Demokrasi bagi Kelompok Rentan: Pengalaman Praksis Difabel dan Penghayat Kepercayaan
Highlight FKD 8
Tantangan Komunitas Difabel dalam Pendidikan dan Aksesibilitas Publik
Komunitas difabel di Indonesia menghadapi berbagai hambatan, terutama dalam bidang pendidikan dan aksesibilitas publik. Meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah ada, namun penerapan kebijakan inklusi dalam sistem pendidikan nasional, menunjukkan bahwa banyak sekolah umum masih belum sepenuhnya siap menerima siswa difabel. Banyak sekolah belum memiliki fasilitas yang memadai seperti akses kursi roda atau papan informasi dengan huruf braille, yang menghambat partisipasi difabel dalam pendidikan.
Pak Edi, ketua dari SEHATI Sukoharjo, berpendapat bahwa Sekolah Luar Biasa (SLB) harus berfungsi sebagai tempat pembekalan dasar bagi siswa difabel sebelum mereka dapat melanjutkan pendidikan di sekolah reguler. SLB seharusnya memberikan keterampilan dasar seperti bahasa isyarat bagi siswa tuli atau braille bagi siswa tunanetra. Namun, yang terjadi saat ini, banyak SLB yang belum mampu memberikan standar pendidikan yang setara dengan sekolah reguler, sehingga difabel masih tertinggal dalam hal akses pendidikan berkualitas.
Lebih jauh lagi, pendidikan inklusi bukan hanya soal memberikan label “inklusif” pada sekolah, tetapi juga memastikan bahwa semua siswa, tanpa terkecuali, dapat mengikuti pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Proses pendidikan inklusi harus melibatkan asesmen yang tepat dan dukungan profesional seperti dokter, psikolog, dan ahli terapi. Tanpa adanya sistem yang holistik, pendidikan inklusi hanya akan menjadi konsep tanpa implementasi yang nyata.
Perjuangan Komunitas Penghayat Kepercayaan untuk Mendapatkan Hak-Haknya
Selain difabel, komunitas penghayat kepercayaan juga mengalami tantangan dalam hal pengakuan hak-hak dasar mereka. Meski putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 telah memberikan pengakuan formal terhadap penghayat kepercayaan, seperti pencantuman kepercayaan di KTP, stigma negatif dan ketakutan akan diskriminasi masih menghantui banyak penghayat. Akibatnya, sebagian besar penghayat enggan untuk mencantumkan kepercayaan mereka di KTP karena pengalaman kesulitan masa lalu terutama dalam hal administrasi atau pencatatan sipil. Saat ini, meskipun beberapa penghayat telah mencatatkan kepercayaannya di KTP, jumlahnya masih jauh di bawah populasi penghayat yang sebenarnya. Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 2.000 orang yang mencantumkan kepercayaan mereka di KTP.
Mbak Triani, dari Paguyuban Trisoka, menjelaskan bahwa meskipun akses terhadap layanan publik seperti BPJS dan pembayaran pajak sudah lebih baik, masalah seperti izin mendirikan bangunan (IMB) untuk rumah ibadah masih sering menjadi kendala. Contohnya, di Pekalongan, penghayat sempat mengalami konflik saat mengajukan IMB untuk rumah ibadah mereka. Walaupun pada akhirnya konflik tersebut berhasil diselesaikan melalui advokasi, namun ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi penghayat masih belum sepenuhnya menjamin kebebasan mereka untuk beribadah secara aman dan nyaman.
Pendidikan dan Penyuluh Penghayat: Masalah Sertifikasi dan Pembelajaran
Di bidang pendidikan, komunitas penghayat kepercayaan juga menghadapi tantangan besar terkait sertifikasi penyuluh mereka. Saat ini, tidak banyak penyuluh penghayat yang tersertifikasi karena belum ada lulusan yang linier di bidang kepercayaan ini. Sebagai solusi sementara, pemerintah melalui Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa mengizinkan anggota komunitas penghayat yang dipercaya untuk mengajar meskipun belum tersertifikasi, dengan syarat mereka berada di bawah pengawasan penyuluh resmi di daerah terdekat.
Masalah ini menjadi semakin rumit ketika pendidikan penghayat tidak hanya melibatkan kurikulum formal di sekolah, tetapi juga pendidikan informal di komunitas mereka. Pembelajaran informal ini sering kali melibatkan kegiatan seni, budaya, dan permainan tradisional yang kaya akan nilai-nilai lokal. Meskipun metode pengajaran seperti ini dapat memperkaya pengalaman belajar siswa, tetap ada kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa guru atau penyuluh penghayat mendapatkan sertifikasi resmi agar dapat memberikan pengajaran yang terstruktur dan sesuai standar pendidikan.
Pak Edi juga menekankan bahwa sekolah inklusi harus memastikan bahwa siswa dari semua latar belakang, termasuk penghayat, dapat menikmati pendidikan yang setara. Ini termasuk memastikan bahwa kurikulum dan metode pengajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Contohnya, dalam pendidikan penghayat, kegiatan seni dan permainan tradisional dapat digunakan untuk mengajarkan konsep-konsep seperti gotong royong dan kebersamaan.
Membangun Demokrasi yang Inklusif
Demokrasi yang sejati harus melibatkan partisipasi aktif dari semua kelompok masyarakat, harus inklusif, termasuk kelompok minoritas seperti difabel dan penghayat. Pak Edi menggarisbawahi bahwa pendidikan inklusi harus melibatkan lebih dari sekadar label. Ini harus diimplementasikan dengan cara yang dapat dinikmati dan menaungi semua pihak, sehingga tidak ada kelompok yang merasa diabaikan atau didiskriminasi.
Mbak Triani juga menyampaikan harapannya agar penghayat kepercayaan dapat memperoleh kesetaraan yang sebenarnya, tanpa harus takut akan stigma atau diskriminasi. Masyarakat umum juga diharapkan untuk lebih terbuka terhadap interaksi dengan penghayat, karena banyak paguyuban penghayat tidak menyebarkan keyakinannya di luar kelompok mereka. Dengan saling mengenal dan berdialog, stigma negatif bukan tidak mungkin untuk dapat dihilangkan, dan tentunya masyarakat yang lebih inklusif dapat terwujud.
Walaupun perjuangan untuk mencapai inklusi dan kesetaraan bagi komunitas difabel dan penghayat kepercayaan di berbagai daerah di Indonesia masih panjang. Meskipun ada kemajuan dalam beberapa aspek, tantangan seperti diskriminasi, kurangnya fasilitas yang memadai, serta masalah sertifikasi penyuluh masih menjadi kendala besar. Kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan komunitas difabel serta penghayat sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan adil. Demokrasi yang inklusif dan setara akan memastikan bahwa hak-hak semua kelompok masyarakat dihormati dan dilindungi, menciptakan ruang aman yang lebih adil bagi semua.
Selengkapnya:
Kontributor: Miftah Firdaus Zein, Volunteer ICIR