Forum Kamisan Daring ICIR #5 “Warisan Leluhur dan Kedaulatan Pangan Lokal di tengah Ancaman Gastrokolonialisme”

Forum Kamisan Daring (FKD) di bulan Juli 2025 kali ini diawali dengan tajuk “Warisan Leluhur dan Kedaulatan Pangan Lokal di tengah Ancaman Gastrokolonialisme”. Tajuk ini mempercakapkan tentang bagaimana pangan tidak hanya terkait dengan kebutuhan sehari-hari dan ekologi, melainkan juga dengan sistem dominasi kolonial yang masih membekas.
Dimoderatori oleh Baskoro Waskitho Husodo dari Gema Pakti DIY, diskusi ini secara kritis mempertanyakan bagaimana kolonialisme terus berlanjut, bukan melalui senjata atau penaklukan militer, melainkan melalui selera, sistem pangan global, dan pembentukan kebiasaan makan sehari-hari.
Fenomena ini, yang disebut “gastrokolonialisme”, mengacu pada kontrol kolonial secara halus dan meluas perihal cara makan lokal, di mana kemasan olahan dan jaringan supermarket mendikte konsumsi dan mengurangi hubungan manusia secara langsung dengan tanahnya sendiri.
Membuka forum, Baskoro Waskitho Husodo menekankan bahwa bentuk kolonialitas ini menyerbu melalui imajinasi komunal. Namun demikian, sebetulnya masyarakat di seluruh Nusantara, ia mengingatkan para hadirin, masih ada yang menanam padi tanpa bahan kimia, mencari makan secara berkelanjutan, dan memegang tradisi kuliner yang berakar kuat pada religiositas dan kesadaran ekologis. Namun, tradisi ini dikepung oleh pola konsumsi global.
Berakar di Tanah: Kedaulatan Pangan Adat dan Kearifan Ekologis
Pembicara pertama, Lidia Sumbun, anggota masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik, Kalimantan Barat, memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana sistem pangan adat mewujudkan ketahanan leluhur. Masyarakat Iban adalah penjaga hutan dan pangan, menanam tanaman lokal seperti padi tradisional, mentimun, jagung, ubi jalar, talas, jahe, dan labu, tanpa bergantung pada pupuk kimia.
“Kami tidak menggunakan pupuk kimia,” tegas Lidia Sumbun. Sebaliknya, mereka memelihara kesuburan tanah berdasarkan pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi, memprioritaskan tanaman asli yang sangat beradaptasi dengan tanah mereka. Varietas padi non-asli dengan hasil tinggi, katanya, biasanya gagal dalam satu dekade, sehingga mendapat metafora sebagai “anak tiri” bagi tanah. Artinya, tanaman luar tidak mampu hidup berdampingan dalam jangka panjang.
Bagi suku Iban, makanan lebih dari sekadar kebutuhan hidup. Pangan adalah warisan, ekologi, dan pernyataan kedaulatan. Pertanian mereka mencerminkan kosmologi di mana tanah dan benih tidak dapat dipisahkan dari identitas dan religiositas.
Selera yang Terjajah: Gastrokolonialisme dan Politik Memori Kuliner
Nurdiyansah Dalidjo, peneliti dan penulis Rumah di Tanah Rempah, memperluas perbincangan ke ranah kesadaran historis. Melalui makanan, menurutnya, kita dapat membaca ulang sejarah kolonial Indonesia. Rempah-rempah, beras, dan gula bukan sekadar komoditas, tetapi instrumen kendali kolonialisme, yang memungkinkan sistem penanaman paksa dan perampasan tanah.
Melengkapi pandangan di muka, Nurdiyansah Dalidjo atau yang akrab disapa Diyan ini, melihat makanan sebagai arsip sejarah. Melalui bukunya Rumah di Tanah Rempah, ia mengingatkan audiens untuk membaca ulang sejarah Indonesia melalui dapur dan rempah-rempah. Kolonialisme, menurutnya, membangun hierarki makanan, menentukan bahan mana yang dihargai dan mana yang disingkirkan. Dengan demikian, merebut kembali masakan tradisional menjadi tindakan dekolonisasi dan restorasi memori.
Diyan menandaskan bahwa kolonialisme tidak hanya mendisrupsi produksi, tetapi juga membingkai persepsi. Artinya, apa yang sekarang kita anggap sebagai makanan lezat, higienis, atau bergengsi sering kali berasal dari pemaksaan kolonial. Struktur dapur, pola makan kaum muda perkotaan, dan pemasaran makanan dibentuk oleh warisan ini. Dengan demikian, gastrokolonialisme tidak hanya beroperasi di bidang pertanian, tetapi juga di pikiran dan mulut, menanamkan standar asing ke dalam cita rasa nasional masyarakat Indonesia.
Sebagai tanggapan, Asep Salik, seorang pengamat agama dan sistem pangan lokal, menekankan dimensi ontologis dan spiritual pangan. Pangan adalah fondasi, tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi yang jauh lebih penting untuk peradaban. Pangan mencakup ekonomi, politik, dan termasuk kosmologi.
Lebih lanjut, ia menandaskan bahwa kolonialitas pangan dimulai dengan kolonisasi pandangan dunia (worldview). Masyarakat adat telah lama memegang sistem pangan kompleks yang menghormati keanekaragaman hayati dan kesakralan hidup. Misalnya, masyarakat Melayu di Belitung sangat peka terhadap ekologi mereka, mengatur apa yang dapat dipanen, kapan, dan berapa banyak, dengan kata lain, selalu memastikan keseimbangan ekologis.
Asep Salik, atau yang kerap disapa Mang Asep ini, mengingatkan para peserta bahwa dalam banyak pandangan dunia adat, pangan itu sakral. Makan bukanlah tindakan mekanistis belaka, melainkan merupakan perjumpaan sakral dengan dunia yang lebih dari sekadar manusia (more-than-human world).
Peristiwa makan memediasi hubungan manusia dengan angin, hujan, dan tanah, mengintegrasikan pelbagai entitas alamiah ke dalam tubuh. Ritual kuno seperti ayun luci (ayunan buaian) dan penggunaan musik angklung untuk menghormati beras mencerminkan penghormatan ini. Dalam kosmologi ini, pangan bukan sekadar materi yang tak memiliki vitalitas, melainkan justru sebaliknya.
Selama sesi tanya jawab, seorang peserta bertanya apakah Sungai Utik menghadapi tantangan terkait iklim. Lidia Sumbun merespons bahwa kekeringan yang berkepanjangan kini memang memengaruhi siklus panen, dengan padi yang membutuhkan waktu lebih lama untuk matang.
Namun, masyarakat beradaptasi dengan menggunakan pengetahuan tradisional, seperti mengandalkan embun pagi untuk menopang tanaman selama musim kemarau. Ketika tanaman jatuh sakit, suku Dayak Iban melakukan ritual untuk membersihkan diri secara spiritual dan melindungi panen mereka.
Sebagai penutup diskusi, salah satu audiens bernama Samsul Maarif atau yang akrab dipanggil Ancu, menekankan kesatuan yang mendalam antara manusia dan makanan mereka. “Anda adalah apa yang Anda makan,” tukasnya. Ini mendedahkan tidak hanya soal gizi, tetapi sebagai kebenaran ontologis. Melalui makanan, manusia menjadi satu dengan ekologinya. Makan berarti berpartisipasi dalam siklus kosmik yang menghubungkan hutan, sungai, musim, dan vitalitas materi lainnya.
Sumirnya, FKD kali ini menyoroti bagaimana merebut kembali kedaulatan pangan bukan sekadar tindakan politik, melainkan keniscayaan kultural dan spiritual. Melawan gastrokolonialisme, komunitas adat seperti Sungai Utik tidak hanya melestarikan keanekaragaman hayati, sebab mereka juga dengan gamblang melindungi cara hidup.
Benih mereka bukan hanya materi genetik, tetapi wadah memori, kosmologi, dan perlawanan. Dengan mendengarkan suara mereka, kita diingatkan bahwa perjuangan untuk kedaulatan pangan, pada intinya, adalah perjuangan untuk kebebasan atas tanah, budaya, dan jiwa manusia dari pelbagai kepungan iklan, instanisme, dan industrialisme. [AA]
Tonton selengkapnya di sini:
Kontributor: Angga Arifka




