Forum Kamisan Daring ICIR #13 “Sehat Gaya Leluhur: Melepas Ketergantungan dari Zat Kimia Modern”

Forum Kamisan Daring (FKD) yang diselenggarakan oleh ICIR kembali hadir dengan tema kesehatan. ICIR sebagai sebuah organisasi kolaborasi lintas sektor yang membangun gerakan kolektif untuk kewargaan inklusif dan berkeadilan melalui advokasi kebijakan dan diseminasi pengetahuan yang menjangkau berbagai pihak membawa diskusi mengenai pengobatan tradisional yang masih menjadi tradisi masyarakat adat dan penghayat di beberapa daerah.
Pada kesempatan ini, diskusi membahas mengenai perjuangan Bambang Purnama dalam melestarikan jamu tradisional dan Itoh Marsel yang tetap menggunakan pengobatan tradisional sebagai pengobatan dari berbagai penyakit di kelompoknya. Diskusi ini bertujuan untuk dapat mengetahui manfaat dan bukti pengobatan tradisional yang sering diremehkan, memberi dampak yang nyata bagi tubuh. Diskusi ini mengajak kita melihat bahwa pengobatan ini masih sangat relevan untuk bisa digunakan dalam kehidupan modern saat ini.
Jamu sebagai Obat Tradisional Warisan Indonesia
Bambang Purnama, seorang pegiat warisan leluhur dari MLKI Yogyakarta, melestarikan jamu tradisional sebagai obat yang menjadi pencegah dan penyembuh berbagai penyakit. Dia mulai bergelut dalam mempelajari dan membuat jamu dimulai sejak tahun 1989. Dia memulai semua itu dari nol dengan mengidentifikasi dan merasakan setiap bahan baku secara langsung, hingga menanam tanaman-tanaman obat.
Dia menjelaskan bahwa sebenarnya sejak dahulu, nenek moyang bangsa Indonesia menggunakan jamu sebagai pengobatan. Namun, hal itu mulai berubah dan pudar sejak masuknya kolonialisme Belanda di Indonesia pada masa Kerajaan Majapahit. Dahulu setiap orang mengobati diri tanpa bahan kimia. Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini obat-obatan kimia lebih mahsyur di kalangan masyarakat dan sulit untuk menghindarinya.
Saat ini pun untuk mendapatkan fasilitas kesehatan atau mewujudkan kesehatan diri yang optimal tidak mudah. Hal itu menjadikan kesehatan diri begitu mahal. Oleh karena itu, jamu tradisional seharusnya mampu menjadi alternatif sebagai pengobatan yang baik di masa kini. Jamu tradisional jauh lebih terjangkau daripada pengobatan dengan bahan kimia atau di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.
Tanaman obat-obatan di Indonesia sangat berlimpah. Bambang menjelaskan terdapat 30.000 jenis tanaman obat-obatan yang darinya sebanyak 9.600 tanaman adalah tanaman bermanfaat, 300 jenis tanaman adalah tanaman obat, 850 tanaman masih dalam proses identifikasi, dan sisa lainnya belum teridentifikasi. Sayangnya, identifikasi mengenai tanaman obat-obatan ini sering kali hanya berhenti dengan didokumentasikan menjadi sebuah buku, tidak disosialisasikan.
Sebanyak 850 tanaman telah tercatat di BPOM tetapi tidak pernah disebarkan ke masyarakat, bahkan ke pelaku usaha jamu tradisional. Padahal, jika kekayaan alam Indonesia dalam hal obat-obatan tradisional dapat dikelola dengan baik, tentu itu mampu menjadi sumber pengobatan yang terjangkau bagi setiap orang. Seperti halnya di Cina, mereka dapat mengembangkan pengobatan tradisional di tengah perkembangan kemajuan teknologi kesehatan dan obat-obatan kimia. Pengobatan kimia, meski dapat memberikan efek secara cepat pada suatu penyakit, tidak benar-benar menyembuhkan. Obat-obatan kimia juga memberikan efek samping.
Pak Bambang mengatakan bahwa pada awal dia mulai mengolah jamu, dia memiliki berbagai jenis penyakit: darah tinggi, lever, jantung, dan lambung. Setelah dia meracik jamu sendiri, dia menjadi sehat. Tanaman-tanaman obat tidak memiliki efek samping sehingga jikalau kita tertukar saat meracik pun tidak masalah pada penyakit apa pun itu. Kesehatan dapat dicapai dengan pemeliharaan diri melalui minum jamu.
Sebagai masyarakat dengan sumber daya alam yang melimpah, seharusnya kita tidak tergiur dengan hal-hal yang instan. Kita memiliki komoditas temulawak, kencur, jahe, kunyit, laos, dan empon-empon lainnya. Jika produksi jamu tradisional ditingkatkan, ini juga berpengaruh pada pendapatan negara.
Indonesia dapat bergantung pada sumber daya alam sehingga tidak perlu mengimpor obat-obatan dari luar. Ibaratnya adalah harga obat Rp1000 per butir, dan biasanya kita dapat secara impor. 90% keuntungan akan diberikan pada produsen, sedangkan kita hanya mendapat Rp100. Jika produksi sumber daya alam kita ditingkatkan untuk mendukung pengobatan tradisional, masyarakat bisa memperbaiki kehidupan mereka karena keuntungan akhirnya dirasakan oleh masyarakat.
Melestarikan Pengobatan Leluhur oleh Masyarakat Adat
Teh Itoh, salah satu perwakilan dari masyarakat adat Kanekes Baduy, Kecamatan Lewidamar, Kabupaten Lebak, berbagi cerita mengenai perjuangan mereka dalam melestarikan pengobatan leluhur jika terdapat masyarakat yang sakit. Dia menjelaskan bahwa mereka menggunakan ramu-ramuan dalam pengobatan. Hal itu bukan karena mereka tidak menghargai pengobatan medis, tetapi mereka hanya berusaha untuk mengikuti ajaran dari nenek moyang mereka yang sejauh ini tidak memiliki efek samping.
Dia bercerita, masyarakat Baduy memanfaatkan kunyit sebagai pengobatan berbagai penyakit. Di antaranya saat ada yang melahirkan, kunyit, jahe, dan kencur digunakan sebagai pengobatan dari dalam. Hal itu dapat mengobati organ-organ dalam yang mengalami kerusakan saat proses melahirkan. Kunyit juga digunakan untuk mengobati jika terdapat anak yang sakit diare. Jika sakit batuk, mereka menggunakan tuak jambu yang berasal dari jambu biji. Ramuan itu juga dapat digunakan untuk mengobati sakit batu ginjal. Selain itu, tuak juga dapat digunakan untuk mengobati demam. Daun-daun kaca piring juga dapat digunakan untuk mengobati demam.
Masyarakat adat Baduy juga menggunakan tuak bambu awi apus sebagai pengobatan. Tuak dari bambu awi apus mengandung saponin, daunnya mengandung flavonoida dan polifenol. Selain itu, ekstrak daunnya dapat untuk mengobati diare. Kemudian saat ada yang terluka, mereka menggunakan ki ayam atau jukut bau yang dapat menghentikan pendarahan. Jika ada yang sakit kepala, mereka menggunakan barah hulu atau daun kanyere. Seluruh obat itu sebenarnya telah disediakan oleh alam, tinggal bagaimana kita melestarikan dan merawatnya.
Terdapat beberapa tanaman herbal yang digunakan juga oleh Suku Baduy sebagai pengobatan, di antaranya ciplukan, senggani, sintrong, dadap, beunying, dan keji beling. Ciplukan bermanfaat untuk mengobati batuk, diare, serta menurunkan gula darah. Senggani dapat mengobat sakit lambung dan badan. Sintrong dapat mengobati kerusakan sel-sel jaringan tubuh. Beunying dapat mengobati insomnia, melancarkan pencernaan, batuk, dan penyakit jantung. Terakhir, keji beling dapat mengobati diabetes. Dengan mengetahui khasiat dari setiap tanaman, maka masyarakat Baduy senantiasa mengutamakan pengobatan tradisional terlebih dahulu sebelum ke pengobatan medis. Mereka juga melestarikan dengan menanam dan membudidayakannya.
Legalitas dan Efektivitas Pengobatan Tradisional dan Modern
Pengobatan tradisional yang telah dilestarikan oleh kelompok masyarakat penghayat dan adat, Pak Bambang dan Teh Itoh, memberikan sebuah gambaran bahwa saat ini masih terdapat kelompok masyarakat yang tetap berpegang pada pengobatan tradisional dibanding dengan pengobatan medis. Aria Bayu memberikan tanggapan terhadap cerita yang dibagikan oleh keduanya. Dia mempertanyakan bagaimana agar pengobatan tradisional ini dapat dikembangkan dan mendapatkan izin seperti dari BPOM agar dapat menjamin keamanan bagi konsumen.
Sebenarnya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat saat ini lebih memilih pengobatan modern daripada tradisional. Hal ini karena pengobatan modern lebih memberikan kejelasan diagnosis dan bukti nyata sehingga masyarakat lebih dapat mengetahui penyakitnya secara lebih spesifik. Pengobatan yang canggih dengan perkembangan penyakit yang semakin membaik, membuat masyarakat merasakan pengobatan medis lebih memberikan jaminan kehidupan lebih baik dan waktu pengobatan yang tidak lama serta dapat terukur secara logis. Pengobatan medis juga membuat seorang yang sedang merasakan sakit, lebih terjaga secara psikologis karena tidak harus melalui proses yang melelahkan.
Meskipun pengobatan modern memberikan hasil kesembuhan yang cepat, ia memiliki efek samping bagi tubuh. Oleh karena itu, sebagian masyarakat khususnya kalangan tua, lebih meyakini pengobatan tradisional sebagai rujukan utama. Efek samping dari pengobatan tradisional juga lebih sedikit meskipun perkembangan dari pengobatannya tidak lebih cepat daripada pengobatan modern.
Pengobatan tradisional di Indonesia terbilang cukup mudah untuk ditemukan bahan-bahannya karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Namun, dengan perkembangan zaman dan pembangunan, degradasi lingkungan sangat memengaruhi bagaimana ketersediaan komoditas sumber daya alam bagi pengobatan tradisional. Krisis lingkungan semakin mempersempit lahan dan menyebabkan tanaman-tanaman obat semakin sulit untuk didapatkan. Kemudian karena adanya perkembangan teknologi, menyebabkan pengobatan tradisional ini semakin dikesampingkan. Saat ini pengobatan tradisional bisa menjadi pilihan alternatif untuk penyakit-penyakit ringan seperti demam, batuk, radang, dan lainnya. Untuk pengobatan penyakit berat, baik pengobatan tradisional dan modern dapat menjadi pilihan dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. [AA]
Tonton selengkapnya di sini:
Kontributor: Fitria Susan Meliyana