Makna Kematian bagi Penghayat Kepercayaan
Kematian itu niscaya bagi manusia. Tidak ada yang bisa menghindarinya dan tak ada siapa pun yang tahu kapan peristiwa itu terjadi. Dari kematian, manusia belajar bahwa kehidupan memiliki ujung, terbatas, dan harus berakhir. Ketika seseorang mati, ia lepas dari seluruh pengaruh dan keterkaitan dengan dunia yang pernah ditinggalinya, termasuk orang-orang yang dicintai, seperti keluarga dekat, karib, dan kerabat. Tapi sebenarnya, apakah itu kematian? Kenapa manusia mati? Kapan dan bagaimana itu terjadi? Apa yang terjadi setelah manusia mati? Serta apa implikasi mendasar kematian seseorang bagi kehidupan?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas lazim dijumpai dalam tradisi kepercayaan agama-agama dunia maupun lokal. Meskipun memiliki perbedaan secara definisi, cara pandang, dan bahkan ritual, keduanya tetap bertolak dari satu tesis mendasar: kematian merupakan sebuah konsekuensi logis yang tak terhindarkan bagi setiap makhluk hidup. Akan tetapi alih-alih menjelaskan kematian di dalam seluruh tradisi keagamaan tersebut, tulisan ini hanya akan melihat bagaimana kematian dan seluruh ritual yang melatarbelakanginya di dalam tradisi agama lokal, wabilkhusus dalam kepercayaan Budi Darma dan Sapta Darma di Indonesia.
Di dalam keyakinan para penghayat, kematian bukanlah akhir perjalanan hidup, melainkan jalan masuk menuju kehidupan selanjutnya yang sejati. Pandangan ini diungkap oleh Engkus Ruswana, Ketua Penghayat Budi Daya dan Naen Soeryono, Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) sekaligus Ketua Penghayat Sapta Darmo di dalam seri webinar Forum Kamisan Online Rumah Bersama pada 20 September 2020 yang diselenggarakan oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, PUSAD Paramadina, Yayasan Satu Nama, MLKI Pusat, dan Komnas Perempuan. Seri webinar ini juga menghadirkan sebagai Andriyani, seorang antropolog dan penulis sebagai pembanding dan dimoderatori oleh Eka Ningtyas, mahasiswi doktor di bidang History, Society and Civilization di Institute National des Langues et Civilisations (Inalco) Paris, Perancis.
Penghayat Kepercayaan dan Makna Kematian
Dapat dikatakan bahwa keseluruhan tradisi, cita-cita, kemauan, hingga pandangan hidup, dalam keyakinan para penghayat secara universal mengambil inspirasi dari ajaran moral masyarakat Jawa tradisional tentang kesempurnaan hidup melalui pelacakan asal-usul, tujuan, dan keterlibatan manusia di dunia, yakni “Sangkan Paraning Dumadi” atau “nyungsi diri nyuay badan angelo paesan tunggal” di dalam bahasa Sunda. Kedua hal ini tercatat di dalam Serat Centhini, salah satu kitab sastra terbesar yang berisi pengejahwantahan budi manusia Jawa yang dirampungkan pada tahun 1823 di bawah kepemimpinan Sunan Pakubuwana V. Abdullah Ciptoprawiro di dalam Filsafat Jawa (1986), menyebut Serat Centhini sebagai kitab yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Jawa, dan Islam. Itulah mengapa secara praksis, makna dan ritual kematian penghayat terlihat mirip dengan ketiga tradisi tersebut.
Dalam kaitannya dengan kematian pada kepercayaan Budi Darma, Sangkan Paraning Dumadi memberikan makna bahwa seseorang yang meninggal telah “mulih ka Jati mulang ka Asal”, setelah melalui “ritual siklus hidup” pascakelahiran dan perkawinan. Ketika seseorang telah mati, sebagaimana ungkap Engkus Ruswana, ia telah “kembali ke asal-asalnya lagi; [bahwa] yang berasal dari Tuhan [akan] kembali kepada Tuhan, yang berasal dari alam—yakni empat unsur (air, api, angin, tanah) [akan] kembali ke alam”. Ada dua pengertian yang dapat dipahami di sini. Pertama, kematian itu merupakan fenomena yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan; sedang kedua, kematian merupakan proses penyatuan kembali dengan sang pemberi kehidupan awal, yakni Tuhan Yang Maha Esa untuk mencapai kesempurnaan sejati.
Maka sahihlah keyakinan Sapta Darmo sebagaimana diungkap Naen Soeryono bahwa kematian berkaitan dengan muasal manusia yang tercipta dari manifestasi cahaya Tuhan yang tunggal ke dalam empat unsur, yakni air, api, angin dan tanah. Keempat unsur ini lantas bermanifestasi lagi menjadi 11 saudara yang merepresentasikan nafsu manusia, yakni permono, watak sombong; gondoruwo rojo, bengis dan kejam; jatingarang, kehendak menjelek-jelekkan orang lain; nogotawun, tidak pernah bersyukur; bromo, gampang emosi dan marah; bayu, suka ngeyel dan tidak terima dengan ucapan orang lain; indro pemalas; sukmo kencono, mengedepankan hasrat seksual; mayang nggoro, rakus; sukmo roso, prasangka buruk; dan terakhir adalah bagindogilir. Ketika seseorang menemui ajalnya, ungkap Naen, “hanya raga—tempat setiap nafsu-nafsu mewujudlah—yang mati; namun ruh tetap hidup dan akan kembali kepada muasalnya, yakni Tuhan Yang Maha Esa.”
Akan tetapi bagi Naen, bagaimana seseorang mati dan apa pengaruhnya bagi kehidupan setelah kematian itu sepenuhnya bersifat individual dan diukur dari sejauh mana keterlibatan seseorang dengan dunianya. Itu sebabnya di dalam kepercayaan Sapta Darmo, kematian seseorang itu terbagi empat, yakni, pertama, mati perso, atau mati karena bunuh diri yang banyak terjadi untuk menyelesaikan masalah hidup; kedua, mati ciloko, atau matinya seseorang karena kecelakaan; ketiga, mati karena kontrak perjanjian dengan jin (mis: seorang penganut ilmu hitam); dan keempat, mati yang sempurna karena dipanggil langsung oleh sang pencipta. Terkecuali mati sempurna, tiga bentuk kematian sebelumnya menyebabkan ruh masih berada di bumi, sebelum ia diselamatkan (baca: didoakan) oleh seseorang agar dapat kembali kepada Tuhan.
Ritual Kematian bagi Penghayat
Dalam keyakinan para penghayat, upacara kematian dilakukan untuk menuntun jasad manusia yang sudah meninggal agar dapat kembali dengan keadaan “sempurna” kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itu sebabnya mulai dari ngalesu (melemaskan persendian), memandikan, membungkus (mengafani), membaringkan, mengantarkan ke pemakaman, memakamkan, hingga upacara peringatan ke-1 hingga ke-1000 hari kematian seseorang, penting untuk dilakukan oleh masyarakat penghayat kepercayaan Budi Daya dan Sapta Darmo.
Bagaimana ritual kematian tersebut dilakukan juga tidak lepas dari pengaruh simbol-simbol religius seperti warna, angka, model kain, arah mata angin, hingga penggambaran akan wujud empat unsur (air, angin, api dan tanah) dan tujuh lapis langit dan bumi yang diinterpretasikan secara distingtif di dalam masing-masing aliran kepercayaan. Misalnya dalam memandikan layon (jasad), kepercayaan Budi Darma merepresentasikan air sebagai “pembersih” sekaligus penuntun agar keempat unsur di dalam diri manusia itu dapat dikembalikan ke alam. Atau dalam kepercayaan Sapta Darmo, jasad harus dibungkus (dikafani) kain berwarna putih lengkap dengan serban yang menghadap ke kanan bagi laki-laki dan ke kiri bagi perempuan sebagai representasi kesucian. Begitupun dengan angka tujuh yang bermakna gerak, kuasa, pengetahuan, hidup, pendengaran, penglihatan dan ucapan, yang terlilustrasikan dengan bantalan bulat dari tanah yang merepresentasikan tujuh lapisan langit-bumi.
Namun definisi simbol dalam keyakinan para penghayat tidaklah sama dengan apa yang diulas Geertz di dalam The Interpretation of Culture (1973) sebagai sesuatu yang memiliki makna tapi terpisah dari objek-objek empiris sehingga sewaktu-waktu ia dapat dikatakan sebagai realitas, sedang di waktu yang lain hanya sebagai representasi dari realitas tersebut. Sebaliknya makna simbol di dalam realitas penghayat kepercayaan itu justru berhubungan secara unik dengan objek atau ritual dan memiliki signifikansi secara intelektual, instrumental, dan emosional. Dengan kata lain, simbol dan makna simbol itu satu dengan praktik yang terbentuk melalui kompleksitas formasi sosial dan memiliki muatan pengetahuan yang beraras interaksi antara manusia dan alam sekitarnya dalam kurun waktu yang panjang lalu diwariskan dari generasi ke generasi.
Angka, sebagai perwujudan simbol dalam ritual keagamaan, juga terlihat dalam upacara peringatan kematian setelah Layon dimakamkan. Di dalam tradisi Budi Daya, hal ini disebut dengan Saptacara dan Sujudan Peringatan di dalam tradisi Sapta Darmo yang keduanya diperingati dari hari ke-1 hingga ke-1000. Peringatan ini merupakan tanda bahwa secara berkala, unsur-unsur di dalam diri manusia berupa raga (jasmani/rohani/aku), 7 kuasa manusia, empat unsur (air, angin, api, tanah) yang menjelma menjadi sifat dan nafsu, telah kembali ke asalnya. Namun demikian, implikasi ritual kematian ini juga memiliki siginifikansi sosial. Misalnya, di hari ke-1 di dalam kepercayaan Budi Daya, berisi anjuran untuk mengenang amal perbuatan si Layon lalu merefleksikannya ke dalam kehidupan orang lain. Atau di hari ke-100 yang dikenal sebagai ratus, atau mewangikan pakaian, dengan arti untuk mengenang seluruh kebaikan dan memaafkan seluruh kekhilafan si Layon semasa hidup.
Mengapa demikian? Di dalam Death, Ritual and Belief: The Rhetoric of Funerary Rites (Bloomsburry, 2002), Douglas Davies menyebut karena ritual kematian memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberlangsungan identitas sebuah komunitas masyarakat. Dalam hal ini, alih-alih statis, Davies mengambil penjelasan identitas sebagai cara “seseorang memahami diri mereka secara relasional terhadap orang lain, dunia sekitar, bahkan kepada dunia supernatural” (p. 22). Artinya, respons terhadap kematian seseorang melalui seperangkat ritual dan upacara di dalam kepercayaan Budi Daya dan Sapta Darmo tidak hanya didasari oleh doktrin keagamaan, namun juga memiliki implikasi sosial dan emosional terhadap orang lain karena ikatan-ikatan sosial yang terbentuk di dalam komunitas masyarakat.
Beberapa Catatan
Andriani, seorang antropolog dan penulis, memberikan perbandingan terhadap dua pembahasan makna dan ritual kematian di kalangan para penghayat. Bagi Andriani, alih-alih melihat perbedaan antara pandangan agama mainstream dan agama leluhur, diskursus terhadap kematian harusnya dititikberatkan pada makna, kompleksitas, tanda, dan representasi antar simbol di dalam ritual di dalam hubungan antara himpunan titik: bahwa kematian tidak memutus titik antara seseorang yang sudah mati dan masih hidup. Namun sebagai pembanding, ia juga mengajukan beberapa pertanyaan, misalnya: apa itu spiritualitas, ritual, dan penghayat? Apakah ritual merupakan alat atau justru sumber? Dalam konteks hubungan antar titik, bagaimana jika ritual tidak dilakukan? Atau, apakah ritual tersebut dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat di masa pandemi COVID-19?
Sebagian pertanyaan ini sebenarnya sudah dijawab di dalam diskusi. Pertama misalnya, terkait hubungan antara spiritualitas, ritual dan penghayat kepercayaan sebenarnya tidak terpisahkan. Spiritualitas agama lokal berisi tentang pandangan dunia para para penghayat, ditarik dari ajaran filsafat moral Jawa, yakni Sangkan Paraning Dumadi atau ajaran tentang asal muasal kehidupan. Spiritualitas inilah yang lantas mendasari kepercayaan bahkan praktik dan ritual penghayat. Namun perlu diingat bahwa meskipun telah mengalami percampuran dengan tradisi agama lainnya, kepercayaan leluhur itu tetaplah berakar di dalam komunitas masyarakat penghayat. Percampuran antara unsur-unsur agama atau kebudayaan yang terjadi setelahnya adalah keniscayaan lantaran pada dasarnya, agama leluhur itu adaptatif dan menerima keterbukaan. Dengan demikian, meskipun makna dan proses kematian itu persis dengan unsur-unsur tradisi dari Islam dan Hindu, namun tetap saja ia bisa dibedakan. Kedua, tentang signifikansi ritual. Naen menjelaskan bahwa “ritual itu memiliki kekuatan untuk mengantarkan orang yang sudah mati oleh mereka yang masih hidup” sebab “nur (cahaya) orang yang sudah meninggal, hanya bisa diantarkan oleh nur yang masih hidup”. Itulah sebabnya, bagi Engkus, ritual kematian itu sangat diperlukan karena berkaitan bukan cuma dengan kehidupan individual si Layon, melainkan juga karena ritual tersebut adalah bagian dari sistem kepercayaan para penghayat bahkan “meskipun diakui atau tidak oleh negara, ritual kematian harus tetap dilakukan.” Di akhir sesi tanya jawab, Engkus dan Naen memberikan penjelasan kembali bahwa di dalam realitas penghayat kepercayaan, kematian adalah niscaya dan kehidupan manusia setelahnya ditentukan oleh seberapa baik-buruk ia di dunia. Oleh sebab itu, kematian seharusnya menjadi pelajaran agar manusia memahami bahwa dunia bukanlah tempat akhir, melainkan justru awal-mula kehidupan yang hakiki.
Penulis: Tarmizi Abbas