Forum Kamisan DaringForum Kamisan Daring 2025Program

Forum Kamisan Daring ICIR #15 “Narasi Ruang Sakral dalam Advokasi Ekokrasi”

Forum Kamisan Daring ICIR seri kelima belas membuka percakapan penting tentang hubungan antara masyarakat adat, advokasi lingkungan, dan narasi ruang sakral. Moderator membuka sesi ini dengan menegaskan bahwa pembahasan mengenai ruang sakral bukan semata urusan spiritualitas, tetapi menyentuh inti persoalan keadilan ekologis. Ketika tanah adat dijadikan komoditas, yang rusak bukan hanya alam, melainkan juga ingatan dan religiositas. Diskusi ini mempertemukan warga adat dan aktivis lingkungan dalam ruang reflektif.

Sakralitas Ruang dan Solidaritas Komunitas

Pembicara pertama, Enggun, dari perwakilan komunitas AKUR Sunda Wiwitan dari Cigugur, menyoroti bagaimana konsep ruang sakral mencakup tanah ulayat, situs-situs keramat, dan sumber air yang selama ini dijaga turun-temurun. Bagi masyarakat Cigugur, ruang sakral bukan hanya milik kelompok adat, melainkan milik bersama seluruh makhluk yang bergantung pada keseimbangan alam.

Enggun menjelaskan bahwa di wilayahnya terdapat “hutan larangan”, tempat manusia dilarang menebang pohon atau merusak tanah karena dianggap bagian dari tatanan semesta. “Ruang sakral bukan milik masyarakat adat,” katanya, “kami hanya menjaga amanatnya.”

Ia menegaskan bahwa kerusakan ruang sakral sejatinya bukan hanya merugikan komunitas adat, tetapi seluruh masyarakat yang bergantung pada fungsi ekologisnya. Bagi masyarakat Cigugur, menjaga tanah berarti menjaga keseimbangan antara tiga relasi utama: manusia dengan alam, manusia dengan sesama, dan manusia dengan Yang Maha Pencipta. Hubungan ini, menurut Enggun, bagaikan proton, elektron, dan neutron—tak dapat dipisahkan. Ritual-ritual adat seperti upacara penghormatan tanah dan panen menjadi wujud kesadaran bahwa ruang sakral adalah titik temu spiritualitas dan ekologi.

Enggun juga menyoroti bahwa perjuangan menjaga ruang sakral tidak dapat dilepaskan dari realitas politik. Di bawah tekanan hukum negara dan kepentingan ekonomi, masyarakat adat sering kali terdesak. “Kami harus menjadi warga negara yang taat hukum sekaligus tetap setia pada amanat leluhur,” ujarnya.

Pernyataan tersebut menggambarkan paradoks yang dihadapi banyak komunitas adat: bertahan antara tuntutan modernitas dan panggilan tradisi. Ia menutup dengan ajakan reflektif agar semua pihak—akademisi, aktivis, maupun warga kota—berhenti memandang masyarakat adat sebagai “yang lain”, melainkan sebagai mitra dalam menjaga bumi bersama.

Mataloko: Antara Geotermal dan Kehilangan Ruang Sakral

Wawasan berikutnya datang dari Anthony Anu, perwakilan masyarakat adat Mataloko di Nusa Tenggara Timur. Ia mengisahkan bagaimana proyek geotermal sejak 1999 telah mengubah lanskap fisik dan spiritual kampungnya. Di wilayah yang dulu menjadi tempat pemakaman leluhur dan pusat ritual, kini telah berdiri fasilitas industri yang menebarkan lumpur panas dan polusi udara.

Anthony menjelaskan bahwa tanah bagi masyarakat Mataloko bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan ruang hidup yang menghubungkan masa lalu dan masa depan. Tradisi mereka bahkan menetapkan aturan ketat: tanah adat hanya boleh dijual dalam keadaan mendesak untuk keperluan ritual atau pembangunan rumah adat.

Namun, dalam dua dekade terakhir, prinsip itu terkikis. Proyek nasional berlabel “strategis” justru mendorong warga menjual tanah adat mereka kepada pihak luar. Transaksi pun tak lagi dilakukan di rumah adat—ruang yang dulu menjadi pusat spiritual komunitas—melainkan di kantor desa. “Rumah adat kini tinggal nama dan simbol,” keluh Anthony.

Kerusakan ekologis semakin memperburuk situasi sosial. Lahan pertanian yang dahulu subur kini tercemar, memaksa warga bekerja jauh dari kampung dan meninggalkan keluarga. Akibatnya, solidaritas komunitas melemah, membuka celah bagi eksploitasi yang lebih besar.

Dalam kondisi itu, ritual adat seperti leba manu kembali dihidupkan sebagai bentuk perlawanan. Bagi masyarakat Mataloko, ritual bukan sekadar tradisi, tetapi strategi advokasi ekologis. Ia menjadi bahasa yang mampu menandingi kekuasaan formal, bahasa bumi dan religius yang menolak dijadikan komoditas.

Anthony menutup kesaksiannya dengan peringatan tajam bahwa perusakan ruang sakral bukan hanya kehilangan situs budaya, tetapi juga pemusnahan hubungan manusia dengan tanahnya sendiri. Dalam pandangannya, ancaman terbesar bukan sekadar proyek geotermal, melainkan proses perlahan yang memisahkan manusia dari ekologi spiritualnya. “Ketika tanah dijual,” katanya, “kita sebenarnya sedang menjual masa depan.”

Hukum, Ritual, dan Politik Sakralitas

Perspektif hukum dan advokasi kemudian disampaikan oleh Sekar Banjaran Aji, advokat dari Greenpeace Indonesia. Ia menyoroti bahwa perjuangan masyarakat adat seperti di Cigugur dan Mataloko mencerminkan persoalan yang lebih luas: ketimpangan hukum dan absennya perlindungan komprehensif terhadap hak-hak adat. Negara, kata Sekar, sering kali takut kehilangan kendali jika tanah dikembalikan kepada masyarakat adat. “Ketika masyarakat adat berdaulat atas tanahnya sendiri, negara merasa kehilangan power,” ujarnya lugas.

Sekar memperkenalkan gagasan metalegal practices, yakni upaya menggabungkan sistem hukum formal dengan nilai-nilai keadilan adat. Dalam pandangan ini, hukum tidak semestinya dipahami hanya sebagai produk negara, melainkan juga sebagai cerminan nilai sosial dan spiritual masyarakat.

“Hukum harus bekerja sesuai dengan kebutuhan dan keyakinan lokal,” tegasnya. Ia mencontohkan bagaimana pengambilan keputusan dalam rumah adat memiliki efek psikologis dan spiritual yang kuat, karena menghadirkan rasa kesetaraan dan tanggung jawab kolektif. Di situlah hukum adat menemukan kekuatan moralnya.

Sekar juga menyoroti bahwa ritual adat dapat berfungsi sebagai bentuk perlawanan politik. Dalam konteks proyek geotermal, masyarakat Mataloko sering mengiringi protes dengan upacara adat, bukan sekadar simbolik tetapi sebagai praxis keadilan ekologis. Ia mengingatkan bahwa jika jalur hukum formal menemui kebuntuan, masyarakat dapat kembali ke proses adat sebagai sumber legitimasi moral. “Adat dan ritual harus dilakukan terlebih dahulu daripada legal formal,” ujarnya, “karena di situlah letak kebenaran yang hidup.”

Sesi diskusi dan tanggapan menegaskan kembali pentingnya kolaborasi lintas sektor. Hal yang paling disoroti ialah bahwa perlindungan ruang sakral bukan hanya tugas masyarakat adat, tetapi tanggung jawab bersama seluruh warga negara. Ketika proyek pembangunan dilakukan tanpa memperhatikan keadilan prosedural, bukan hanya komunitas lokal yang kehilangan, melainkan juga kita semua yang hidup dari bumi yang sama. Diskusi juga menyinggung konsep abnormal danger dalam hukum lingkungan, bahwa proyek geotermal dapat digugat jika terbukti membahayakan keselamatan ekologis.

Forum ditutup dengan refleksi bahwa narasi ruang sakral adalah narasi tentang kehidupan itu sendiri. Ia menghubungkan hukum, ekologi, dan spiritualitas dalam satu kesadaran yang melampaui sekat modernitas. Enggun dan Anthony berbicara dari tanah dan air, Sekar berbicara dari hukum dan advokasi, tetapi sebetulnya semuanya bertemu pada satu pesan: bumi bukan milik siapa pun, melainkan amanat yang harus dijaga bersama, bukan hanya dibebankan pada masyarakat adat. [AA]

Tonton selengkapnya di sini:

Kontributor: Angga Arifka

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button