–
Forum Kamisan Daring ICIR #2 “Kearifan Lokal, Solusi Global: Peran Komunitas dalam Menjaga Alam”
Di tengah krisis iklim dan kehancuran ekologis yang makin meresahkan, dua komunitas lokal dari Nusantara menunjukkan bahwa menjaga alam bukan sekadar tugas teknis, melainkan tindakan spiritual. FKD bertema “Kearifan Lokal, Solusi Global: Peran Komunitas dalam Menjaga Alam” menghadirkan suara dari penghayat kepercayaan Kaharingan di Kalimantan Tengah dan Marapu dari Sumba, yang menggambarkan betapa erat hubungan antara manusia, alam, dan keyakinan dalam praktik kehidupan mereka sehari-hari. Dari forum ini, dua pelajaran utama dapat ditarik: bahwa spiritualitas lokal adalah fondasi kuat dalam menjaga ekosistem dan bahwa penghormatan terhadap alam sebagai makhluk hidup dapat menjadi dasar etika ekologis global.
Spiritualitas Lokal sebagai Fondasi Ekologi
Bagi masyarakat Kaharingan di Kalimantan, alam bukan sekadar latar tempat hidup, melainkan tempat tinggal leluhur dan karenanya menjadi ruang sakral. “Alam adalah ciptaan Tuhan yang harus dijaga dan dihormati,” ujar Sukirman, perwakilan dari penghayat Kaharingan. Dalam keyakinan mereka, Tuhan disebut Nining Bahantara, pencipta semesta dan segala isinya. Alam, dengan segala bentuknya seperti hutan, gunung, lembah, sungai dianggap sebagai ciptaan suci yang tidak bisa diperlakukan sembarangan.
Dalam praktik sehari-hari, masyarakat Kaharingan menerapkan pengelolaan hutan secara tradisional yang berbasis pada kebutuhan, bukan keserakahan. Mereka hanya menggarap lahan secukupnya untuk pertanian, menanam padi bukan untuk dijual tetapi untuk ketahanan pangan selama satu hingga dua tahun. Pertanian dijalankan dengan perhitungan spiritual dan ekologis, bukan berdasarkan logika pasar.
Selain itu, aktivitas seperti menebang pohon atau membuka lahan harus didahului dengan ritual memohon izin kepada bumi dan roh yang menghuni alam. “Semua tumbuh-tumbuhan dan makhluk hidup di atas bumi itu punya roh,” tegas Sukirman. Kegiatan gotong royong untuk menanam pun dilakukan tanpa upah, sebagai bentuk bakti terhadap alam. Namun keyakinan ini seringkali berbenturan dengan kebijakan pembangunan. Banyak wilayah sakral seperti pertapaan dan pegunungan terancam oleh proyek tambang dan pembukaan lahan. “Kita bisa mempertahankan kesakralan, tapi aturan pemerintah tidak selalu memahami nilai-nilai ini,” keluhnya.
Di Sumba, Rato Ratewana, perwakilan dari kepercayaan Marapu, menyampaikan hal serupa. “Tanah itu ibumu, langit itu bapakmu,” ucapnya. Ajaran ini secara turun-temurun diwariskan kepada generasi muda untuk selalu menghormati alam sebagai keluarga sendiri. Setiap aktivitas menggali, menanam, atau memanen harus diawali dengan ritual permisi, karena diyakini bahwa alam dihuni oleh roh-roh halus seperti dewa tanah dan muri muripada.
Dalam praktik keagamaan Marapu, terdapat ritual-ritual penting seperti wula podu, yaitu masa berkabung untuk bumi, di mana masyarakat dilarang menebang kayu atau mengganggu alam. Sayangnya, banyak dari hutan yang merupakan tempat ritual justru dirusak atas nama rehabilitasi. “Kami sangat sakit hati. Rumah roh kami hilang,” ujar Ratewana penuh kecewa.
Pengalaman dua komunitas ini menunjukkan bahwa spiritualitas lokal bukan mitos usang, tetapi pengetahuan ekologis yang hidup dan terus diwariskan. Mereka menyimpan etika ekologis berbasis penghormatan terhadap alam, bukan sekadar pengelolaan sumber daya.
Alam Bukan Benda Mati
Candra, yang menjadi penanggap dalam diskusi ini, menjelaskan bagaimana spiritualitas dalam masyarakat adat menawarkan pandangan holistik terhadap alam. “Manusia, alam, dan spiritualitas tidak bisa dipisahkan,” katanya. Dalam tradisi Kaharingan dan Marapu, keterhubungan dengan alam tidak hanya bersifat fisik, tapi juga emosional dan spiritual. Misalnya, seringkali dalam aktivitas produksi, masyarakat adat mengawalinya dengan ritual izin atau permisi kepada alam. Hal ini menunjukkan relasi yang tidak parsial—manusia tidak memandang pohon sebagai kayu belaka, atau tanah sebagai objek mati. Sebaliknya, ada rasa partisipasi dan saling ketergantungan. “Kalau kita rusak nadi bumi, seperti sungai dan hutan, kita juga perlahan membunuh tubuh kita sendiri,” katanya, mengutip pandangan eco-feminis seperti Kim Andersen.
Candra menekankan bahwa masyarakat modern kerap kehilangan relasi ini. Alam dilihat secara fungsional—apa gunanya, apa manfaatnya, berapa harganya, bukan sebagai makhluk hidup yang perlu dihormati. Akibatnya, relasi emosional dan etis terhadap alam memudar. “Kalau tidak ada hubungan emosional, maka tak ada beban ketika merusaknya,” ucapnya.
Dalam dunia yang semakin terpisah antara manusia dan alam, Candra melihat bahwa nilai-nilai komunitas adat adalah alternatif penting. Mereka tidak hanya menawarkan cara teknis menjaga hutan, tapi juga cara hidup—cara mencintai dan menghormati dunia tempat kita berpijak.
Diskusi ini membuka mata bahwa solusi krisis ekologis tidak melulu datang dari teknologi tinggi atau jargon pembangunan berkelanjutan. Solusi juga bisa datang dari kearifan lama yang berakar pada nilai spiritual dan relasi manusia-alam. Bagi Kaharingan dan Marapu, menjaga hutan bukan hanya soal konservasi, tapi juga tentang menjaga rumah leluhur, menjaga keharmonisan kosmik, dan menjaga hubungan dengan yang Ilahi.
Ketika negara tidak hadir atau bahkan menjadi bagian dari perusak, komunitas lokal tetap bertahan dengan ritual, gotong royong, dan spiritualitas. Mereka menjaga alam bukan karena diatur, tetapi karena mereka merasa menjadi bagian darinya.
Sebagaimana kata Rato Ratewana: “Kalau langit adalah bapakmu dan tanah adalah ibumu, lalu siapa kamu kalau membakar rumah orang tuamu sendiri?”
Ikuti diskusi lengkapnya:
Kontributor: Widya Lestari