Forum Kamisan DaringForum Kamisan daring 2024Program

Menghayati Praksis Penghayat Kepercayaan dan Transpuan dalam Perspektif Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Highlight FKD #4

Pada tahun 2000, negara Indonesia meratifikasi deklarasi universal hak asasi manusia (deklarasi HAM). Ratifikasi HAM adalah implikasi dari gerakan reformasi tahun 1998 (Yunazwardi & Nabila, 2021).  Ratifikasi, dalam pengertian yang sederhana, adalah tindakan resmi suatu negara untuk mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian internasional. Dalam konteks ini, perjanjian internasional dapat mencakup berbagai bidang, mulai dari masalah politik dan perdamaian, hingga ekonomi dan lingkungan hidup (Bagir, 2017).

Aspek HAM yang paling berkaitan langsung dengan agama adalah artikel kebebasan beragama dan berkeyakinan/freedom of religion and belief  (selanjutnya KBB). KBB sendiri telah menjadi bagian dari jaminan hak asasi manusia dalam hukum internasional. Jaminan KBB dalam hukum internasional yang telah diterima hampir oleh semua negara di dunia adalah Pasal 18 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). ICCPR merupakan bagian dari The International Bill of Human Rights yang terdiri atas Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) dan ICCPR sendiri sebagai instrumen internasional HAM ditetapkan di forum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pasca Perang Dunia Kedua (PD II) sebagai bentuk komitmen organisasi ini untuk memajukan dan mendukung penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental (Yunazwardi & Nabila, 2021).

Terdapat 4 (Empat) prinsip dan norma kebebasan beragama dan berkeyakinan, pertama tidak dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya. Kedua, kebebasan menjalankan agama dapat dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup. Ketiga, hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, moral universal, atau hak-hak mendasar orang lain. Keempat, pengakuan agama merupakan hak setiap komunitas agama, tanpa diskriminasi (Fatmawati, 2011).

Menurut Asfinawati dan Renata, KBB adalah sebuah langkah maju bagi kehidupan beragama di Indonesia, sebab negara Indonesia memiliki banyak persoalan dalam pengelolaan kehidupan beragama seperti undang-undang penistaan agama, pendefinisian agama yang terlalu sempit, hingga isu penetapan standart halal-haram untuk urusan obat dan makanan (Arianingtyas, 2020). Oleh karena itu,  isu KBB menjadi penting untuk digaungkan dan diimplementasikan secara maksimal agar mendorong bentuk layanan keagamaan yang inklusif bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Menurut Bagir (2020), Rm. Otto (2020), dan Al Khanif (2023), jauh sebelum kehadiran KBB, UUD 1945 dengan jelas mendukung kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pengakuan tersebut tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu, ratifikasi HAM pada tahun 2000 bukan sesuatu yang benar-benar baru melainkan semacam afirmasi legal atas UUD 1945 yang sudah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia (Al Khanif, 2023). Dengan demikian, UUD 1945 membantah berbagai wacana atau tuduhan yang mengatakan  bahwa ratifikasi KBB adalah sesuatu yang sangat kebarat-baratan (Fatmawati, 2011; Jufri, 2017).

Jauh sebelum kehadiran KBB, UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia menempatkan agama sebagai hak alamiah (natural right) warga negara. Negara hadir sebagai pelindung dan pendukung (duty barrier) dari KBB (Bagir, 2022). Negara tidak menentukan jenis atau macam agama yang mesti dipeluk oleh rakyat Indonesia.

Mbak Olla, Yanto, dan KBB

Kehadiran KBB dan perkembangan wacananya menegaskan bahwa sistem hukum Indonesia menjamin rakyatnya untuk memeluk dan mengamalkan ajaran agama sesuai pilihannya masing-masing. Identitas dan praktik agama adalah hak setiap subjek. Akan tetapi, praktik hubungan antar beragama di akar rumput berkebalikan dari semangat KBB.

Pada FKD 4, ICIR menghadirkan Mbak Olla dan Yanto guna mendiskusikan Demokrasi bagi Kelompok Rentan: Praksis Penghayat Kepercayaan dan Transpuan. Mbak Olla menceritakan pengalaman buruk kelompok waria Al Fattah dalam menjalankan ajaran Islam karena sikap intoleran beberapa kelompok muslim di sekitar mereka. Intoleransi tersebut muncul karena kelompok muslim mempermasalahkan orientasi gender Mbak Olla dan rekan-rekannya di ponpes Waria Al Fattah. Yanto, seorang penghayat Geba Mlia, mengalami diskriminasi karena ulah pegawai kantor pencatatan sipil. Dalam sesi diskusi, Yhanto mengatakan bahwa anggota pencatatan sipil tidak mencantumkan ‘kepercayaan’ sebagai identitas agama pada kolom KTP Yanto dan rekan penghayat Geba Mlia lainnya. Sang pegawai tersebut malah mencatat agama Hindu. Tindakan tersebut tentu adalah bentuk diskriminasi dan juga ketakpahaman sang pegawai pencatatan sipil atas perubahan pengakuan negara pada penghatat, tukas Yhanto pada sesi tanya jawab.

Setidaknya terdapat dua faktor yang menghambat KBB yakni intoleransi antar umat beragama dan diskriminasi pemerintah lokal. Lantas bagaimana Ponpes Al-Fattah dan penghayat Geba Mlia berjuang untuk menikmati hak sipil mereka sebagai bagian sentral dari kebebasan beragama dan berkeyakinan?

Simak lebih lanjut melalui tautan berikut ini:


Kontributor: Jear Nenohai

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button