Artikel

Menghayat Mantra Merawat Relasi: Beragama dalam Keseimbangan Kosmos

Penganut agama leluhur di Indonesia mempraktikkan dan memaknai mantra dengan bermacam ragam dan tujuan. Salah satunya adalah sebagai alat komunikasi untuk menghubungkan berbagai aspek dalam tatanan kosmos dan/atau sebagai medium penyembuhan dan perlindungan manusia dan alam dari celaka dan penyakit. Penghayatan semacam ini hampir selalu ditemukan dalam berbagai praktik agama leluhur. Sayangnya, sejak cara berpikir Barat-modern mendominasi, orang-orang mulai berusaha menjawab persoalan-persoalan keagamaan secara “rasional”. Akibatnya, berbagai praktik agama leluhur termasuk praktik penghayatan mantra dianggap irasional dan animistik.

Untuk mendekonstruksi stigma ini, Forum Kamisan Daring (FKD) Episode 9 mengundang para penganut agama leluhur Paguyuban Hangudi Bawana Tata Lahir Batin dan agama leluhur Marapu untuk membicarakan persoalan Mantra, Kata, dan Makna dalam Ritual di Sumba dan Jawa. Tulisan ini bermaksud mengulas percakapan tersebut dalam upaya memahami praktik dan makna mantra bagi penganut agama leluhur dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam ritual khusus seperti penyembuhan.

Penghayatan Mantra dalam Agama Leluhur

Mengutip Misginah, salah satu narasumber Forum Kamisan Daring (FKD) Episode 9 dari Puan Hayati, Jawa Tengah, yang juga merupakan pengurus dan penghayat di Paguyuban Hangudi Bawana Tata Lahir Batin, “praktik penggunaan mantra adalah praktik berdoa yang dilakukan untuk berbagai tujuan, termasuk untuk kesembuhan.” Dalam Paguyuban Hangudi Bawana Tata Lahir Batin, di antara bentuk praktik berdoa yang menggunakan mantra adalah manembah atau meditasi, wirid, mantra japa, dan tirakat yang dilakukan untuk tujuan-tujuan khusus seperti memohon kesehatan, keberlimpahan rezeki, karier yang lancar, mempercepat jodoh, dan kekuatan lahir dan batin.

Dalam praktiknya, penggunaan mantra sebagai bentuk doa khusus mesti dibarengi dengan tindakan tertentu agar dapat terkabulkan. Seseorang yang menggunakan mantra harus melakukan tarak brata atau memenuhi beberapa persyaratan seperti berpuasa, tidak tidur dalam waktu tertentu atau wungon, berjalan kaki dengan jarak atau putaran tertentu atau mider bawana, dan melakukan ritual khusus atau meditasi. Penghayat Paguyuban Hangudi Bawana Tata Lahir Batin sering mengombinasikan pengamalan mantra dengan tarak brata. Misalnya, mantra diucapkan beberapa kali atau satu kali saat melakukan puasa, meditasi, kungkum, mider bawana, atau wungon.

Dalam agama leluhur Marapu, mantra biasanya digunakan dalam ritual penyembuhan penyakit. Penggunaan mantra dalam konteks ini tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan agama leluhur Marapu yang sangat erat memegang relasi antar manusia dan alam. Sebagaimana tergambar lewat kredonya “tanah ibarat ibumu dan langit ibarat ayahmu,” disiratkan bahwa alam sekitar sangat penting bagi kehidupan dan peradaban. Hal ini ditegaskan oleh Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Dinamisator Komunitas WAI Humba, Sumba. Menurutnya, masyarakat adat Sumba percaya bahwa hampir di setiap ruang hidup sehari-hari mereka terdapat tempat sakral (atau yang disebut sebagai Katoda). Misalnya, Katoda Uma (tempat ibadah di rumah), Katoda Padang (tempat ibadah di padang), Katoda Lupu (tempat ibadah di sungai), Katoda Matawai (tempat ibadah di mata air), Katoda Mananga (tempat ibadah di pertemuan laut dan sungai), dan seterusnya. Di tempat-tempat itulah, kata Paranggi, mantra dilafalkan.

Intersubjektivitas Manusia dan Alam melalui Mantra

Dalam banyak kasus, mantra merepresentasikan relasionalitas manusia dan alam. Salah satu contohnya adalah teks mantra yang digunakan dalam praktik penyembuhan di Paguyuban Hangudi Bawana Tata Lahir Batin: “Teko weluh teko asih, sak kabehe ingkang ono ning alam, sarto… larut luluh ning awakku.” (Dari peluh dan asih, semuanya yang ada di alam, larut-melebur di badanku). Mantra tersebut kurang lebih bermakna, “segala aspek yang ada di alam juga terdapat dalam diriku dan sebaliknya.” Hal ini menandakan bahwa penyakit dan kesembuhan ditentukan oleh aspek-aspek di luar diri yang interdependen dengan aspek-aspek dalam diri, dan semua aspek-aspek itu adalah “subjek-subjek” yang turut berpengaruh pada diri manusia. Ketika alam mengalami kerusakan, diri kita sebagai manusia juga akan mengalami “rusak” atau sakit. Mantra, dalam konteks ini, berfungsi untuk membangun kembali keseimbangan berbagai aspek dalam keseluruhan kosmos, antara segala hal di luar diri dengan hal di dalam diri.

Narasi interdependensi manusia dan alam juga dapat ditemukan dalam mantra penyembuhan dari agama leluhur Marapu di Sumba Barat. Dalam Forum Kamisan Daring (FKD) Episode 9 tersebut, seorang pemimpin spiritual Marapu, Rato Ratewana – Kornelis Bili, menjelaskan bahwa:

“jika ada keluarga kami yang sakit, kami langsung melakukan ritual untuk meminta kepada arwah leluhur kami agar orang tersebut dijaga dan dilindungi lewat air doa […] Saya sebagai Rato, penganut kepercayaan Marapu di Sumba Barat, selalu melaksanakan ritual bagaimana menjaga keseimbangan alam, karena penyembahan terhadap Marapu harus diwujudkan lewat memperbaiki hubungan antara manusia dan bumi sehingga tetap bersatu, tetap seimbang, sehingga bisa terjadi kesembuhan dan segala hal yang kita doakan.”

Dengan demikian, ritual yang dilakukan untuk tujuan penyembuhan seperti itu sesungguhnya terkait erat dengan praktik menjaga keseimbangan alam, yang sekaligus merupakan bentuk hormat mereka terhadap Marapu.

Samsul Maarif, lewat artikelnya berjudul Re-Establishing Human-Nature Relations: Responses of Indigenous People of Indonesia to Covid-19, memperlihatkan bahwa penganut agama leluhur di Indonesia pada dasarnya melihat penyakit sebagai akibat dari ketidakseimbangan relasi kosmos manusia dan alam. Pandemi Covid-19 misalnya, dilihat sebagai akibat dari kegagalan manusia dalam merawat keseimbangan kosmos. Dengan kepercayaan semacam itu, penganut agama leluhur terdorong untuk melakukan berbagai ritual keagamaan, termasuk penyembuhan dengan mantra, demi memulihkan relasi yang rusak. Dengan kata lain, jika terjadi penyakit, para penganut agama leluhur akan merefleksikan kembali tindakannya kepada alam yang mungkin mengganggu keseimbangan kosmos.

Mantra sebagai Praktik Keagamaan

Intersubjektivitas manusia dan alam ini tidak dipahami oleh paradigma Barat-modern yang melihat praktik menghayat mantra sebagai animis dan primitif. Dalam paradigma agama dunia yang dominan hari ini, manusia dan alam dilihat dalam relasi yang hierarkis, sejalan dengan dualisme Cartesian yang menempatkan manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek. Paradigma ini sebetulnya bermula dari para teoretikus evolusionis seperti Edward Tylor dan James Frazer yang percaya bahwa masyarakat beragama niscaya berevolusi dari animisme, ke politeisme, lalu ke monoteisme, dan berakhir ke sains modern sebagai puncak peradaban. Jika merujuk pada Walter Mignolo, misinterpretasi semacam ini merupakan bagian dari sisi gelap modernitas barat yang ditopang oleh kolonialisme dan terus diwariskan hingga kini.

Salah satu upaya dekolonisasi yang dapat dilakukan adalah dengan merekonstruksi ulang suatu perspektif yang lebih adil dalam memahami keragaman pandangan dan praktik keagamaan, termasuk dalam hal ini agama leluhur. Pendekatan yang digunakan tentu saja mesti berbasis pada paradigma penganutnya ketimbang menghakimi mereka dengan perspektif tunggal yang dikonstruksi secara sempit. Samsul Maarif misalnya mengidentifikasi bahwa keberagamaan penganut agama leluhur termanifestasi dalam interrelasi mereka dengan alam. Alih-alih melihat entitas kosmos secara hierarkis, paradigma agama leluhur menempatkan manusia sebagai subjek yang hidup berdampingan dengan subjek-subjek non-manusia lain termasuk alam. Dalam interrelasi ini, manusia menghidupi tiga prinsip penting yang menandai keberagamaannya yaitu: tanggungjawab (responsible), etika (ethical), dan timbal balik (reciprocal). Dengan kata lain, menjadi religius adalah menjadi relasional.

Merujuk pada perspektif tersebut, menghayati mantra sejatinya adalah menghayati agama. Mantra pada dasarnya adalah proses membangun dan merawat relasi interdependen manusia dengan subjek non-manusia lainnya. Jika mantra dimaknai oleh penganut agama leluhur sebagai upaya mengembalikan keseimbangan kosmos, maka ia sesungguhnya merepresentasikan sikap tanggung jawab, etika, dan timbal balik di dalam relasinya. Dengan demikian, paradigma dan praktik-praktik keagamaan penganut agama leluhur, termasuk praktik menghayat mantra, dapat dipahami sebagai praktik keagamaan.


Penulis: Andi Alfian

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button