Ruang Cinta dan Keadilan Bagi Komunitas Penghayat dan Waria
Highlight FKD #3
Ada sebuah buku berjudul The Beloved Community (Komunitas yang Dicintai) yang ditulis oleh George Brosi, seorang penulis terkenal dari Amerika. Buku itu berisikan tentang percakapannya dengan seorang feminis bernama Bell Hooks. Inti dari percakapan mereka adalah bahwa sebuah ruang aman bagi kelompok marjinal hanya tercipta bila masyarakat sama-sama memiliki visi yang jelas akan cinta dan keadilan sehingga bertentangan terhadap radikalisme dan konflik identitas.
Cinta memberi energi bagi masyarakat untuk menerima kelebihan dan kekurangan satu sama lain. Sedangkan keadilan adalah kesediaan untuk berbagi ruang publik, akses, dan sumber daya kepada setiap masyarakat tanpa melihat perbedaan. Beririsan dengan hal tersebut, komunitas yang dicintai lahir sebagai perlawanan terhadap kasus rasisme yang kuat terjadi di Amerika. Bell hooks sendiri, yang adalah seorang feminis berdarah Afrika-Amerika, membangun ide tersebut untuk melindungi serta memperjuangkan hak-hak komunitas Afrika dan komunitas lain yang memiliki pengalaman serupa.
Rasisme menjadi semacam cara orang-orang kulit putih untuk menguasai sumber daya dan medan politik Amerika. Komunitas dari ras dan negara lain dilarang untuk menguasai sektor ekonomi politik yang menjadi lahan basah bagi kekuasaan dan kekayaan di Amerika. Akhirnya, komunitas kulit putih melakukan berbagai tindakan kekerasan sampai pada pembunuhan seperti yang dialami oleh George Floyd. Dari sanalah muncul gerakan yang amat terkenal beberapa tahun lalu yaitu #BlackLivesMatter.
Dalam FKD ke 3 kali ini, cita-cita untuk mewujudkan komunitas yang dicintai juga tampak dalam cerita-cerita yang dibagi oleh dua narasumber kali ini yakni Bunda Tata dari Ponpes Waria Al-Fatah dan R. Otto Bambang Wahyudi dari MLKI Jawa Timur. Kedua pembicara adalah perwakilan dari kelompok-kelompok rentan yang seringkali dinegasikan dari sifat-sifat cinta dan keadilan yang dijunjung oleh negara kita, Indonesia.
Pak Bambang menyampaikan bahwa, pemerintah tidak melibatkan MLKI Jawa Timur dalam kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrembang). Hal ini dianggapnya aneh serta diskriminatif karena semua agama diundang dalam Musrembang terkecuali kelompok penghayat. Bunda Tata juga menyampaikan bahwa pemerintah tidak memberi perlindungan hukum bagi kelompok Waria di Ponpes Al-Fatah. Karena tidak mendapatkan perlindungan hukum, dampaknya, masyarakat seenaknya menghakimi dan melakukan berbagai tindakan kekerasan pada komunitas waria. Dalam jangka waktu yang serupa, negara mendiskriminasi kelompok penghayat kepercayaan dan waria dengan berbagai alasan bahkan seiring bergantinya kepemimpinan. Serupa dengan negara, masyarakat juga melakukan bentuk tindak kekerasan dan intoleransi terhadap mereka.
Tidak hanya diam, Bunda Tatta dan Pak Bambang Wahyudi terus bergerak untuk menciptakan keadilan bagi kelompoknya. Bunda Tatta bergerak dalam sektor advokasi publik bagi kelompok waria. Ia bahkan terdaftar sebagai salah satu anggota partai untuk menyuarakan dan mengupayakan keadilan. Tidak mudah tentunya, tetapi ia terus berjuang. Bagi Bunda Tata keterlibatannya dalam advokasi adalah bentuk rasa cinta bagi kelompok waria. Ia mengatakan bahwa pemerintah gagal menciptakan keadilan karena ada pengaruh dari pandangan radikalisme agama tertentu. Pandangan atau stigma buruk semacam itu pada akhirnya menghambat proses aksesibilitas terhadap layanan publik. Oleh karena itu, kelompok waria perlu secara aktif terjun langsung dalam partisipasi publik guna membersihkan stigma-stigma buruk sekaligus menunjukkan peran positif kelompok waria di ruang publik. Perlahan-lahan, pandangan masyarakat akan berubah karena mereka memahami bahwa kelompok waria tidak berhak mendapat diskriminasi sedemikian rupa.
Sedikit berbeda dengan Bunda Tata, Pak Bambang memilih untuk melakukan gerakan politik imparsial, mengintervensi kebijakan publik yang berkenaan langsung dengan kelompok penghayat tanpa terdaftar sebagai anggota pemerintahan secara legal. Bambang juga sering memberi kuliah dan berbagai model pendidikan publik tentang apa dan siapa kelompok penghayat. Tujuannya agar masyarakat memahami dan menghormati kelompok penghayat sebagai sesama kelompok agama yang diakui negara. Bambang percaya bahwa jalan pendidikan adalah advokasi yang penting untuk menciptakan komunitas yang mencintai dan memperjuangkan keadilan bagi kelompok penghayat.
Jelas terlihat bahwa advokasi menjadi tema utama dari kerja-kerja keadilan oleh Pak Bambang dan Bunda Tata. Senada dengan perjuangan Bell Hooks di Amerika, Bunda Tata dan Pak Bambang berjuang agar masyarakat mencintai kelompok penghayat dan komunitas waria. Sampai saat ini, rasa cinta dari masyarakat terhambat oleh karena kebijakan pemerintah yang diskriminatif. Akibatnya, kelompok waria dan penghayat mendapatkan perlakuan kekerasan dan ketidakadilan publik dalam ruang keseharian sampai hari ini. Cinta negara menjadi bersifat semu dan palsu karena tindak universal sebab negara mengistimewakan kelompok mayoritas dan mendiskriminasi kelompok rentan seperti penghayat dan waria.
Pengalaman-pengalaman Bunda Tata dan Pak Bambang menunjukkan bahwa visi komunitas yang saling mencintai masih jauh dari konteks demokrasi Indonesia. Demokrasi semestinya memberi ruang bagi keberagaman seluas-luasnya, menjadi ruang yang baik bagi bertumbuhnya rasa cinta dan hormat antar umat beragama. Sayangnya ideal demokrasi tidak terjadi di negara kita. Oleh sekelompok orang, demokrasi kita dibajak untuk memberi keuntungan bagi sekelompok tertentu. Kelompok penghayat dan waria hidup jauh dari rasa cinta dan adil. Masyarakat lainnya masih mengategorikan kelompok penghayat dan waria sebagai komunitas sesat dan buruk. Meski sudah ada berbagai bentuk undang-undang sebagai pengakuan dan penghormatan bagi kedua kelompok tadi, sayangnya kebijakan tersebut tercampuri oleh hegemoni di beberapa elemen kenegaraan.
Meski tak mudah, Bunda Tata dan Pak Bambang adalah sosok yang terus mencari ruang cinta dan keadilan bagi komunitas rentan. Mereka bergerak pada berbagai lini untuk menciptakan ruang aman dan nyaman bagi penghayat dan waria di ruang publik. Perjuangan Bunda Tata di panggung politik dan peran aktif Pak Bambang di ruang pendidikan juga banyak mendapat sambutan baik dari berbagai kalangan. Bunda Tata menceritakan bahwa masih ada orang-orang di pemerintahan yang mencintai mereka. Beberapa rekan-rekannya di partai menghormati keberadaannya sebagai waria dengan sangat baik. Pak Bambang juga menyampaikan bahwa di dunia pendidikan, banyak akademisi yang mulai memahami dan menghormat komunitas penghayat. Cerita mereka seolah menjadi air segar di tengah gurun krisis demokrasi di Indonesia.
Selengkapnya:
Kontributor: Jear Nenohai dan Puja A.D, CRCS UGM