Praktik Baik dan Tantangan Kewargaan Penghayat di Indonesia
Pemenuhan hak konstitusional penghayat kepercayaan kian mengalami tren positif. Sayangnya, persoalan efisiensi pelayanan hak kewargaan, khususnya bagi warga “non-agama”, masih jauh panggang dari api. Meski putusan MK tahun 2017 tentang Adminduk telah menegaskan kesetaraan kepercayaan dengan agama, implementasi dan sosialisasinya dirasa masih kurang merata. Minimnya koordinasi kelembagaan dari pusat ke daerah menyebabkan informasi yang diterima di tingkat daerah dalam proses perubahan data masih kurang maksimal.
Mislanya, ketika melakukan perubahan identitas agama seorang penghayat yang semula terpaksa memilih salah satu agama yang “tersedia” dengan maksud untuk mendapatkan pelayanan-pelayanan publik, identitasnya tidak dapat langsung diubah menjadi kepercayaan terhadap Tuhan YME, melainkan diarahkan untuk mengurus surat pernyataan pindah agama dari institusi agama yang ia anut sebelumnya di kolom KTP.
Tulisan ini berupaya mengulas isu tersebut dengan merefleksikan serial diskusi Forum Kamisan Daring (FKD) yang bertemakan “Praktik Baik dan Hambatan Pemenuhan Hak Konstitusional Penghayat” yang digelar pada 18 Agustus 2022. Beberapa isu penting yang digarisbawahi di antaranya adalah pemenuhan hak pendidikan, perkawinan, dan pekerjaan kepada warga yang agamanya di luar dari enam agama “resmi” termasuk penghayat kepercayaan, serta faktor politik pengakuan agama oleh negara yang ditesiskan sebagai latar belakangnya.
Praktik Baik dan Tantangan Kewargaan
Dalam realitas politik kewargaan hari ini, penghayat kepercayaan dan penganut agama di luar dari enam agama “resmi” terus berupaya mengakses hak-hak kewargaannya dengan berbagai praktik dan capaiannya, namun juga dengan tantangan-tantangan yang menyertainya. Di antara persoalan yang dihadapi saat ini adalah pelaksanaan berbagai UU dan kebijakan yang dianggap belum maksimal.
Menurut Sonia Sintia, perwakilan dari Puan Hayati Kab. Bandung, ada tiga faktor yang mempengaruhi terjadinya hambatan layanan publik bagi masyarakat penghayat: (1) absennya regulasi (terkait) yang juga sebagai bentuk dari Undang-undang turunan UUD pasal 28A-J yang belum tersedia; (2) pelaksana kebijakan yang masih belum mempunyai perspektif tentang kepenghayatan; dan (3) sumber daya manusia yang berasal dari masyarakat penghayat sendiri yang belum mampu dalam mengakses pelayanan publik.
Prof. Dr. Wila Ch. Supriadi, S.H. sebagai salah satu perwakilan anggota dewan pakar MLKI dan penasihat organisasi Budi Daya yang menjadi penanggap dalam diskusi ini membuka tanggapannya dengan mengatakan bahwa “apa yang diidealkan masih jauh dari apa yang dipraktikkan (Das Sein dan Das Sollen)”. Ia mencontohkan Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2007 yang mendorong diterapkannya UU perkawinan masih cenderung problematis dalam pelaksanaannya.
Misalnya, salah satu peserta diskusi bernama Muhammad Rosyid mengungkapkan temuan pribadinya atas warga Baha’i di Pati Jawa Tengah yang mengalami hambatan teknis dalam pemenuhan hak konstitusionalnya. Ketika umat Baha’i melakukan pernikahan sesuai ajaran agamanya dan mendapat legalitas dari lembaga Baha’i, kendala ditemui ketika mengajukan permohonan pencatatan sipil untuk penerbitan akta kawin di Dukcapil Jawa Tengah dikarenakan ketiadaan petunjuk pelaksanaan (juklak). Padahal menurutnya, Kemenag sebelumnya telah menguatkan pemaknaan hak tersebut dengan menegaskan bahwa warga Baha’i juga termasuk dalam terminologi “warga negara” sesuai pada UUD pasal 2 dan 29 beserta UU No. 1/PNPS/1965, sehingga mereka pun berhak menerima pelayanan Adminduk.
Kesulitan-kesulitan untuk mengakses hak-hak kewargaan juga masih ditemui dalam hal pendidikan, sekalipun telah dijamin oleh konstitusi. Dalam pengalaman penghayat kepercayaan misalnya, Sonia mengatakan bahwa peserta didik masih belum mendapat akses pengisian kepercayaan mereka pada kolom biodata siswa dalam Data Pokok Pendidikan (DAPODIK).
Selain itu, tantangan lain terkait isu pendidikan kepercayaan adalah terbatasnya tenaga pendidik tersertifikasi. Prof. Wila, dalam hal ini, mengingatkan pentingnya suatu ekosistem pendidikan di ranah perguruan tinggi di Indonesia yang dapat mewadahi upaya pengadaan tenaga pendidik. Dengan demikian, diharapkan bahwa para lulusan itulah yang nantinya berhak menjadi SDM pendidik penghayat di kemudian hari. Tantangan ini setidaknya mulai terjawab dengan didirikannya program S1 Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Universitas 17 Agustus 1945, Semarang.
Dalam hal ekonomi, Engkus Ruswana, perwakilan dari Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), mencontohkan praktik baik pemenuhan hak yang sudah ada saat ini. Misalnya, akses pencarian lowongan pekerjaan pada instansi pemerintahan seperti TNI/POLRI yang kini telah menyediakan kolom penghayat kepercayaan pada formulir pendaftarannya, walaupun tentu saja pada praktiknya akan memerlukan penyesuaian-penyesuaian pada aturan internal instansi tersebut.
Sementara itu, sebagai penanggap, Dr. Ir. David Yama, M.Sc., Direktur pendaftaran penduduk Dukcapil merespons penyampaian Prof. Wila sebelumnya. Ia mengakui bahwa penerapan UU Adminduk, dalam rangka menindaklanjuti keputusan MK 2017 terkait kolom agama penghayat, memiliki tantangan yang sangat kompleks, apalagi dengan melihat bahwa layanan publik ini berkaitan dengan 275 juta jiwa. Lebih khusus, merujuk data Dukcapil per April 2022, jumlah warga penghayat berjumlah 126.515 warga di 37 provinsi, 391 kab/kota.
Namun demikian, ia melihat bahwa sudah banyak kemajuan yang dicapai sejak putusan MK 2017 dikumandangkan. Dr. Yama mengklaim bahwa pihak Dukcapil telah berhasil melaksanakan UU tersebut dengan mengakomodir pencatatan kependudukan penghayat kepercayaan. Menurutnya, “terlepas dari praktik-praktik yang ada di lapangan masih belum bisa maksimal dalam pelayanan Adminduknya, itu merupakan bagian dari proses, dan itu tugas yang berat”.
Efek Domino Politik Pengakuan Agama oleh Negara
Jika ditelisik lebih jauh, persoalan pemenuhan hak-hak kewargaan bagi warga di luar enam agama “resmi” termasuk penghayat kepercayaan dilatarbelakangi oleh politik agama di Indonesia. Praktik ini telah menyempitkan ruang bagi warga “non-agama” untuk turut “diakui” oleh negara dengan melanggengkan anggapan bahwa hanya ada enam “agama” (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu) “resmi” atau “diakui” di Indonesia. Politik agama semacam ini tentu tidak berlangsung di ruang hampa. Ia berkelindan dengan dinamika relasi-kuasa yang ada. Hal ini misalnya tercermin jelas dalam pengalaman warga yang bukan penganut agama “resmi”, yang memiliki sejarahnya sendiri dalam upaya mencapai rekognisi.
Haris F. D. Maula dalam “Konghucu dan Budaya Tionghoa: Pasang Surut Rekognisi” (2021) mengartikulasikan bagaimana perjalanan warga Konghucu dalam meraih pengakuan dari negara. Dinamika rekognisi Konghucu mengalami pasang surut mengikuti perkembangan iklim politik yang ada. Pada 1965 misalnya Konghucu masih diakui, tetapi pada 1973 Konghucu justru dipinggirkan dan bahkan mengalami diskriminasi. Segregasi etnis masa kolonial turut berimbas pada persepsi masyarakat terhadap masyarakat peranakan Tionghoa yang terus dilanggengkan di era Orde Baru. Konghucu sebagai agama dan hak ekspresi kebudayaan Tionghoa di ruang publik baru mendapat pengakuan kembali setelah era Reformasi.
Serupa dengan itu, K. Umbu Deta dalam “Agama Hindu dan Adat Bali: Rekognisi dan Kontestasi” (2021) mencatat pengalaman penganut agama Hindu, yang sesungguhnya merupakan salah satu dari agama-agama dunia, namun tetap memerlukan usaha ekstra untuk dapat diakui sebagai agama di Indonesia. Keterkaitannya yang erat dengan Bali sejak era pra-kemerdekaan hingga saat ini juga ikut mewarnai sejarah panjang tersebut. Model perjumpaan Hindu dan masyarakat Bali ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan pengalaman di tempat lain yang hampir selalu berujung pada konversi dari agama-lokal ke agama-dunia. Perjumpaan agama Hindu dan agama Bali justru melahirkan eksistensi agama Hindu Bali yang ada saat ini.
Pengalaman semacam inilah yang turut dialami oleh penghayat kepercayaan di Indonesia, sebagaimana diulas oleh Samsul Maarif dalam “Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia” (2017). Eksklusi dan diskriminasi yang dialami penghayat kepercayaan dan masyarakat adat (baca: penganut agama leluhur) bahkan dapat ditarik sejarahnya hingga ke era prakemerdekaan. Pembedaan dan pemisahan agama dan adat, juga agama dan kepercayaan, menjadi akar-akar historis yang melandasi politisasi istilah agama di Indonesia.
Tereksklusinya kelompok kepercayaan dari “agama” membuat mereka mesti berjuang untuk dapat diakui sebagai warga negara setara. Upaya-upaya kewargaan ini misalnya dapat dilihat mulai dari Kongres Pertama penganut aliran kepercayaan oleh Badan Koordinasi Kebatinan Indonesia pada tahun 1965 hingga pada akhirnya, dalam Judicial Review pada tahun 2017 di Mahkamah Konstitusi, ditegaskan kesetaraanya dengan “agama”.
Sebagai catatan reflektif atas diskusi FKD sesi ini, berbagai pihak perlu terus mengawal upaya kewargaan penghayat dengan ragam kemajuan dan hambatannya saat ini. Jika merujuk pada Retnowati dalam “Keterbukaan Informasi Publik dan Good Governance (antara Das Sein dan Das Sollen)” (2012), pemerintah harus menyiapkan sarana prasarana, sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dan kemauan, serta komitmen dari seluruh penyelenggara pemerintahan atau badan publik dan aparat atau komponennya, untuk mendukung pelaksanaan kebijakan dimaksud dalam terang semangat keadilan.
Dalam hal ini, penyetaraan agama dan kepercayaan sesungguhnya memberi harapan keadilan akses administrasi kependudukan bagi warganya. Namun, di lain sisi, apakah kompleksitas teknis dalam praktiknya di lapangan yang akan justru memperkecil akses pemenuhan hak kewargaan penghayat? Tantangan semacam ini tentu saja perlu ditinjau bersama secara kritis sehingga perjuangan kewargaan yang lebih esensial tidak dikesampingkan apalagi dilemahkan.
Penulis: Iman Permadi