Ekspresi Spiritualitas Kelompok Rentan dalam Lanskap Demokrasi Indonesia
HIghlight FKD 6
“Demokrasi adalah kebebasan. Jika kebenaran menjadi dasar dari segala sesuatu, kebebasan berarti memberi kesempatan kepada kebenaran untuk menunjukkan dirinya, kesempatan yang memancar keluar dari kedalaman.”
Kutipan dari John Dewey tersebut relevan sebagai kerangka refleksi atas implementasi demokrasi yang kerap menjauh dari nilai substantifnya. Kebebasan, apapun bentuknya, mesti dihargai sebagai hak yang melekat pada setiap warga negara dalam alam demokrasi. Termasuk dalam hal ini adalah kebebasan beragama, atau lebih spesifik kebebasan dalam melakukan ekspresi spiritualitas.
Berkaitan dengan hal tersebut, diskusi Forum Kamisan Daring (FKD) Seri ke 6 yang diselenggarakan ICIR pada tanggal 22 Agustus 2024 mengusung tema “Ekspresi Spiritualitas Kelompok Rentan dalam Landskap Demokrasi Indonesia”. Diskusi ini mengundang dua orang narasumber dari kelompok sosial berbeda. Rambu Ami sebagai narasumber pertama berasal dari tanah Sumba, tempat di mana agama asli masyarakat Sumba berkembang, yaitu Marapu. Sedangkan narasumber kedua yaitu Novy Piyya berasal dari Pondok Pesantren Waria Al-Fattah. Kedua narasumber berbagi pengetahuan dan pengalamannya berkaitan dengan praktik-praktik keseharian masing-masing maupun kelompoknya di tengah masyarakat yang multikultural. Secara spesifik, baik Rambu Ami maupun Novy Piyya berbagi pengalaman mengenai ekspresi spiritualitas dalam kehidupan keseharian di tengah-tengah masyarakat yang beragam.
Pembahasan pertama mengelaborasi agama Marapu sebagai salah satu agama tradisional yang berkembang di Pulau Sumba, Indonesia. Keberadaan agama ini menandai keragaman spiritual yang ada di Nusantara. Agama Marapu adalah sistem kepercayaan yang berbasis pada pemujaan leluhur dan roh-roh alam. Masyarakat Sumba percaya bahwa Marapu adalah entitas yang mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung, baik dalam aspek sosial, budaya, maupun personal.
Rambu Ami menjelaskan pula penggunaan nama depan “Rambu” pada dirinya. “Rambu” dalam masyarakat Sumba merepresentasikan posisi tertentu seseorang dalam struktur sosial di Sumba. Seseorang yang memiliki nama depan “Rambu” adalah mereka yang memiliki keturunan pemimpin adat. Artinya, “Rambu” sebagai petanda memiliki makna sosial yaitu individu yang memiliki asal-usul dari kalangan petinggi masyarakat dalam hierarki sosial masyarakat Sumba.
Dalam konteks demokrasi di Indonesia, pemerintah dalam kerangka negara hukumnya telah mengakui keberagaman agama dan kepercayaan, termasuk agama Marapu di Sumba. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari perjuangan panjang berbagai elemen masyarakat penghayat kepercayaan untuk memperoleh pengakuan dari negara. Akan tetapi, pengakuan secara hukum saja belum cukup. Mengutip Axel Honneth, setidaknya terdapat tiga ranah pengakuan atas perjuangan: cinta, hukum, dan solidaritas. Pada setiap ranah terjadi proses pengakuan timbal balik yang membantu individu dalam mengembangkan relasi dengan dirinya.
Pengakuan negara atas aliran kepercayaan masuk dalam kategori pengakuan hak. Pengakuan hak beririsan dengan kesetaraan setiap individu untuk mendapatkan hak-hak hukum dan politik serta mendapat perlindungan dari diskriminasi dan penindasan. Pada ranah ini pemerintah telah memberi legitimasi dan pengakuan atas agama dan seluruh kepercayaan yang ada. Oleh sebab itu, di ranah hukum agama leluhur seperti Marapu telah memperoleh rekognisi dari negara.
Ranah pengakuan lainnya adalah pengakuan berbasis cinta kasih dalam lingkup privat seperti cinta antara ibu dan anak. Sedangkan ranah solidaritas menyangkut pengakuan atas nilai sosial individu dalam konteks komunitas sosial. Setiap individu memiliki prestasi dan kemampuan yang berharga secara personal dan karenanya memiliki konstribusi penting dalam kehidupan sosial. Pada bagian ini, penganut agama Marapu terus berupaya melakukan pelibatan diri pada urusan-urusan sosial yang menyangkut kebaikan bersama. Dengan begitu perlahan mereka dapat memperoleh pengakuan dari masyarakat luas. Meski demikian, masyarakat juga diharapkan tidak ekslusif terhadap para penganut agama Marapu. Hal ini penting untuk menciptakan koeksistensi di tengah diversitas masyarakat dan menghindari perilaku-perilaku diskriminatif.
Pembahasan kedua mengelaborasi ekspresi spiritual dari transpuan. Ekspresi spiritual merupakan aspek penting dari pengalaman transpuan, yang sering kali melibatkan pencarian makna dan identitas di tengah masyarakat yang kerap bersikap tidak ramah. Ekspresi spiritual bagi transpuan mencakup berbagai dimensi, dari pengalaman pribadi hingga keterlibatan dalam komunitas. Bagi banyak transpuan, spiritualitas bukan hanya tentang agama atau kepercayaan, tetapi juga tentang bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri dalam konteks yang lebih luas, serta bagaimana mereka berhubungan dengan lingkungan dan komunitas mereka.
Kaitan antara ekspresi spiritual ini dan prinsip-prinsip demokrasi menunjukkan bahwa keduanya dapat saling mendukung dan memperkaya. Demokrasi, dengan penekanan pada hak asasi manusia, kesetaraan, dan partisipasi, menyediakan kerangka kerja yang memungkinkan kelompok transpuan untuk merayakan dan mengungkapkan spiritualitas mereka secara autentik. Dengan adanya dukungan dan pengakuan yang lebih besar, baik dalam konteks spiritual maupun sosial, transpuan dapat lebih bebas menjalani kehidupan yang mereka pilih, sambil berkontribusi pada masyarakat yang lebih inklusif dan adil.
Berdasarkan pengalaman yang dialami Novy Piyya, komunitas masyarakat di sekitarnya perlahan telah menerima keberadaannya sebagai transpuan. Stigma terhadap dirinya sebagai transpuan yang kerap dilekatkan dengan hal-hal negatif perlahan menghilang. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari upayanya bersama teman-teman transpuan lain dalam keikutsertaannya pada agenda-agenda sosial, sehingga memperkecil jarak sosial, mengubah persepsi serta perlakuan masyarakat terhadap mereka. Dalam persepktif Honneth, upaya ini dilakukan agar dapat merengkuh pengakuan solidaritas.
Sehubungan dengan itu, dalam hal ekspresi spiritual, Novy Piyya menceritakan bagaimana perjalanan dirinya melakukan ibadah-ibadah keagamaan di lingkungannya. Menurutnya, masyarakat tidak mempersoalkan identitasnya sebagai transpuan. Saat beribadah di masjid misalnya, ia mengenakan pakaian laki-laki sehingga tidak dipermasalahkan oleh warga. Pun ketika melakukan ibadah umroh, secara simbolik pakaian yang dikenakannya adalah pakaian laki-laki. Meski demikian, ia merasa tidak ada pertentangan nilai yang signifikan dalam dirinya sehingga tetap dapat melakukan ibadah keagamaan dengan khusyuk.
Pada pengurusan administrasi umroh, Novy Piyya juga membagi cerita bahwa tidak ada hambatan yang berarti termasuk dalam urusan birokrasi. Hal ini juga berkaitan dengan cerita sebelumnya, bahwa ia menggunakan identitas laki-lakinya dalam pengurusan berkas sehingga tidak dipersoalkan oleh birokrasi. Artinya, dapat disimpulkan bahwa kebebasan berekspresi yang dilakukan Novy Piyya dan teman-teman transpuan lain penuh dengan strategi agar tetap mendapat penerimaan sosial dari orang-orang di luar komunitas mereka. Pengalaman-pengalaman ini juga yang memotivasi dirinya maupun transpuan lain untuk menciptakan ruang yang lebih inklusif, di mana mereka dapat bebas berekspresi tanpa adanya bayang-bayang ketakutan atas perlakuan diskriminatif.
Mendengar pengalaman masing-masing narasumber dalam FKD kali ini terdapat sebuah aspek penting yang perlu diperhatikan dalam demokrasi dan kaitannya dengan kebebasan berekspresi kelompok rentan, yakni pendidikan dan kesadaran publik. Pendidikan dan kesadaran publik adalah modal utama untuk menciptakan pemahaman dan toleransi terhadap berbagai identitas dan ekspresi. Meningkatkan pemahaman tentang isu-isu terkait gender dan spiritualitas dapat mengurangi stigma dan diskriminasi. Inisiatif pendidikan yang inklusif membantu menciptakan masyarakat yang lebih menerima, di mana berbagai identitas gender, termasuk identitas transpuan, dihargai dan diterima. Karenanya, peran negara dibutuhkan dalam melakukan kerja-kerja publik yang dapat berimplikasi pada penciptaan ruang-ruang sosial yang lebih inklusif.
Selengkapnya:
Kontributor: Pandu Irawan, Sosiologi UGM