Stigma dan Tantangan Orang Muda dalam Jejaring Lintas Agama dan Kepercayaan

Hingga saat ini, penganut kepercayaan lelehur dan masyarakat adat masih mendapat stigma dan diskriminasi, termasuk para pemudanya. Hal demikian terus berlangsung akibat dari masih kurangnya diseminasi akan pemahaman tentang agama leluhur. Karenanya, penting bagi pemuda untuk mengambil sikap tegas dalam mengantisipasi situasi tersebut. Salah satu kontribusi yang dapat dilakukan yaitu dengan memperkuat jaringan lintas agama dan kepercayaan antar pemuda dalam rangka menggemakan pengetahuan berbasis inklusivitas. Melalui dialog terbuka antar umat beragama tersebut, para pemuda adat dan penghayat dapat mendobrak sekat-sekat yang selama ini membatasi mereka.
Pemuda dalam Jejaring Lintas Agama dan Kepercayaan menjadi tema dalam Forum Kamisan Daring (FKD) episode kedua yang diselenggarakan pada tanggal 16 Maret 2023. Forum ini membahas mengenai bagaimana peran pemuda khususnya dalam berjejaring dan menghadapi banyak tantangan ke depan. Sesi diskusi ini dimoderatori oleh Miftha Khailil M. (CRCS UGM), menghadirkan Sulistiani Winarsih (Himpunan Kebatinan Rukun Warga, Mahasiswa PKTTMY UNTAG Semarang) dan Michelin Sallata (Ketua umum Barisan Pemuda Adat Nusantara) sebagai narasumber, serta Arfi Pandu Dinata (Koordinator Jakatarub) sebagai penanggap.
Mewakili kelompok Penghayat Kepercayaan, Sulistiani Winarsih pada kesempatan ini menjelaskan tentang para pemuda yang perlu sepakat mengenai pentingnya komitmen bersama dan aksi nyata yang lebih konkret dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan damai. Hal itu dapat dimulai dari lingkup terkecil. Artinya, sebuah aksi berawal dari diri sendiri, yang dalam hal ini bukan sekadar angan-angan berbicara soal toleransi dan keberagaman. Sebagaimana aksi tersebut misalnya berlandaskan pada nilai memayu hayuning diri pribadi, memayu hayuning sesama, memayu hayuning keluarga, memayu hayuning bawana yang bukan semboyan dalam kepercayaan mereka belaka. Pemuda memiliki tugas untuk mengenalkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai leluhur tersebut. Sehingga, pada akhirnya dapat tercipta kerukunan antar umat beragama yang saling menghargai perbedaan dan keberagaman.
Dari Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Michelin menerangkan bahwa masyarakat adat sama termarjinalkannya seperti kelompok kepercayaan. Pemuda adat dalam hal ini memiliki ruang berekspresi yang dibatasi dan bahkan dianggap asing di negeri sendiri. Mayoritas orang masih belum bisa mendukung dan memberikan ruang terbuka bagi mereka untuk melindungi serta mempertahankan nilai adat mereka. Padahal, masyarakat adat adalah bagian dari warga Indonesia. Sebelum adanya kolonialisasi yang kemudian lahir pula politik agama resmi, pengetahuan adat dan nilai leluhur sudah lebih dulu hidup dan menyertai mereka dalam perjuangan kemerdekaan. Seiring berjalannya waktu, nilai-nilai leluhur, praktik-praktik kepercayaan, dan cara berelasi dengan alam mulai banyak ditinggalkan. Untuk itu, keberadaan Barisan Pemuda Adat Nusantara, menurut Michellin, adalah sebagai upaya pelestarian ajaran leluhur melalui penguatan generasi muda yang bertumpu pada potensi dan daya cipta masyarakat adat.
Setelah dua pembicara menyampaikan bagaimana pemuda dalam jejaring lintas agama memiliki tantangan dan peran penting, Arfi kemudian memberikan tanggapan terkait diskusi ini sekaligus mengenalkan komunitas Jakatarub. Mengawali tanggapannya, Arfi mengungkapkan bahwa komunitasnya menganut paham partisipasi orang muda yang bermakna. Baginya, lebih sesuai menyebut diri mereka orang muda, bukan pemuda ataupun anak muda. Alasan yang dikemukakan kenapa tidak memilih kosakata ‘pemuda’ pun sederhana. Menurutnya, selain karena tidak hanya laki-laki saja yang terlibat, penyebutan orang muda lebih memiliki kedudukan yang netral. Di samping itu, penggunaan kata “orang” dari pada “anak” mengesankan kesetaraan, bahwa orang muda mempunyai hak untuk bersuara, dapat berekspresi menentukan keputusannya sendiri, dan tidak lagi dianggap subordinat.
Dalam banyak diskusi dan beberapa kegiatan yang mengusung isu toleransi keberagaman serta kerukunan beragama, keterlibatan orang muda masih dalam batasan makna yang sempit. Peran kaum muda hanya menjadi pelengkap karena hanya ditugaskan dalam bagian multi media, sarana dan prasarana, serta tugas pendukung lainnya. Mereka jarang dilibatkan dalam hal substansial di forum inti yang bersifat diskusi kritis. Jakatarub mencoba mendobrak hal tersebut dengan mulai berpartisipasi dalam beberapa kegiatan di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kesbangpol dan mulai konsisten membawa orang muda untuk bisa berdialog bersama orang dewasa. Arfi menambahkan, makna keterlibatan orang muda itu bukan sekadar slogan, kegiatan bertemakan toleransi dan moderasi yang sering kali menggunakan terminologi “muda” justru masih kerap mengekslusi orang muda.
Bagi Jakatarub, penting sekali menekankan pemaknaan terhadap kehadiran orang muda dalam jaringan lintas iman. Tidak hanya secara simbolis menghadiri kegiatan saja, akan tetapi juga bisa merancang dan berperan aktif dalam dialog dengan pihak-pihak yang terlibat. Melalui partisipasi orang muda yang bermakna, generasi ke depannya mesti siap dengan inisiatif dan perubahan untuk kemajuan jaringan lintas iman yang sudah terbentuk. Perspektif orang muda itu cukup menarik dan banyak gagasan baru yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Misalnya, gagasan orang muda mampu membantu menyelesaikan persoalan konflik, kekerasan atau pelanggaran KBB (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), berbagai kasus intoleransi, dan masalah lain terkait keberagaman.
Kesimpulan dari diskusi ini menghasilakan hipotesis bahwa keterlibatan teman-teman muda penghayat kepercayaan dan adat dalam gerakan lintas iman ini sangat penting. Keterlibatan mereka dapat memutus mata rantai trauma, berbagai cerita pilu, insecurity, dan ketakutan akan dipandang tidak sepadan dengan teman-teman yang hidup di tengah modernitas. Hal ini masih menjadi tantangan besar bagi orang muda walaupun sebagian di antara mereka sudah mulai terlibat dalam dialog lintas iman. Oleh karena itu, komunitas orang muda—termasuk Jakatarub, Gema Pakti, dan BPAN—akan berkomitmen untuk merangkul teman-teman penghayat kepercayaan dan masyarakat adat. Sehingga, mereka bukan menjadi objek semata, tetapi juga memiliki ruang untuk berbicara langsung mengungkapkan pendapatnya serta mengadvokasi hak-haknya yang relevan dengan kondisi saat ini.
Selengkapnya:
Penulis: Puti Ayu Anandita