Forum Kamisan Daring ICIR #4 “Menyambut 1 Suro: Narasi Penghayat Muda di tengah Mayoritarianisme”

Perkembangan pembangunan dan perubahan kebijakan pemerintah sedikit banyaknya berdampak terhadap kehidupan masyarakat adat yang telah berada di keadaan rentan menjadi semakin rentan.
Dua kelompok masyarakat adat menyampaikan keresahan mereka dalam mengikuti perkembangan politik negara yang membuat mereka harus beradaptasi untuk dapat tetap eksis.
FKD dengan tema “Menyambut 1 Suro: Narasi Penghayat Muda di Tengah Mayoritarianisme” menghadirkan aspirasi dan cerita dari penghayat kepercayaan Suku Adat Anak Rawa Penyengat di Kabupaten Siak, Riau, dan Gemapakti, yang memberikan kisah semangat para penghayat muda dalam mempertahankan ritual adat dan eksistensi mereka di tengah tekanan politik dan ancaman lingkungan.
FKD edisi keempat ini bersamaan dengan perayaan 1 Suro, yang berusaha menarasikan ritual masyarakat adat dengan hubungannya dengan alam semesta. Diskusi ini memberikan hikmah bahwa setiap diri manusia memiliki kebebasan dalam memeluk keyakinannya tanpa ada tekanan apa pun, dan nilai-nilai keyakinan setiap orang adalah autentik dan nyata, menghubungkan antara ia dengan Tuhannya.
Semangat Menjaga Tradisi Leluhur di tengah Tantangan Rekognisi
Bang Alit, perwakilan dari Suku Anak Rawa Penyengat yang mengemban amanah sebagai ketua Lembaga Kerabatan Adat Anak Rawa tahun 2015 sampai 2022 dan menjadi bagian Ikatan Keluarga Besar Suku Anak Rawa, berkesempatan menceritakan perjuangan Suku Adat Anak Rawa dalam mempertahankan tradisi dan keyakinan mereka di tengah tantangan krisis pengakuan jati diri.
Suku Anak Rawa menempati Kampung Adat Anak Rawa yang terbentuk karena adanya peraturan UU No 6 Tahun 2014. Mereka terus mendorong pemerintah untuk memberikan pengakuan terhadap keyakinan dan administrasi mereka secara adat.
Dalam Peraturan Daerah No 2 Tahun 2015 Provinsi Riau tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang bertujuan mengatur desa sehingga terbentuk delapan desa. Bang Alit menyampaikan bahwa seharusnya pemerintah mengakui terlebih dahulu keberadaan masyarakat adat, bukan membuat peraturan daerahnya dahulu, agar masyarakat adat dapat memberikan haknya dalam bersuara sehingga kebijakan yang ditetapkan tidak menjadi timpang.
Meskipun sudah terdapat peraturan daerah, masyarakat adat masih merasa rentan karena pemerintah daerah belum menindaklanjuti dengan peraturan kabupaten/walikota yang menetapkan masyarakat adat, sehingga pengakuan hanya berhenti di atas kerta tanpa kepastian hukum konkret di lapangan.
Hukum adat sering kali tidak sejalan dengan hukum negara. Masyarakat adat tidak dilibatkan secara penuh dalam perencanaan pembangunan. Hal ini membuat mereka merasa keberadaan hukum formal belum sepenuhnya melindungi.
Salah satunya adalah banyak masyarakat Suku Adat Anak Rawa memiliki KTP dengan bukan ditulis atas kepercayaan aslinya. Bang Alit memilih agama Islam sebagai identitas yang ditulis di KTP-nya karena agama Islam sebagai agama mayoritas sehingga ia bisa mengakses fasilitas kenegaraan dengan lebih mudah.
Orang tua Bang Alit ditulis animisme di KTP-nya, sedangkan masyarakat lainnya ditulis dengan agama yang diakui di Indonesia. Bang Alit berusaha memfasilitasi dan menjembatani masyarakat adat tanpa melibatkan orang lain dalam satu ajaran melalui Lembaga Kerabatan Anak Rawa.
Ia menjelaskan bahwa agama yang diakui negara baru masuk pertama kali ke desa mereka, yaitu pada tahun 2006 sampai 2008. Agama itu adalah agama Kristen. Kemudian setelah itu, setiap masyarakat menyesuaikan diri dengan identitas agama sesuai yang mereka inginkan dengan tetap menjalankan ritual serta menjalankan tradisi agama leluhur dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi mereka, tradisi yang telah mereka pegang sejak zaman dahulu adalah keyakinan yang tidak dapat digantikan oleh apa pun dan juga memiliki makna mendalam dalam kehidupan. Mereka juga ingin bahwa keyakinan mereka dapat diakui oleh negara sehingga mereka dapat dengan bebas berekspresi.
Suku Adat Anak Rawa sebagai salah satu suku yang mendiami Kabupaten Siak, Provinsi Riau, hingga hari ini masih menjaga tradisi dan ritual leluhur. Mereka meyakini bahwa arwah kakek-nenek yang meninggal akan menjadi malaikat. Mereka melakukan penghormatan dan meyakini bahwa arwah leluhur akan membawa rezeki dan keselamatan.
Ritual yang dilakukan oleh Suku Adat Anak Rawa di antaranya ritual bale kampung, tujuh liku, dan ritual buang talak. Kepala adat atau penghulu yang disebut bathin di Kampung Anak Rawa, akan memimpin ritual-ritual yang dilakukan. Bale kampung adalah salah satu ritual rutin yang dilakukan agar arwah leluhur tidak memberi mala petaka.
Ritual tersebut dilakukan di pohon kehidupan (pohon punak) dengan sesajen berupa ayam panggang yang dilaksanakan pada setiap hari ke-26 puasa. Tanda terjadinya pelanggaran yang dilakukan dan membuat arwah leluhur murka adalah adanya pembabatan hutan sehingga harimau muncul dan memangsa seseorang.
Untuk ritual tujuh liku, masyarakat menyelenggarakan pada hari ke-27 puasa, yaitu ritual penghormatan pada arwah leluhur di kediaman masing-masing dengan menyajikan makanan tradisional, kue-kue, dan kopi yang ditaruh di pelepah sagu. Kemudian, terdapat ritual buang talak yang merupakan ritual penyembuhan bagi masyarakat suku Anak Rawa.
Merayakan Satu Suro sebagai Hari Kelahiran Kembali
Oksa, salah satu anggota dari Paguyuban Bawono Toto, berkesempatan berbagi mengenai semangat spiritual dari komunitasnya dalam merayakan malam satu suro. Ia menjelaskan bahwa Paguyuban Bawono Toto didirikan pada tahun 1971 oleh Romo Marto Pangarso bersama para kadang atau muridnya.
Pusat aktivitas spiritual paguyuban ini berhubungan dengan Sendang Semanggi, sebuah mata air yang dijadikan tempat ritual dan tirakatan. Dalam tirakatan, para anggota mengenakan pakaian khusus—perempuan memakai kebaya, laki-laki memakai beskap dan blangkon—dengan syarat tubuh dan hati harus suci.
Ritual ini dilakukan di Pantai Parangkusumo, yang diyakini sebagai titik kerajaan Nyi Roro Kidul, di mana labuan dan doa syukur dipanjatkan kepada Tuhan YME. Setiap malam Jumat Kliwon diadakan pertemuan, sedangkan malam Selasa Kliwon khusus untuk tirakatan bersama yang sering dihadiri murid-murid dari berbagai daerah.
Ajaran Bawono Toto menekankan etika hidup yang sederhana tetapi mendalam. Di antaranya terdapat prinsip Poncowaliko yang dipesankan Romo: jangan sampai melanggar aturan negara (ora narak puwalingin negoro), jangan mengucapkan sumpah serapah kepada orang lain maupun diri sendiri (ora sepoto nyepatani), serta jangan mengingkari janji (ora cidro ing seboyo).
Bawono Toto tidak mencari teman ataupun musuh, melainkan hanya kebaikan hidup di dunia. Sesajen yang dipersembahkan bukan untuk disembah, melainkan sebagai perantara doa dan ungkapan syukur kepada Tuhan dan alam semesta. Alam telah memberi manusia buah-buahan dan tumbuhan, sehingga manusia wajib memberi umpan balik berupa rasa syukur.
Secara makna, Bawono Toto berarti “saesno ngiring sapodo podo”, yakni manusia harus hidup dengan hati sebagaimana manusia. Ajaran ini berbeda dengan Kejawen yang lebih bersifat tradisi dan sering menyatu dengan agama formal. Bawono Toto justru lahir sebagai praktik spiritual yang mengakar pada warisan leluhur serta menjalin hubungan dengan alam dan sesama.
Peringatan satu Suro menjadi momentum ulang tahun paguyuban, disertai dengan simbol-simbol seperti pisang sanggan dan patung Eyang Bono yang melambangkan kepintaran dan kecerdasan. Di tengah derasnya arus pengaruh budaya Barat yang kerap menggusur nilai-nilai lokal, tradisi semacam ini bukanlah sesuatu yang memalukan, melainkan warisan yang patut dibanggakan sebagai identitas budaya Indonesia.
Rekonstruksi Stigma melalui Media Membantu Eksistensi Masyarakat Adat
Tanthowi Anwari dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) menegaskan bahwa media memiliki posisi yang sangat strategis dalam memperjuangkan eksistensi masyarakat adat. Menurutnya, banyak narasi mengenai masyarakat adat dan penghayat kepercayaan yang selama ini keliru dipahami karena bias pemberitaan, bahkan tidak jarang dimarjinalkan dengan stigma “kuno”, “tidak modern”, atau dianggap menghambat pembangunan. Padahal, jika media memberi ruang yang adil, suara masyarakat adat bisa tampil sebagai sumber pengetahuan alternatif yang relevan dengan isu-isu global, khususnya lingkungan hidup dan demokrasi.
Lebih lanjut, Tanthowi menilai bahwa media bukan hanya sekadar corong informasi, melainkan arena penting untuk memengaruhi opini publik dan kebijakan. Melalui liputan yang kritis dan berimbang, media dapat menunjukkan bahwa kearifan lokal masyarakat adat justru menawarkan solusi berkelanjutan atas krisis lingkungan yang tengah dihadapi dunia.
Media yang berpihak pada keberagaman akan membantu publik memahami bahwa demokrasi tidak hanya bicara soal politik elektoral, tetapi juga tentang pengakuan dan perlindungan terhadap komunitas rentan serta tradisi leluhur yang menjaga keseimbangan alam.
Ia menambahkan bahwa media sosial dan kanal digital kini menjadi ruang baru bagi generasi muda adat untuk memperkuat narasi mereka. Dengan dukungan jurnalis yang peka dan progresif, stigma yang selama ini melekat bisa diubah menjadi pengakuan dan kebanggaan kolektif. Media yang dikelola dengan semangat keberagaman dapat mengubah cara pandang masyarakat luas, dari memandang adat sebagai warisan masa lalu menjadi melihatnya sebagai modal sosial dan ekologis yang berharga untuk masa depan. [AA]
Tonton selengkapnya di sini:
Kontributor: Fitria Susan Meliyana