Forum Kamisan DaringForum Kamisan daring 2024Program

Demokrasi bagi Kelompok Rentan: Praksis Penghayat Kepercayaan dan Transpuan

Highlight FKD 2

Apa itu kelompok rentan? Mengapa ada kelompok yang rentan dalam negara demokrasi?

Pada negara yang mengakui keberagaman seperti Indonesia, nyatanya, tidak semua kelompok terakomodasi dalam sistem negara dan mendapatkan perlindungan hukum. Kelompok masyarakat, yang tidak terakomodir dalam perlindungan hukum, adalah mereka yang disebut sebagai kelompok rentan. Mereka, kelompok rentan, ada dalam negara Indonesia tetapi tidak mendapatkan perlakuan yang setara dengan kelompok lain di dalam satu negara.

Rully Mallay membuka diskusi dalam FKD #2 2024 dengan memaparkan perjalanan demokrasi di Indonesia sejak reformasi besar-besaran pada tahun 1998. Reformasi tersebut tidak serta merta menihilkan problema yang ada, Rully menyebut “Sejatinya demokrasi di Indonesia, disadari atau tidak, semakin menyempit.” Disebutnya bahwa salah satu dampak paling signifikan dari demokrasi yang menyempit ini adalah meningkatnya agresi dari kelompok-kelompok arus utama tertentu, yang sering kali mengatasnamakan agama. Kelompok-kelompok ini telah sering menargetkan komunitas minoritas, termasuk komunitas transgender di Indonesia. Komunitas transgender, khususnya, telah menghadapi serangan fisik dan psikologis berulang kali, yang telah menggarisbawahi meningkatnya intoleransi di masyarakat.

Sejak tahun 2000, komunitas transgender di Indonesia telah mengalami serangan tanpa henti. Salah satu insiden paling awal dan paling parah terjadi selama peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada bulan Desember 2000 di Kaliurang. Acara tersebut diganggu dengan kekerasan, menandai dimulainya serangkaian serangan yang akan terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Serangan bermotif politik bahkan juga dialami terutama selama periode pemilihan umum ketika isu-isu yang menyangkut komunitas transgender dan kelompok rentan lainnya dipolitisasi untuk mendapatkan keuntungan elektoral. Politisi dan partai politik mengeksploitasi sentimen terhadap komunitas ini untuk meningkatkan popularitas mereka di kalangan pemilih ‘konservatif’.

Penargetan komunitas transgender yang terus-menerus ini menyoroti kurangnya perlindungan hukum di Indonesia. “Tidak ada satupun undang-undang yang secara spesifik memberikan perlindungan hak asasi pada kelompok transpuan ataupun kelompok keberagaman gender lainnya,” tutur Rully.  Kekosongan hukum ini membuat komunitas ini rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi.

Sri Rahayu dari Penghayat Resik Kubur Jerotengah menyatakan pandangan yang serupa. Kabar baiknya, identitas penghayat sudah diakui pemerintah negara Indonesia. Tampaknya, karena sudah mendapat pengakuan negara, kelompok Penghayat memiliki akses yang lebih baik untuk mengurus kepentingan administrasi publik seperti kartu tanda penduduk dan berbagai keperluan lainnya. Kabar buruknya, stigma buruk terhadap perempuan Penghayat masih ada sampai sekarang. Sri Rahayu mengatakan bahwa  masyarakat luas menganggap perempuan penghayat sebagai kelompok yang mempraktikkan paranormal atau dukun.

Di sisi lain, peran perempuan dalam sistem yang diakui penghayat kepercayaan, khususnya di Indonesia, sangat beragam dan vital. Perempuan-perempuan ini mengemban tanggung jawab penting, menyeimbangkan tugas mereka sebagai istri dengan peran unik mereka dalam ritual keagamaan dan kehidupan bermasyarakat. Kontribusi mereka, meskipun sering kali diremehkan, sangat penting bagi kelangsungan spiritual dan budaya masyarakat mereka. Aspek-aspek tertentu dari ritual ini dianggap sakral dan hanya dapat dilakukan oleh perempuan. Sejak seorang anak masih bayi misalnya, ibulah yang pertama kali menanamkan rasa identitas dan tujuan pada anak-anak mereka, yang meletakkan dasar bagi peran masa depan mereka dalam masyarakat.

Di luar peran keluarga mereka, perempuan juga bertugas untuk mempraktikkan ajaran tradisi mereka dengan setia. Tanggung jawab spiritual mereka meluas ke peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan, seperti melakukan merukti lelayu—ritual memandikan orang meninggal—tugas yang secara tradisional diperuntukkan bagi perempuan dalam komunitas Penghayat Resik Kubur Jerotengah. Selain itu, perempuan menyiapkan persembahan untuk berbagai upacara. Bahkan secara historis, perempuan dalam tradisi mereka menjabat sebagai Demang (gelar untuk pemimpin lokal) atau pejuang, yang menunjukkan bahwa ajaran leluhur mereka menempatkan perempuan pada kedudukan yang setara dengan laki-laki.

Namun, terlepas dari kontribusi mereka yang signifikan, perempuan dalam komunitas ini sering menghadapi tantangan. Secara internal, terdapat rasa ragu-ragu dan tidak aman yang meluas di kalangan perempuan, khususnya saat melangkah ke peran kepemimpinan publik atau berbicara di forum publik. Keraguan ini diperparah oleh status mereka sebagai kaum minoritas, yang sering kali menyebabkan kurangnya rasa percaya diri dalam menegaskan kehadiran mereka dalam konteks masyarakat yang lebih luas. Secara eksternal, tantangannya meliputi kebutuhan akan pengakuan dan dukungan yang lebih besar atas peran mereka baik dalam komunitas mereka maupun masyarakat yang lebih luas. Upaya berkelanjutan untuk memperkuat kehadiran dan pengaruh perempuan dalam sistem kepercayaan ini sangat penting untuk memastikan ketahanan dan kemampuan mereka yang berkelanjutan untuk berkontribusi secara berarti bagi komunitas mereka.

Baik kelompok Penghayat dan Transpuan masih menjadi kelompok rentan karena masyarakat mayoritas masih memegang stigma buruk, atas nama ajaran agama, sebagai ‘alat’ untuk menekan dan memarginalkan kelompok Transpuan dan Penghayat. Tidak jarang kelompok dari identitas mayoritas memainkan serta memanfaatkan kondisi rentan kelompok Transpuan dan Penghayat sebagai cara untuk meraih keuntungan dalam pentas kontestasi politik dan fasilitas publik lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan sektor pekerjaan publik.

Kemudian, bagaimana kelompok Transpuan dan Penghayat bergerak untuk meraih kedaulatan dan keadilan di ruang demokrasi yang dihegemoni oleh masyarakat lainnya?

Selengkapnya:


Kontributor: Jear Nenohai dan Puja A.D, CRCS UGM

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button