Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia selalu didominasi penulisan sejarah yang elitis. Penulisan sejarah model ini selalu mengandaikan diseminasi ide dan kesadaran nasionalisme atau kemerdekaan yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh elite politik dan pergerakan nasional melalui surat kabar daerah, radio, novel, lagu, dan institusi atau organisasi politik. Tentunya diseminasi ide tersebut mensyaratkan hadirnya mesin cetak dan rel kereta sebagai alatnya. Gerak sejarah ini seperti gerak dari atas ke bawah (top-down): elite menyemai ide, kesadaran rakyat tumbuh kemudian. Salah satu model penulisan sejarah kemerdekaan model ini bisa ditemukan di beberapa karya Indonesianis, seperti George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952) atau Takashi Shiraishi dalam An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 (1990).
Tidak ada yang keliru sebetulnya dalam narasi pergerakan kemerdekaan tersebut. Tetapi dampak kepenulisan tersebut menjadi signifikan terkait minimnya narasi ‘lain’ dari sejarah pergerakan yang berangkat dari rakyat bawah (bottom-up). Dampak yang lebih politis lainnya yaitu elite lebih dianggap eksistensi dan peranannya daripada rakyat bawah yang, selain susah diingat karena sedikit yang menarasikan, juga tidak terlalu heroistik untuk diceritakan.
Esai ini ingin melaporkan hasil kegiatan yang diselenggarakan Forum Kamisan Daring ke-14 bertajuk Kemerdekaan dalam Perspektif Spiritualitas Penghayat Kepercayaan/Agama Leluhur. Acara ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan melalui kerja sama sepuluh lembaga: ICRS, CRCS UGM, PUSAD Paramadina, PusKAHA FH UP, LIPI, Yayasan Satu Nama, Puan Hayati, MLKI, dan KOMNAS Perempuan, dan IJIR IAIN Tulungagung.
Seri kali ini setidaknya penting dalam tiga hal untuk ditinjau kembali. Pertama, narasi penghayat kepercayaan atau agama leluhur terkait perjuangan dan makna kemerdekaan mereka jarang sekali didengar. Narasi ini akan memberi nuansa baru dalam historiografi perjuangan indonesia yang cenderung memotret peran-peran elite dan institusi politik tersebut.
Kedua, kesadaran penghayat dalam memperjuangkan kemerdekaan tidak selalu berangkat dari diseminasi ide-ide elite atau institusi politik, melainkan melalui pemahaman atas kondisi materialistik mereka dan realitas sosial yang kacau balau pada saat itu. Kesadaran materialistik tersebut juga baru bisa bekerja karena adanya suatu ide yang sudah mereka dapat dari nilai-nilai yang diajarkan dari para leluhur mereka. Tulisan ini tidak hendak membahas banyak masalah kondisi sosial yang melatarbelakangi kesadaran tersebut. Tulisan ini akan lebih banyak membahas ide yang berasal dari nilai-nilai yang luhur dan spiritual itu sebagai bentuk imajinasi yang ideal yang berkontradiksi dengan kondisi sosialnya. Kontradiksi antara ide dan kondisi material ini yang pada gilirannya menumbuhkan kesadaran mereka dan membawa mereka terlibat dalam gerakan-gerakan kemerdekaan untuk menciptakan kondisi ideal tersebut.
Ketiga, kondisi historis tersebut bisa membantu untuk memahami perjuangan penghayat kepercayaan hari ini yang keberadaannya—salah satunya karena penulisan sejarah yang elitis—seolah-olah tidak signifikan, dan pemenuhan hak-hak sosial politik mereka bukan menjadi kebijakan yang populer untuk diprioritaskan.
Kesadaran Kemerdekaan Penghayat dan Spiritualitas
Kondisi sosial menjadi salah satu faktor yang menumbuhkan kesadaran perjuangan kemerdekaan. Tetapi itu bukan satu-satunya. Kondisi sosial pada titik tertentu bisa menjadi satu kesadaran perubahan sosial apabila ada satu gagasan mengenai yang-ideal sebagai tolak ukurnya. Ide ini yang menjadi populer di kalangan masyarakat Jawa pada era penjajahan. Manifestasi ide tersebut, salah satunya menurut Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 (2018)—yang sering muncul di Jawa—adalah ide mengenai Ratu Adil, Imam Mahdi, atau Messiah. Ide mengenai yang-ideal dalam hal ini turut andil menjadi faktor tumbuhnya kesadaran perjuangan rakyat bawah.
Di kalangan penghayat, ide mengenai yang ideal bersumber dari nilai-nilai para leluhur sebagai suatu imajinasi yang melahirkan perjuangan sosial mereka. Menurut Retno Lastani (Penghayat Kapribaden), salah satu narasumber diskusi, beberapa leluhur mereka memiliki konsep nyungsang bawono balik (membalikkan kehidupan) dan gulung jagat lawas, gelar jagat anyar (menggulung sesuatu yang lama, menggelar paham yang baru). Kedua konsep ini maksudnya hampir sama yaitu mengubah dunia dari situasi yang tidak normal menjadi sesuatu yang baik. Konsep itu bersumber dari ajaran-ajaran spiritual para leluhur mereka yang sampai hari ini menjadi pegangan hidup.
Implikasi konsep tersebut ada pada dua level. Pertama ialah level individual. Dalam level ini seorang individu akan membalikkan dirinya dari kondisi yang dianggap tidak normal menjadi sesuatu yang sesuai harapan dari ajaran kebaikan dan nilai-nilai si penghayat itu sendiri. Kedua yaitu level sosial atau struktural. Level struktural ini kaitannya dengan kondisi sosial, yang dianggap tidak pada kondisi idealnya atau tidak sesuai dengan imajinasi ideal penghayat harus dibalikkan atau diubah agar menjadi kondisi yang ideal. Keduanya adalah perubahan yang revolusioner. Baik level individual maupun yang struktural sangat berkaitan dengan spiritualitas penghayat.
Konteks kedua, yaitu level struktural, harus dikaitkan pada era kolonial ketika terjadi kesengsaraan dan kehidupan sosial masyarakat. Realitas sosial era kolonial inilah yang dianggap jauh dari kondisi-kondisi ideal. Kondisi ideal contohnya, menurut Retno, ialah ‘tentram’ yang dimaknai sebagai kenyamanan dalam spiritualitas, keteraturan, dan keadilan secara sosial. Kondisi tentram ini juga oleh para penghayat diterjemahkan praktisnya sebagai kondisi ‘merdeka’ atau puncak dari kemerdekaan. Kemerdekaan atau lepas dari belenggu penjajah inilah kondisi ideal yang paling konkret.
Selaras dengan Retno, narasumber lainnya, Bambang Purnama (Penghayat Sapta Darma), melihat bahwa kontradiksi antara imajinasi ideal dengan realitas sosial era kolonial membentuk kesadaran penghayat untuk menciptakan suatu kondisi sesuai dengan taraf idealnya, yaitu yang sesuai dengan nilai-nilai para leluhur. Nilai luhur tersebut salah satunya adalah tentram dan bisa dicapai melalui apa yang Retno sebut tadi dengan nyungsang bawono balik dan gulung jagat lawas, gelar jagat anyar. Wujud konkretnya adalah perlawanan terhadap kolonialisme atau dekolonisasi untuk mencapai kemerdekaan nasional.
Jadi kesadaran penghayat yang terlibat dalam memperjuangkan kemerdekan nasional tidak melulu sebagaimana yang dinarasikan sejarah elitis melalui diseminasi ide-ide tokoh pergerakan nasional. Hal ini juga menunjukan bahwa akar rumput, termasuk penghayat kepercayaan, memainkan peran aktif dalam proses dekolonisasi di beberapa daerah. Penulisan sejarah melalui orang-orang kecil ini, menurut Sartono Kartodirdjo, menjadi kritik terhadap penulisan sejarah yang melulu melihat elite sebagai aktor penting—dan kadang tunggal—dalam narasi historis.
Selain itu, ide mengenai kondisi ideal yang berangkat dari nilai-nilai spiritual dan ajaran agama leluhur juga mengambil peran penting dalam pembentukan kesadaran dekolonisasi yang dilakukan penghayat kepercayaan. Poin ini juga menjadi kritik pendekatan sejarah yang cenderung materialistik. Pendekatan itu terlalu menempatkan kondisi material sebagai kondisi dominan dalam pembentukan kesadaran yang kadang mengabaikan peran ide spiritual itu sendiri.
Model penulisan sejarah akar rumput ini juga dilakukan oleh Benedict R. O’G Anderson dalam disertasi doktoralnya yang menjadi buku Java in A Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (1972). Ia memotret bagaimana kesadaran revolusi pemuda di Jawa memiliki kaitan erat dengan krisis dan watak penjajahan Jepang saat itu dan nilai-nilai kebudayaan Jawa yang salah-satunya terpengaruh dari nilai-nilai di pesantren.
Kemerdekaan dan Perjuangan Penghayat yang Belum Selesai
Bentuk konkret kemerdekaan, menurut para penghayat hari ini, salah satunya adalah bisa menjalankan aktivitas spiritual dengan aman. Dan karena status agama leluhur setara dengan agama lainnya, pemenuhan dan perlindungan hak-haknya oleh negara juga harus setara. Penghayat, sebagai warga negara Indonesia, juga dijamin kemerdekaannya oleh negara melalui konstitusi yang dulu mereka perjuangkan. Dalam praktiknya kadang penghayat masih mengalami diskriminasi. Aktivitas spiritual mereka juga kadang masih dibatasi tanpa justifikasi yang relevan –yang memenuhi komponen-komponen pembatasannya.
Eksistensi para penghayat juga sering diabaikan negara. Masalah eksistensi ini juga salah satunya berkaitan dengan penulisan sejarah yang elitis di atas. Penulisan itu membuat eksistensi penghayat seolah-olah tidak signifikan dalam sejarah karena tidak pernah dinarasikan.
Kondisi semacam itu membuat para penghayat memikirkan ulang kembali makna kemerdekaan mereka yang nyatanya belum selesai. Meski belum usai, perjuangannya tentu bukanlah seperti perlawanan melawan kolonial, melainkan melalui negara yang sudah diperjuangkan bersama. Para penghayat sampai hari ini terus berjuang menuntut hak-hak nya sebagai warga negara yang setara.
Ibu Kunthi Tridewiyanti, sebagai penanggap dalam diskusi tersebut, setidaknya merumuskan beberapa tugas yang belum selesai dalam mencapai kemerdekaan penghayat yang hakiki. Pertama, jaminan hukum untuk menjalankan aktivitas spiritual yang aman. Ini yang paling mendasar sekaligus mendesak. Beberapa kasus bisa dilihat bahwa masih ada ketidakamanan penghayat dalam mengekspresikan dirinya untuk ritual atau beribadah di ruang publik.
Kedua, mendorong pemerintah untuk mengakui eksistensi penghayat secara penuh yang termanifestasi melalui pemenuhan hak-hak sipol ekososbud sebagai warga negara Indonesia. Beberapa progres mengenai pengakuan penghayat dan masyarakat adat sebetulnya sudah ditunjukan berkat perjuangan komunitas penghayat seperti pencantuman Aliran Kepercayaan di kolom KTP melalui putusan MK tahun 2017 dan pengakuan hutan adat yang dilakukan pemerintah tahun 2016 sehingga masyarakat adat bisa mengakses tanah leluhur mereka.
Ketiga, tidak adanya diskriminasi antara aliran kepercayaan dengan agama-agama lainnya. Hal yang ketiga ini yang masih sering terjadi seolah-olah aliran kepercayaan atau agama leluhur adalah agama ‘kelas dua’. Ia tidak diperlakukan oleh negara sebagaimana negara memperlakukan agama-agama lainnya. Contoh paling konkret adalah pendidikan kepercayaan di sekolah-sekolah. Masalah ini juga masalah yang serius mengingat beberapa anak penghayat malah mendapatkan pendidikan ‘agama yang diakui’. Implikasinya bisa sampai pada tingkat tergerusnya generasi penghayat. Problem tersebut tentunya juga menyangkut ketersediaan mata pelajaran, kurikulum sekaligus tenaga pengajar penghayat yang masih belum sesuai harapan. Bahkan nampaknya tugas ini akan menjadi tugas yang panjang.Perjuangan penghayat hari ini, sebagaimana para penghayat memperjuangkan kemerdekaan nasional dulu, berangkat dari nilai luhur yang sama. Tentunya juga perlu dikaitkan dengan kondisi sosial hari ini yang masih belum sempurna. Oleh karena itu, penghayat perlu diberikan ruang sebanyak-banyaknya untuk menyampaikan narasinya sendiri melalui forum-forum seperti ini yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi Kamisan.
Tautan rekaman diskusi: https://www.youtube.com/watch?v=zvA7ri5Lbdg
Penulis: Ronald Adam