Forum Kamisan DaringForum Kamisan daring 2024Program

Kelompok Rentan dan Partisipasi Pembangunan Inklusif

Forum Kamisan Daring ke-11 pada 26 September 2024 dengan tema Kelompok Rentan dan Partisipasi Pembangunan Inklusi ini menyoroti praktik-praktik yang dilakukan oleh Lalu Wisnu Pradipta dan Kresno Andi Cahyono pada komunitasnya. Lalu, direktur Lombok Independen Disabilitas Indonesia (LIDI) Nusa Tenggara Barat, menyadari banyak ketimpangan terkait kebijakan pemerintah daerah terhadap kelompok disabilitas. Maka, yang ia lakukan yaitu bergerak melalui dua arus: atas (kebijakan) dan bawah (masyarakat) untuk mendorong pemenuhan hak-hak disabilitas.

Gerakan dari arus atas dilakukan Lalu dengan cara advokasi pada elite-elite desa dan pemerintah daerah. Bersama organisasi, Lalu mendorong kelompok disabilitas memperoleh pendidikan yang layak dan mendorong regulasi yang adil. Pendidikan yang layak tidak hanya berupa infrastruktur yang memadai, tetapi juga sekolah perlu memiliki guru-guru yang terampil dalam pengetahuan disabilitas.

Pada level mikro, kelompok disabilitas berharap terlibat dalam musrembang di desa, kecamatan, dan kegiatan-kegiatan yang lain berkaitan kebijakan yang mengatur hak-hak kaum disabilitas bisa terpenuhi. Ia juga mendorong adanya kebijakan anggaran agar fasilitas-fasilitas di kantor desa dapat diakses oleh disabilitas, misalnya jalan yang rata, landai, mudah, dan dapat diakses kursi roda. Dengan adanya fasilitas tersebut, dapat menunjukkan bahwa elite desa mengakui keberadaan disabilitas dengan memberikan hak-haknya.

Pada lapisan struktur atas lainnya yaitu berupa kebijakan pemerintah daerah, yang masih belum berpihak pada disabilitas. Setiap tahun, pemerintah daerah mengeluarkan regulasi yang semestinya mementingkan disabilitas. Misalnya, mengenai pasal kekerasan pada anak. Maka, perlu juga memasukkan isu perlindungan kekerasan pada anak disabilitas dan perempuan disabilitas, sehingga perda-perda yang dibuat dapat melindungi hak-hak disabilitas. Isu-isu seperti inilah yang berupaya didorong oleh Lalu bersama organisasinya di NTB, dan tindakannya menuai hasil yang baik ketika pemda mengeluarkan perda tentang pendidikan inklusi.

Di sisi lain, kelompok disabilitas juga berhadapan dengan arus bawah lainnya, berupa stigma-stigma di masyarakat dan keluarga. Mereka bukan hanya menghadapi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak tapi juga berhadapan dengan tradisi, budaya, dan pola pikir dari lingkungan terdekat seperti orang tua bahwa memiliki anak yang disabilitas merupakan sesuatu aib dan seorang difabel tidak dapat hidup mandiri. Stigma-stigma tersebut kemudian lebih sering menuntun para disabilitas pada hidup yang cemas dan sulit berkembang, bahkan sulit menuntut hak-hak hidup mereka yang adil pada pemerintah.

Sementara itu, Kresno Andi Cahyono yang merupakan penghayat Kakadangan Wringin Seto di Blora, Jawa Tengah, menyoroti bahwa prinsip  memayu hayuning bawono menjadi panduan kelompoknya dalam memelihara alam. Salah satu kegiatan yang mereka lakukan yaitu mengajak kelompok lintas agama untuk menanam pohon, dan aktif dalam pengelolaan dan pengolahan edukasi sampah secara swadaya.

Dua kasus berbeda tersebut memiliki relevansi pada konteks pembangunan yang inklusif.  Pembangunan inklusif mencirikan semua masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan pembangunan. Peran komunitas seperti LIDI dan penghayat Kakadangan Wringin Seto turut membumikan pembangunan yang inklusif. Mereka adalah agen-agen inklusif yang tumbuh dari bawah, komunal, dan bergerak dengan misi simbol yang sama.

Cara memandang dunia disabilitas atau penghayat sebagai kelompok marjinal dan tidak bisa berbuat apa-apa harus ditinggalkan. Melibatkan mereka dalam perumusan kebijakan desa atau proyek pembangunan desa jangan hanya sekadar formalitas atau partisipasi semu. Wujud partisipasi semu biasanya mewujud dalam bentuk undangan untuk hadir dalam pertemuan saja untuk memenuhi formalitas administratif, dan sering kali masukkan saran dari kelompok-kelompok rentan tidak diperhitungkan dan didengar aspirasinya dalam keputusan akhir dan kebijakan publik. Praktik-praktik semacam itu acapkali mengabaikan pengetahuan semua unsur masyarakat yang berharga, dan jika satu kelompok merasa diabaikan maka hal itu mengikis proses pembangunan yang semestinya inklusif.

Ketika paradigma pembangunan arus utama sering menyingkirkan kelompok rentan, kelompok marjinal, minoritas, dan disabilitas, maka peran komunitas menjadi kekuatan budaya yang lebih elastis, gesit, dan kuat karena lebih menyesap pada kesadaran kolektif masyarakat yang melampaui ruang dan waktu. Dengan berada di komunitas, kelompok-kelompok rentan dan marjinal dapat menjadi aktor dan melakukan berbagai inisiatif dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya, demi memperjuangkan hak, aspirasi, dan menumbuhkan rasa kebersamaan.  Maka, yang perlu diperhatikan gerak komunitas kelompok rentan tersebut yaitu harus berjalan untuk menumbuhkan harapan dalam merawat kesetaraan sebagai warga negara.

Simak tayangan selengkapnya:


Kontributor: Jonathan Alfrendi

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button