Tuhan dalam Alam Berpikir Penghayat Kepercayaan

Siapakah “Tuhan” menurut ajaran Agama Leluhur?
Itulah pertanyaan pertama yang muncul dalam benak saya ketika membaca silabus yang diterbitkan oleh dosen pengampu mata kuliah Indigenous Religion di program magister CRCS UGM. Sebelum mengikuti perkuliahan, saya sudah membayangkan dan sedikit berimajinasi tentang sekelompok orang yang menganut ajaran Agama Leluhur. Saya membayangkan mereka bisa memberikan argumen terkait konsep dan keberadaan Tuhan, layaknya apa yang telah diajarkan oleh pemimpin agama lain di Indonesia. Setelah mengikuti beberapa kelas yang membahas sudut pandang para peneliti mengenai teori-teori eksistensi Agama Leluhur, fenomena yang berkembang di dalamnya, dan upaya dekolonisasi yang telah dilakukan, saya merasa bahwa materi ini memberikan pengantar yang baik.
Sebagai mahasiswa yang belum pernah mempelajari Agama Leluhur atau Penghayat Kepercayaan sebelumnya, tiba saatnya di mana kami tidak hanya akan belajar di ruang kelas, tetapi juga terlibat langsung dengan para praktisi. Kami diberi kesempatan untuk bisa terlibat langsung sebagai partisipan dalam kegiatan Sekolah Agama Leluhur (SAL) tahun 2024. Kegiatan ini memberi kami kesempatan untuk merasakan pengalaman langsung dan proses pembelajaran yang sangat penting dalam memahami Agama Leluhur serta bagaimana para Penghayat Agama Leluhur bertahan hingga kini meski menghadapi berbagai tantangan yang terus berkembang (Klinken, 2020). Sebagai tambahan informasi, Indonesia memiliki sekitar 187 organisasi Penghayat Kepercayaan, dengan sekitar 12 juta orang yang menganutnya (Mubarak, et al., 2023).
Peserta SAL berjumlah 25 orang yang merupakan delegasi dari beberapa paguyuban Penghayat Kepercayaan yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya, beberapa di antaranya memiliki latar belakang dalam mengelola UMKM. Keanekaragaman latar belakang dan profesi peserta diharapkan dapat membantu dalam menyusun rencana tindak lanjut yang akan dikerjakan oleh peserta. Kegiatan SAL berlangsung selama tiga hari, dari Minggu hingga Selasa, 23-25 Juni 2024 bertempat di Sanggar Candi Sapta Rengga, Yogyakarta. Program ini merupakan inisiasi untuk mengakomodasi kebutuhan Pemeluk Agama Leluhur, menyediakan wadah khusus bagi mereka untuk belajar dan mengekspresikan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur mereka. Gagasan yang melatarbelakangi kegiatan SAL ini dapat dipandang sebagai bagian dari upaya pluraversitas yang memberi ruang berbagi pengetahuan dalam konteks pluralitas pemahaman. Pengetahuan ini tidak hanya datang dari perspektif universitas secara akademik, tetapi juga dari pemikiran masyarakat yang hidup dengan berbagai sudut pandang yang membentuk kehidupan mereka sehari-hari (Klinken, 2020).
Sebagai mahasiswa program studi Agama dan Lintas Budaya, saya sangat antusias mengikuti SAL mempelajari banyak hal secara partisipatif. Terlibat langsung dengan komunitas Penghayat Kepercayaan adalah pengalaman yang berharga. Seperti yang dikatakan Klinken, metodologi penelitian seperti participatory action research semakin banyak dianut oleh para cendekiawan agama. Ini bukan hanya sebagai komitmen etika dan politik, tetapi juga karena kreativitas intelektual dan produktivitas yang dihasilkan (Klinken, 2020). Saya pun sangat penasaran untuk mengetahui apa yang ada di dalam benak setiap penghayat kepercayaan tentang entitas yang bernama Tuhan. Maka, saat terlibat dalam kegiatan SAL, saya mulai mengamati dan mendengarkan topik-topik pembahasan dan diskusi di dalamnya, dengan fokus pada pandangan para Penghayat Kepercayaan tentang eksistensi Tuhan.
Melalui percakapan dengan beberapa peserta, saya menemukan pandangan menarik mengenai makna Tuhan. Salah seorang peserta menuturkan bahwa dalam mengenal Tuhan, akal tidak bisa menjelaskan siapa Tuhan, tetapi rasa bisa. Rasa dianggap penting dalam memahami Tuhan, dan laku (tindakan) menjadi cara untuk memperkuat iman kepada Tuhan. Mereka percaya Tuhan itu ada, meskipun sulit mendefinisikannya dalam bentuk atau konsep apa pun. Sebagian besar Penghayat Kepercayaan beranggapan bahwa Tuhan tidak bisa digambarkan dengan ciri atau sifat tertentu, seperti yang dilakukan agama-agama dunia lainnya. Saya juga mendengar frasa menarik, manunggaling kawula Gusti, yang berarti bahwa setiap manusia bisa bertemu dengan Tuhan tanpa disadari, karena manusia diberikan pengetahuan alami untuk membedakan yang baik dan buruk, serta yang bijaksana dan tidak bijaksana.
Ada satu momen yang membuat saya tersenyum ketika seorang peserta lainnya mengatakan bahwa meskipun mereka tidak bisa menjelaskan Tuhan dengan definisi atau konsep apa pun, mereka yakin Tuhan itu ada. Tuhan menjadi bagian dari semua yang hidup, termasuk manusia, meskipun mereka menghindari mendeskripsikan bentuk Tuhan. Pandangan ini serupa dengan panteisme dalam Hindu yang memandang Tuhan ada di dalam segala sesuatu. Sedangkan dari sudut pandang lain, Tuhan adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan situasi individu atau kelompok yang mengalami ketidakpastian dalam hidup. Ada dorongan dalam diri manusia untuk menciptakan sesuatu yang dianggap lebih kuat dan berkuasa dari dirinya sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan Freud (1961) tentang obsesi manusia terhadap otoritas yang lebih besar. Namun, mungkin jika manusia merenungkan lebih dalam, mereka akan menyadari bahwa sangat sulit untuk memberikan definisi tentang Tuhan, karena istilah “Tuhan” sendiri merupakan kata yang diadopsi, akibat dari kolonisasi terminologi. Manusia sering mencoba mencari tahu apakah ada kekuatan yang lebih besar dari dirinya dan menjadikannya sebagai Yang Maha Kuasa.
Lalu, bagaimana para Penghayat Kepercayaan mengenal Tuhan atau mengetahui keberadaan Tuhan? Menurut salah satu peserta, pada dasarnya manusia memiliki percikan Cahaya Ilahi yang berhubungan dengan pencarian Tuhan. Meskipun pemahaman tentang Tuhan itu masih sangat dangkal, perjalanan hidup mereka akan membawa mereka untuk menemukan hal-hal yang lebih dalam. Mereka mulai menyadari hubungan yang erat dengan sesuatu yang supranatural dan Maha Kuasa. Hal ini menegaskan keyakinan para Penghayat Kepercayaan bahwa Tuhan ada dalam diri mereka, melalui percikan cahaya ilahi yang memberi mereka keyakinan hidup.
Para Penghayat Kepercayaan juga membangun hubungan yang sangat intim dengan sesama manusia. Mereka percaya bahwa menjaga hubungan baik dengan semua makhluk hidup dan ciptaan Tuhan adalah hal yang penting, bahkan dengan hal-hal yang lebih abstrak seperti jin. Manusia yang hidup dalam harmonisasi dengan alam dapat merasakan kehadiran Tuhan, dan segala yang dikerjakan oleh manusia menjadi bagian dari kesadaran mereka akan Tuhan yang Maha Kuasa. Begitu pun relasi antara manusia dan Tuhan, hubungan manusia dengan alam dan kebutuhan manusia terhadap alam dan Tuhan dijaga erat. Dalam kehidupan ini, manusia dan alam tidak terpisahkan, dan melalui relasi ini, alasan di balik keberadaan Tuhan pun semakin jelas. Pandangan ini sejalan dengan Tynan yang mengungkapkan bahwa hubungan antar entitas lebih penting daripada entitas itu sendiri (Tynan, 2023).
Sebagai kesimpulan sementara, Tuhan dalam komunitas Penghayat Kepercayaan tidaklah seperti Tuhan yang dikonsepsikan oleh agama-agama besar di Indonesia atau dunia. Terdapat upaya vernakularisasi yang dilakukan berdasarkan pemahaman masyarakat adat dalam komunitas agama leluhur. Keengganan penghayat untuk mendefinisikan Tuhan membuka peluang bagi kita untuk menggali lebih jauh bagaimana mereka menghayati Tuhan yang tak terdefinisikan tersebut. Saya juga mengapresiasi upaya CRCS UGM dan mitra-mitranya yang telah memfasilitasi dan menunjukkan komitmennya untuk mengakomodasi agama leluhur. Kegiatan SAL ini memberikan pengalaman berharga yang sulit untuk terulang, dan saya sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari sejarah tersebut.
Kontributor: Max Neles Awairaro
Referensi:
Freud, S. (1961). The Future of An Illusion. (J. Strachey, Trans.). New York, NY: Norton.




