Artikel

Religiusitas Larung Sesaji

Hubungan sejarah antara air dan kehidupan sepertinya jauh lebih tua dari usia manusia itu sendiri. Kabar seperti ini bisa kita temukan dalam berbagai hikayat dari para arif bijaksana lampau. Thales (624-548 SM) dari Miletus adalah salah satunya. Dia memiliki hipotesis bahwa asal muasal alam adalah zat materi tunggal, yaitu air. 

Bahkan sampai hari ini, air tetap dipandang sebagai bagian integral dari kehidupan. Karenanya dengan mudah kita bisa melihat bagaimana manusia membangun relasi dengan air. Di Jawa, dan banyak tempat lain di Nusantara, di antara bentuk relasi itu mengejawantah dalam kebudayaan yang disebut Larung Sesaji.

Praktik ini umumnya dilakukan oleh masyarakat pesisir yang hidupnya sangat dekat dengan air. Kedekatan ini bukan semata persoalan geografis, namun juga wawasan kosmologis yang mengikat sejarah panjang kehidupan manusia dengan laut. Dalam keseharian, wawasan itu seringkali menjadi panduan cara masyarakat memandang laut.

Laut selalu tampak perkasa, indah, bersahaja, namun kadang juga mencekam. Ia kaya dan pemurah, tak pernah bosan berbagi dengan seluruh kehidupan, selama ia terjaga. Keberadaannya penting bagi semesta, termasuk manusia, tapi tentu saja bagi yang memahami dan menghayatinya. Dalam konteks ikatan relasional seperti inilah praktik budaya larung sesaji menemukan tempatnya.

Interaksi Simbolik Larung Sesaji

Memahami larung sesaji persis seperti memahami semesta simbolik. Secara terminologis, larung sesaji dipahami sebagai praktik memberikan memberikan sajian dengan cara dilarung. Di Yogyakarta, seperti dipraktikkan oleh paguyuban Hangudi Bawana Tata Lahir Batin, larung sesaji dibedakan dengan labuhan. Larung sesaji umumnya dilakukan di wilayah pantai seperti Parangkusumo, sedangkan labuhan dilakukan di gunung Merapi.

Mereka memahami istilah larung sebagai kegiatan membuang, meletakkan, atau menghanyutkan sesuatu. Sedangkan sesaji secara umum dimaknai sebagai sajian. Bagi mereka, larung sesaji penting dilakukan sebagai cara manusia berelasi dengan alam semesta. Alam semesta ini dihuni oleh berbagai kehidupan makhluk, bukan hanya manusia. Dalam berelasi itu, manusia butuh sarana. Sarana ini dalam konteks larung sesaji disebut sebagai sajen.

Sajen dipahami sebagai sastra (ajaran) dan jendra (keselamatan dari penguasa atau Tuhan Yang Maha Esa). Di dalamnya terdapat aneka simbol kehidupan. Misalnya ada uborampe berupa tumpeng robyong, megono, dan kencono. Tempeng yang berbentuk kerucut menggambarkan sekaligus mengajarkan perihal perjalanan manusia menggapai kesempurnaan menuju titik yang tunggal. Melalui simbol yang mengingatkan kita pada ajaran spiritual tersebut, larung sesaji sebenarnya bertujuan untuk menciptakan keadaan harmoni alam semesta berupa keselamatan.

Di Cilacap Jawa Tengah, sebagaimana diterangkan oleh penganut Pangudi Ilmu Kebatinan Inti Sarining Rasa, praktik serupa disebut dengan berbagai istilah lain seperti ruwat laut, selamatan laut, maupun pisungsum jaladri. Budaya ini merupakan cara manusia merayakan syukur karena laut memberikan berkah yang tidak pernah surut. Ia sekaligus merupakan sarana bertegur sapa dengan sesama makhluk. Dalam uraian yang lebih ekologis, kegiatan dilaksanakan sebagai bagian dari pelestarian lingkungan hidup dengan dasar spiritualitas yang kokoh.

Dasar spiritual itu merujuk pada pelbagai kearifan lokal. 1) Sangkan dumadining bawana (asal usul terjadinya alam); 2) Sangkan paraning dumadi (asal usul terjadinya manusia); 3) Memayu hayuning bawana (konsep pelestarian lingkungan hidup—hubungan manusia dengan alam); 4) Manunggaling kawula gusti (konsep ketuhanan—hubungan manusia dengan Tuhan); dan 5) Berbudi bawa laksana (pelaksanaan hidup—hubungan manusia dengan manusia lainnya dan manusia dengan diri sendiri).

Melihat larung sesaji sebagai upaya pelestarian hdup menjadi sangat penting karena praktik ini mengajarkan kita tentang bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan alam. Dalam pandangan umum, alam seisinya—termasuk laut—diciptakan adalah untuk kepentingan manusia baik manusia tempo dulu, sekarang, maupun generasi yang akan datang. Superioritas manusia ini harus dilihat bukan semata dari eksistensinya, namun pada bagaimana dia memperlakukan dan mengelola alam. Untuk itulah para leluhur dahulu telah mencanangkan hari-hari peringatan tentang penyelamatan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup atau ruwatan.

Contoh ruwatan adalah larung sesaji. Sebagai bentuk pelestarian lingkungan hidup , selain ekspresi budaya dalam bentuk ritual, bentuk luaran yang lebih umum sebenarnya bisa mewujud dalam menjaga habitat biota laut, hewan laut, hutan mangrove, maupun terumbu karang dari perusakan. Upaya lainnya sebenarnya juga bisa berbentuk menjaga agar limbah industri tidak masuk ke air dan laut. Inilah ekspresi memayu hayuning bawana.

Prinsipnya adalah menjaga keseimbangan semesta dengan tidak merusak alam dan mengambil seperlunya. Hal ini karena apa yang manusia lakukan pada laut, juga akan dilakukan oleh laut pada manusia. Jika manusia merusak laut, maka ekosistem kehidupan di laut akan hancur. Pada akhirnya, laut tidak punya pilihan lain kecuali turut menghancurkan manusia melalui dengan cara tidak berbagi kehidupan yang sehat.

Ruang Inklusif Larung Sesaji

Dalam praktik kebudayaan, larung sesaji menjadi tidak eksklusif miliki kelompok kepercayaan. Larung sesaji bisa menjadi budaya lintas keyakinan, agama, gender, dan lain-lain. Terlepas dari keragaman latar belakang tersebut, yang pasti praktik ini beraras pada dimensi spiritualitas dengan pelibatan aktif semua pihak masyarakat. Karenanya, sebenarnya larung sesaji bisa menjadi ruang inkusif di tengah masyarakat.

Kendati demikian, cukup disayangkan karena ada cerita di beberapa tempat yang menganggap larung sesaji sebagai praktik syirik. Mempertimbangkan praktek ini dibangun di atas dasar spiritualitas-religius sebagaimana diterangkan di atas, maka stigma tersebut sepertinya berasal dari prasangka belaka. Stigma ini tentu saja merugikan, bukan hanya bagi masyarakat yang mempraktikkannya, namun juga bagi kelestarian relasi harmonis manusia dengan alam. 

Karena itu, larung sesaji perlu menjadi satu topik dialog bersama antarmasyarakat. Begitu ia mendapatkan ruang yang setara untuk didialogkan, potensi stigma bisa diminimalisasi. Alih-alih memberikan stigma terhadap praktik budaya ini, saya kira justru yang terpenting adalah melihat potensi yang bisa dikembangkan untuk kebaikan semua pihak sekaligus proteksi terhadapnya.

Larung sesaji pada dasarnya juga menjaga ekosistem kehidupan. Dalam sekali perhelatan saja, larung sesaji membutuhkan unsur-unsur yang banyak. Ada hasil bumi berupa buah-buahan, umbi-umbian, dedaunan sebagai bungkus makanan, jajanan pasar yang melimpah, dan lain-lain. Artinya, pelaksanaan larung mensyaratkan tersedianya seluruh bahan tersebut. Ini saja cukup menggambarkan bahwa banyak pihak yang terlibat dalam larung baik secara langsung maupun tidak.

Selain itu, kita juga perlu memastikan ada hasil bumi untuk sajian dalam larung. Penggunaan hasil bumi merupakan kerja panjang para petani yang melibatkan proses penanaman, perawatan, sampai panen. Dan hal ini hanya mungkin terwujud jika kondisi tanah mendukung untuk proses tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk jajanan pasar yang merupakan produk olahan masyarakat dengan bahan-bahan alami. Selain itu, penggunaan bungkus makanan berupa daun pisang, misalnya, juga turut menggambarkan bahwa pohon pisang juga turut berkontribusi dalam penyediaan bahan-bahan larung sesaji.

Secara spiritual, telah diterangkan juga bahwa larung tidak bisa dilepaskan dari warisan kearifan lokal leluhur. Karena itulah dalam setiap ritual larung ada ungkapan doa untuk mereka. Manusia mengucapkan syukur pada Tuhan, berbagai makanan dengan sesama, mendoakan para leluhur, dan di saat yang sama menguatkan komitmen secara kultural untuk terus menjaga alam.

Universalitas nilai-nilai seperti itulah yang membuat larung pada akhirnya menjadi bagian dari kebudayaan yang semestinya bisa diterima secara luas. Larung menjadi bukan semata contoh ruang inklusif, namun juga bisa menjadi daya tarik wisata. Selain itu, keterlibatan semakin banyak pihak turut menjadi bentuk penjagaan terhadap kelompo pelaku larung, keyakinan, tradisi, nilai lokal, bahkan basis material seperti hasil bumi, dan lain-lain.


Penulis: Gedong Maulana Kabir

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button