Forum Kamisan DaringForum Kamisan Daring 2025Program

Forum Kamisan Daring ICIR #1 "Demokrasi Hijau: Partisipasi Setara dalam Pengambilan Keputusan Lingkungan"

Pada Kamis, 5 Juni 2025, ICIR Rumah Bersama kembali menyelenggarakan Forum Kamisan Daring (FKD) dengan tema “Demokrasi Hijau: Partisipasi Setara dalam Pengambilan Keputusan Lingkungan.” Diskusi ini menjadi ruang refleksi dan advokasi kolektif tentang pentingnya keterlibatan masyarakat adat dan penghayat kepercayaan dalam menjaga dan menentukan arah kebijakan lingkungan hidup.

FKD ini dipandu oleh dua moderator, Yakomina Mangmah dari CRCS 2024 dan Vika Leonita dari Gemapakti Jawa Timur. Pembicara yang hadir adalah Kresno Andi Cahyono, seorang penghayat kepercayaan Wringin Seto di Blora, serta Irwansyah, pegiat lingkungan yang berasal dari komunitas penghayat kepercayaan Ada’ Mappurondo di Mamasa, Sulawesi Barat. Diskusi ini juga turut ditanggapi oleh Marta Hesty dari CRCS 2023 yang sedang melakukan penelitian mengenai gerakan komunitas lokal dalam upaya penolakan geothermal.

Demokrasi Hijau dalam Pandangan Penghayat

Pak Kresno membuka diskusi dengan menekankan bahwa demokrasi hijau adalah gerakan yang selaras dengan nilai-nilai hidup para penghayat. Dalam pandangannya, relasi antara Tuhan, manusia, dan alam tidak bersifat hierarkis, melainkan horizontal—sebuah relasi harmonis dan saling terhubung.

Pengetahuan seperti Memayu Hayuning Bawono mencerminkan prinsip kehidupan yang lestari (berkelanjutan/menjaga), bebarengan (kolektif), dan laras (harmonis). Demokrasi hijau dalam konteks ini tidak hanya menjadi slogan, melainkan bagian dari laku hidup dan spiritualitas yang berakar pada kearifan lokal. Alam bukan sekadar objek, tapi sarana penyambung relasi dengan Tuhan. Maka dari itu, demokrasi hijau harus diwujudkan dalam tindakan nyata—menjadi laku, bukan sekadar wacana.

Sinergi antara Hukum Adat dan Kebijakan Lingkungan

Sementara itu, Bang Irwansyah mengangkat aspek legal dan struktural dalam pengambilan keputusan lingkungan, khususnya dari sudut pandang kehutanan. Ia menyoroti perbedaan antara instansi lingkungan hidup dan kehutanan, serta peraturan yang mendasari kebijakan pengelolaan lingkungan – seperti UU No. 32 Tahun 2009 dan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999.

Bang Irwan menekankan bahwa masyarakat adat, seperti komunitas Ada’ Mappurondo, memiliki peran penting karena mereka tinggal berdampingan langsung dengan hutan dan memiliki kearifan lokal yang telah terbukti menjaga ekosistem secara berkelanjutan. Ia juga menyoroti bagaimana prinsip hidup komunitasnya—talluloronna (relasi dengan Tuhan, sesama, dan alam)—menjadi landasan partisipasi dalam demokrasi hijau.

Contoh konkret partisipasi masyarakat adat antara lain melalui skema perhutanan sosial, keterlibatan dalam rehabilitasi hutan, hingga penentuan batas desa melalui program kolaboratif dengan pemerintah dan mitra internasional.

Tanggapan Kritis: Demokrasi Sejauh Mana?

Marta memberikan tanggapan kritis terhadap diskusi yang berkembang. Ia menekankan fakta bahwa tidak semua orang mendapat ruang setara dalam demokrasi lingkungan. Padahal sejatinya, demokrasi lingkungan yang ideal harus menjamin keterlibatan semua elemen masyarakat—terutama yang selama ini dimarginalkan.

Ia mengangkat kritik terhadap pandangan kolonial dan Western terhadap alam yang menempatkan alam sebagai objek eksploitasi. Sebaliknya, indigenous worldview menawarkan tiga prinsip dasar: relasionalitas (kesetaraan manusia-alam), tanggung jawab etis, dan timbal balik. Demokrasi hijau yang sejati hanya bisa terwujud jika ketiga prinsip ini dijadikan fondasi.

Sesi tanya jawab membuka ruang bagi peserta dari berbagai daerah dan latar belakang untuk menyampaikan refleksi dan pertanyaan. Beberapa isu penting yang muncul antara lain: 1) Kekhawatiran atas degradasi hutan dan habitat satwa akibat kebijakan rehabilitasi yang tidak melibatkan masyarakat; 2) Kritik terhadap peran akademisi yang kadang terlibat dalam proyek eksploitatif, serta dorongan agar akademisi menjadi bagian dari kontrol sosial; Tantangan sinkronisasi hukum adat dan aturan negara, yang sering kali masih berbenturan; 3) Kisah lokal dari komunitas Parmalim di Toba yang belum banyak mendapatkan perhatian akademik terhadap konflik mereka dengan perusahaan besar seperti Toba Pulp Lestari. Diskusi ini memperlihatkan bahwa perjuangan menjaga lingkungan tidak bisa dilakukan sendiri. Butuh kerja sama antara komunitas akar rumput, akademisi, hingga pembuat kebijakan.

Di penghujung forum, para pembicara dan penanggap menyampaikan pesan penutup yang kuat. Marta mengajak peserta untuk terus menyuarakan perlawanan dan advokasi melalui berbagai media, termasuk media sosial. Sementara itu, pak Kresno menutup dengan pepatah Jawa: “Suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti” bahwa segala kekuatan akan luluh oleh kebijaksanaan, kesabaran, dan kasih sayang. Bang Irwansyah menambahkan dengan menegaskan pentingnya integritas bagi masyarakat penghayat agar terus berkontribusi bagi keberlanjutan lingkungan.

FKD edisi ini menunjukkan bahwa “Demokrasi Hijau” bukan semata urusan teknokratis atau legalistik, tapi juga menyangkut keberadaban, pengetahuan lokal, dan keberanian untuk merawat bumi bersama. Suara masyarakat adat dan penghayat kepercayaan bukanlah pelengkap, mereka merupakan salah satu barisan di garda depan dalam menjaga masa depan lingkungan yang berkelanjutan.

Ikuti diskusi lengkapnya:


Kontributor: Novitama Putri Yogesi

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button