuk kepentingan rekognisi dan redistribusi. Dalam topik-topik yang dipresentasikan dalam konferensi misalnya, ada banyak istilah yang digunakan yang sesungguhnya merujuk pada agama leluhur, seperti adat, kearifan lokal, budaya, dan tradisi.
Untuk itu, istilah “agama leluhur” sendiri mesti dipahami seinklusif mungkin sehingga sebagai terminologi ia dapat digunakan oleh siapa saja yang mendefinisikan dirinya entah sebagai agama, kepercayaan, adat, atau yang lainnya dengan pluralitiesnya masing-masing. Demikian juga sebagai diskursus, “agama leluhur” melibatkan beragam isu dan agensi, tidak terbatas pada urusan “agama” atau indigenitas semata, mengingat interseksinya dengan yang lain. Singkatnya, ia bukan kategori pembeda apalagi pembatas yang justru melanggengkan diferensiasi (othering).
Penting pula dicatat bahwa “agama leluhur” tidak dapat dilepas-pisahkan dari gerakan indigenitas secara lebih luas, misalnya diskursus “adat” yang cukup efektif digunakan terutama pasca-reformasi. Sejalan dengan kerangka lived citizenship, apa yang di sini (setidaknya dalam studi agama) disebut sebagai “agama leluhur” memiliki pluralities pada realitas pengalamannya. Untuk itu, mereinterpretasinya sebagai “agama” adalah untuk menegaskan kesetaraannya, bukan membatasinya dalam kategori tunggal “agama”. Artinya, “agama” menjadi ‘salah satu’ bukan satu-satunya jalan potensial untuk pewargaan penganut agama leluhur, sehingga tidak kontra produktif dengan keragaman wacana dan gerakan indigenitas yang ada.
Selain adat, ekologi adalah wacana lain yang juga potensial digunakan mengingat sentralitasnya dalam paradigma agama leluhur. Di sini terbuka peluang besar bagi agama leluhur untuk berkontribusi pada tantangan iklim global sekaligus sebagai jalan destigmatisasi.
Dengan kerangka inilah, ICIR Rumah Bersama berupaya mendukung proses mewargakan penganut agama leluhur yang selama ini terpinggirkan dengan mengetengahkannya (centering the margin) agar dapat melibatkan diri dengan diskursus dominan di ruang publik. Menuju kewargaan partisipatif yang demikian, semua lapisan warga mesti dikonkretkan agar tak ada yang terpinggirkan dari koeksistensi di ruang demokrasi. Partisipasi bermakna dari setiap lapisan tersebut pada gilirannya membentuk suatu dasar bersama sebagai komunitas demokrasi. Dalam hal ini, pewargaan adalah suatu gerak mewargakan diri, mewargakan yang lain, dan dengan demikian mewargakan komunitas dalam terang kebersamaan.
Arah Baru Politik Kewargaan: Redefinisi Excluder dan Pewargaan Kolaboratif
Memahami kewargaan sebagai suatu proses ‘mewarga bersama’ membuka potensi—jika bukan tuntutan—akan kolaborasi. Pada konteks ini, kolaborasi merujuk pada ko-produksi kewargaan dan demokrasi (Maarif & Bagir, 2021). Secara teoritis, kewargaan kolaboratif mengandaikan interaksi deliberatif warga dan (agensi institusi) negara dalam mengidentifikasi persoalan, tindakan restorasi yang diperlukan, dan bentuk implementasi terbaiknya berdasarkan modal sosial warga (Smith, 2010: 240).
Bercermin pada pengalaman Indonesia, dua subjek penting lainnya yang perlu disebut adalah CSO dan akademisi, yang di antara perannya adalah memfasilitasi ruang sipil yang berkeadilan ‘untuk semua’ warga terlepas dari kesenjangan kapasitas ekonomi dan akademiknya. Yang menjadi perhatian adalah disparitas sosial-ekonomi yang membuat tidak semua warga sama artikulatifnya dalam berinteraksi dengan negara dan warga yang lain. Keterlibatan CSO dan akademisi adalah untuk sistematisasi dan mengkomunikasikan pengalaman warga terutama dalam berhadapan dengan ruang kewargaan formal. Pengalaman judicial review UU Adminduk pada 2016 dan UU Penodaan Agama pada 2010, 2013, dan 2018 adalah di antara contohnya.
Pewargaan kolaboratif dimungkinkan dengan pertama-tama meredefinisi mereka yang dianggap mengeksklusi (excluder), dalam hal ini (institusi dan kebijakan) negara dan warga lain beserta wacana yang diproduksinya. Redefinisi ini penting guna mengidentifikasi sisi potensial dari mereka yang “problematis” sehingga dapat dijadikan partner kolaborasi.
Berkaitan dengan negara misalnya, mesti dipahami bahwa di balik setiap institusi dan regulasi selalu ada agensi (yang juga pada hakikatnya merupakan warga) yang memahami keterbatasan konstruksi kewargaan formal yang ada dan bahkan ikut terdampak darinya. Pengalaman semacam ini misalnya membuat Kepala Dukcapil Sumba Timur melibatkan dirinya dalam judicial review UU Adminduk.
Dalam terang ini, ICIR Rumah Bersama berupaya membangun pemahaman yang lebih holistik mengenai praktik pewargaan dalam ruang-ruang formal dan informal berdasarkan pengalaman konkret warga, politik kebijakan, kerja advokasi CSO, dan kajian-kajian kesarjanaan. Pemahaman lintas sektor inilah yang kemudian menjadi basis pewargaan kolaboratif.
Pertama-tama, perspektif kolaborasi menjadi kebutuhan penting dari internal masing-masing sektor itu sendiri. Dari segi warga, basis kolaborasi adalah dengan saling memahami diri sebagai warga yang tidak terlepas dari warga yang lain dalam konteks saling mewarga, sekalipun dengan pengalamannya yang tidak selalu sama. Dari sisi negara, kerja-kerja konsolidatif lintas institusi menjadi penting untuk pemenuhan hak kewargaan yang selalu multidimensional namun selalu berkelindan. Serupa dengan itu, bagi CSO dan akademisi, persoalan fragmentasi isu menjadi tantangan serius sehingga advokasi lintas CSO dan kajian akademik interdisiplin menjadi kebutuhan baru dalam politik pewargaan.
Dalam hal inilah konsolidasi ICIR Rumah Bersama—yang setidaknya menghasilkan lebih dari seratus rencana program kolaboratif untuk tahun 2023—menjadi signifikan dan mesti dipahami sebagai implementasi awal dari diskursus lintas isu, lintas sektor, dan lintas disiplin yang dibangun dalam konferensi. Keduanya adalah bagian dari upaya mendobrak fragmentasi-fragmentasi yang ada seperti antara warga dan negara, yang cenderung dilihat hitam-putih sebagai korban dan pelaku, atau antara akademisi dan CSO yang umumnya dilihat berselisih karena yang satu dianggap sibuk dengan diskursus elit menara gading dan yang lain dipandang sibuk dengan banyak aksi tanpa landasan berpikir yang cukup. Untuk itu, menuju pewargaan kolaboratif, baik warga, negara, CSO, dan akademisi perlu membebaskan dirinya dari sekat-sekat yang dikonstruksi selama ini, termasuk dalam sektornya masing-masing.
Dapat disimpulkan, upaya pewargaan kolaboratif ICIR Rumah Bersama dapat dilihat sebagai inisiatif penting dalam politik kewargaan. Potensinya dapat diperhitungkan dalam konteks agama leluhur yang masih dan akan terus mengada dalam geraknya mewarga hari ini. Di antara tantangannya kemudian ialah soal keberlanjutan dari upaya ini. Pada aras lokal misalnya, bagaimana kerangka ini memberi kontribusi konkret pada masyarakat Dayak Iban, dan yang lainnya, dalam keterancaman alam dan komunitasnya?
Ditulis oleh: Krisharyanto Umbu Deta