ArtikelVideo

Musik Ritual dalam Kepercayaan/Agama Leluhur

Musik sebagai salah satu bentuk kesenian susah dihilangkan dari banyak praktik kebudayaan dan keagamaan. Di banyak komunitas keagamaan, termasuk di dalamnya komunitas penghayat kepercayaan atau agama leluhur, musik kadang menjadi medium ritual. Khusus bagi komunitas penghayat, keberadaan musik merupakan hal intim dalam ritual dan menciptakan ruang bagi penghayat untuk menginterpretasi lingkungan dan ajaran spiritual. 

Musik bagi penghayat mempunyai sistem yang berbeda dengan musik modern pada umumnya. Penyebutan ‘musik’ baru dikenal di dalam paradigma masyarakat modern. Bagi komunitas penghayat, musik mempunyai varian berbeda karena pemain dan pendengarnya mempunyai paradigma kesenian yang berbeda, khususnya menyangkut musik ritual. Persoalan musik ritual ini dibicarakan dalam diskusi online Forum Kamisan Online Rumah Bersama seri ke-12 pada Juli 2020, dengan tajuk Musik Ritual dalam Kepercayaan/Agama Leluhur dengan narasumber dari komunitas penghayat Waraney Waya di Minahasa, penghayat Panggelar Ngartakeun Bumi Lamba di Jawa Barat, umat Kaharingan di Kalimantan, dan Nyak Ina Raseuki selaku etnomusikolog. Pembahasan berkisar pada pemahaman musik bagi pengahayat dan ajaran yang tersemat di dalamnya.

Sementara ada sebagian pandangan keagamaan yang menganggap musik sebagai kesenian yang tidak sakral atau bahkan diharamkan karena membuat manusia lalai, musik bagi komunitas penghayat kepercayaan justru merupakan bahasa sakral yang mengandung simbol dan ekspresi keagamaan yang tak bisa dipisahkan dari kepercayaan itu sendiri. Kenyataan bahwa produksi bunyi-bunyian, baik vokal maupun instrumental, dalam tradisi musik penghayat dijelaskan dengan nama-nama yang berbeda adalah tanda bahwa musik bisa dipahami berbeda.

Bagi komunitas penghayat Waraney Waya, musik disebut dengan istilah seperti ‘zani’ atau ‘rani’ dan dimaknai sebagai geraknya alam semesta. Bagi penghayat Panggelar Ngertakeun Bumi Lamba, musik disebut tatabenga atau tiringa, yang dapat dimaknai sebagai pesan leluhur. Layak dicatat, sekali lagi, bahwa musik bagi komunitas penghayat ini tidak bisa disamakan dengan musik sebagai dikonseptualisasikan orang modern. 

Musik dan Spiritualitas

Musik ritual bagi komunitas penghayat mencakup musik sebagai doa, rasa syukur, dan penyembuhan. Hanya saja, ada perbedaan mendasar tentang konsep musik dalam agama dunia (world religion) dan agama leluhur (indigenous religion). Musik spiritual dalam paradigma agama leluhur atau komunitas adat menjangkarkan musik melalui hubungan antara yang-supranatural dan yang-natural pada relasi intersubjektif yang tidak mengandung hubungan hirarkis di antara keduanya—sebagaimana diungkapkan Samsul Maarif dalam Indigenous Religion Paradigm: Re-Interpreting Religious Practices of Indigenous People (2019). Rumusan ini menjadi bagian paling penting dalam menjelaskan musik ritual bagi pengahayat itu sendiri karena dari relasi intersubjektif ini ditemukan bagaimana mereka memandang musik sebagai yang sakral terkait dengan spiritualitas. 

Gin Gin Akil selaku penghayat Panggelar Ngartakeun Bumi Lamba mengatakan bahwa musik bagi mereka berkonotasi sebagai doa atau pengahayatan pada anugrah semesta. Penghayat Warani Wayak di Minahasa menganggap musik sebagai medium untuk mendekatkan diri pada Kasuruan (sumber kehidupan), Wailan (Maha menganugrahkan), dan Apok (leluhur) yang sama-sama memliki hubungan relasional, sebagaimana ungkapan salah satu penganutnya, Fredy Wowor. Ritual Babalian bagi penganut Kaharingan dalam masyarakat Dayak juga memakai musik sebagai medium ritual yang ditujukan kepada Nining Batara. 

Suara dan Simbol

Vokal dan instrumen sebagai medium spiritual memang menjadi inti dari musik ritual komunitas penghayat. Terdapat pula ciri dan kegunaan simbol tertentu dalam instrumen musik penghayat yang dapat menjelaskan ajaran-ajaran yang mereka yakini. Simbol-simbol di dalam alat musik ini digambarkan sebagai sesuatu yang dihormati. Menurut Victor Zuckerkandl dalam Sound and Symbol: Music and the External World (1969), simbol dalam musik ritual memproduksi makna bukan hanya terkait dengan bentuk musik yang dimainkan, melainkan juga cara mereka menghormati bunyi itu sendiri dan tujuan mengapa instrumen itu mendukung tujuan dan fungsi bunyi-bunyian dalam ritual.

Instrumen musik juga mempunyai makna masing-masing, seperti dalam tradisi Babalian (sembahyang). Tangga nada, misalnya, dimaknai sebagai simbol maqam tertentu menuju Nining Bahatara (sang pencipta). Simbol dari instrumen musik bagi komunitas Panggelar Ngertakuen Bumi Lamba, menurut Gin Gin Akil, mengandung ajaran tertentu. Alat musik Jentreng misalnya mempunyai simbol tujuh senar yang bermakna kuasa, kehendak, pengetahuan, hidup, melihat, mendengar, dan berbicara yang semuanya ditujukan untuk pengalaman spiritual yang berasal dari Tuhan. Selain itu, ada juga simbol gender, seperti dalam alat musik Celempung yang dimaknai sebagai Ibu dan alat musik Karinding sebagai Bapak. Celempung dan Karinding merupakan alat musik yang berpasangan. Celempung mempunyai empat nada, simbol dari elemen air, api, tanah dan udara, yang dianggap sebagai warisan Ibu (bumi), sedangkan Karinding yang diasosiasikan sebagai Bapak dimaknai dengan ‘keimanan’, yang mempunyai unsur-unsur seperti keyakinan, kesabaran, dan kesadaran. Ada pula gambaran kosmologis dalam alat musik Tarawang yang mempunyai dua senar. Alat musik gesek ini menyematkan nilai filosofis berupa keseimbangan dunia, yakni baik-buruk, tinggi-rendah, laki-perempuan, dst.

Demikian. Esai pendek ini tidak hendak memberikan kesamaan fungsi musik bagi aspek-aspek spiritual menurut semua komunitas penghayat di Indonesia. Pada akhirnya, bahasan dari musik ritual dan hubungannya dengan spiritualitas ini menunjukkan bahwa komunitas penghayat punya tata-cara yang berbeda-beda terkait musik sebagai medium ritual. 


Tautan rekaman diskusi: https://www.youtube.com/watch?v=OGEFarq5cj0

Penulis: Zulfikar RH Pohan

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button