Artikel

Antara Worldview Kematian dan Kehidupan: Belajar Ekologi dari Perempuan Adat dan Penghayat

Proyek pembangunan yang semakin marak mencederai harmoni kehidupan sosial-ekologis direspons secara kritis oleh berbagai lapisan warga, tak terkecuali perempuan adat dan penghayat. Sekalipun menjadi salah satu kelompok warga yang paling rentan disisihkan, mereka tidak tinggal diam menerima tindakan yang seringkali merugikan mereka. Lalu, bagaimana suara dan aksi mereka membentuk resistensi terhadap berbagai tindakan destruktif yang hampir selalu diwarnai dengan kekerasan tersebut?

Tulisan ini berupaya menjawab pertanyaan di atas dengan merefleksikan dua Forum Kamisan Daring (FKD) yang diselenggarakan ICIR Rumah Bersama dengan tema “Perempuan Mempertahankan Tanah, Menjaga Tradisi, Merawat Bumi” dan “Wadas adalah Kita: Ruang Hidup, Hak Warganegara, dan Solidaritas”. Dalam dua forum yang sama-sama mengangkat tema lingkungan, tiga kata kunci penting yang bisa kita temukan adalah manusia (secara khusus perempuan), spiritualitas (dalam konteks ini mengacu pada spiritualitas adat dan penghayat), dan alam. Tiga kata kunci tersebut merupakan elemen pokok dari worldview (pandangan dunia) kehidupan, yang menjadi basis resistensi nir-kekerasan kaum perempuan adat dan penghayat.

Worldview Kehidupan dan Spiritualitas Ekologis

Dalam kerangka worldview kehidupan, tergambar satu relasi erat antara manusia, alam, dan spiritualitas. Manusia diposisikan sebagai entitas yang memiliki kesadaran kosmik sehingga mampu membangun relasi yang harmonis dengan alam. Di sisi lain, alam diposisikan sebagai entitas yang memiliki sakralitasnya secara inheren dan bukan semata sebagai “raw material” (bahan mentah) yang dapat dieksploitasi tanpa batas. Sedangkan spiritualitas adalah suatu cara hidup yang melaluinya manusia dan alam dapat dihubungkan sedemikian rupa dalam satu relasi spiritual.

Dalam forum tersebut manifestasi dari worldview kehidupan ini misal tercermin dari kisah Nanda Shelly dan juga Sinta Juwita yang merupakan anggota dari Puan Hayati Jawa Barat. Shelly menjelaskan salah satu kegiatan rutin yang dilakukannya sebagai bagian dari perempuan penghayat ialah “Ngaruwat” atau “Ruatan Lembur,” yang bermakna kegiatan penanaman bambu beserta pohon yang beraneka ragam di lingkungan tempat sumber mata air. Sisi spiritualitas dari kegiatan ini sangat kental karena dimaksudkan sebagai bentuk syukur terhadap karunia Tuhan yang telah memberikan kehidupan dan berbagai sumber hidup yang menopang kehidupan berbagai makhluk termasuk manusia.

Senada dengan Shelly, Juwita juga menjelaskan bahwa dalam pandangan penghayat, alam bukan sekadar tempat untuk hidup tetapi juga menjadi penopang hidup (misal kesuburan tanah dan iklim yang menunjang kehidupan). Dengan kata lain ada semacam dependensi eksistensial manusia kepada alam di sekelilingnya. Tanpanya, manusia tidak dapat eksis atau kesulitan untuk menjalani kehidupan. Juwita kemudian memaparkan sejumlah dampak jika alam sebagai penopang hidup ini rusak, khususnya dalam kaitannya dengan perempuan dan anak. Perempuan misalnya akan kehilangan sumber mata air, pekerjaan, dan sumber daya pengetahuan seperti keterampilan seni gerabah/tembikar. Sedangkan bagi anak, mereka akan kehilangan ruang hidup dan kemudian tumbuh tanpa memiliki relasi intim dengan alam.

Kisah Shelly dan Juwita ini juga serupa dengan kisah yang diceritakan oleh Isnah Ayunda yang merupakan anggota komunitas adat di Kalimantan Timur (PPMAN Paser Kaltim). Ia menjelaskan bahwa kehidupan masyarakat (dan perempuan) adat tidak bisa dilepaskan dari alam yang melingkupinya (hutan, laut, dan sungai). Dalam bahasa Ayunda, ia menggambarkan hutan sebagai darah dan daging yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Alam ini secara luas dipandang sebagai berkah dari Tuhan dan telah dijaga sedemikian rupa oleh para leluhur sehingga sebagai generasi penerus ia mesti memegang tongkat estafet penjagaan tersebut. Kembali lagi kita temukan bahwa relasi antara manusia, alam, dan spiritualitas yang amat kuat dalam cara pandang semacam ini.

Desakralisasi Alam dan Manusia dalam Worldview Kematian

Selain worldview kehidupan yang inheren dalam kehidupan masyarakat (termasuk di dalamnya perempuan) adat dan penghayat, pada diskusi tersebut kita juga temukan satu worldview “tandingan” yang mengancam kehidupan perempuan adat, penghayat, dan juga masyarakat secara luas dalam bentuk pembangunan yang nir-ekologis dan juga nir-kemanusiaan. Bisa dikatakan logika pembangunan tersebut tidak dapat dilepaskan dari fondasi filosofis berupa worldview kematian.

Disebut kematian karena berlawanan dengan worldview kehidupan yang merekognisi kelestarian alam dan juga sesama manusia. Worldview ini melihat alam dan manusia sebagai entitas yang “tidak memiliki sakralitas” sehingga ia tidak terlalu peduli terhadap kerusakan lingkungan atau kesengsaraan bahkan kematian manusia. Alam tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang “sakral” tetapi sekadar “raw material” yang siap untuk dieksploitasi. Sedangkan manusia tidak lebih sebagai “sekrup” yang menopang proses produksi dan konsumsi—di pabrik sebagai para pekerja dan di pasar sebagai para konsumen.

Jika merujuk pada penjelasan Hossein Nasr dalam karyanya Man and Nature (1968) dan juga Vandana Shiva dalam tulisannya Reductionist Science as Epistemological Violence (1988)—keduanya merupakan sosok environmentalis kenamaan— worldview kematian ini memiliki akar pada paradigma sains modern yang dibangun di atas fondasi Newtonian. Paradigma Newtonian melihat entitas di alam ini terpisah-pisah dan tidak ada kaitan satu sama lain (atomistik). Dengan demikian, antara manusia dan alam tidak ada relasi apa pun. Lebih jauh, paradigma Newtonian ini melihat baik manusia dan alam tidak memiliki dimensi sakralitas apa pun sehingga nilai yang kemudian berlaku adalah nilai instrumental semata. Shiva menambahkan bahwa  paradigma Newtonian ini sebenarnya sudah “kedaluwarsa” secara akademik, namun ia tetap hidup karena ditopang oleh kuasa kapitalisme. Kapitalisme membutuhkan paradigma ilmiah semacam ini untuk bertahan karena tanpanya kapitalisme tidak akan eksis.

Resistensi Nir-Kekerasan Perempuan Adat dan Penghayat

Tidak mengherankan, bahwa dengan basis filosofis yang begitu bertentangan secara diametral, perempuan adat dan penghayat—serta masyarakat lain secara umum—rentan “dilindas” oleh worldview kematian. Akan tetapi menariknya perempuan adat dan penghayat justru mampu memosisikan dirinya sebagai agen terdepan dalam upaya melawan penetrasi worldview kematian tersebut ke berbagai wilayah di Indonesia dengan “menumpangi” (sebagai landasan dari) aneka proyek pembangunan. Menariknya, ketika melakukan upaya resistensi terhadap worldview kematian, dapat dikatakan perempuan adat dan penghayat menggunakan strategi yang khas sebagai manifestasi dari worldview mereka.

Berbeda dengan worldview kematian yang cenderung tidak segan menggunakan aksi kekerasan dengan meminjam tangan aparatur negara, apa yang dilakukan oleh Srikandi Kendeng misalnya—sebagaimana dituturkan oleh Ali Ja’far yang merupakan penanggap dalam FKD—memilih melakukan aksi duduk-duduk di lokasi pertambangan sehingga menghalangi akses masuk keluar area tersebut. Menurut Ja’far meskipun aksi tersebut terlihat “lemah” namun buktinya aparat keamanan justru banyak yang merasa tersentuh dengan perjuangan ibu-ibu di sana.

Dengan kata lain, aksi yang khas dibangun di atas fondasi worldview kehidupan bukan bermaksud menegasikan lawan melainkan usaha melunakkan hati pihak-pihak yang berseteru dengannya sehingga mampu memandang persoalan secara jernih. Ini adalah sebuah aksi perlawanan yang menarik sekaligus menggambarkan bahwa perbedaan worldview dapat mempengaruhi tindakan seseorang. Dalam kasus Srikandi Kendeng, apa yang mereka lakukan sebenarnya adalah act of life (tindakan kehidupan) dan act of love (tindakan kasih sayang), bukan act of death (tindakan kematian).

Tindakan khas semacam inilah yang juga kita dapati pada kasus Vandana Shiva misalnya yang melawan kerusakan lingkungan di India dengan cara mengampanyekan bibit organik yang ramah lingkungan dan ramah pada manusia (tidak mencekik secara harga). Begitu pula Hossein Nasr yang berupaya mengembangkan proyek sains sakral lewat proses edukasi. Bagi Nasr, proyek sains sakral ini mutlak diperlukan dalam upaya menggeser paradigma sains modern yang cenderung “mendegradasi” alam dan manusia menjadi sekedar obyek yang tidak memiliki makna intrinsik-kualitatif apa pun ke paradigma baru yang memberi penghargaan pada sakralitas alam dan manusia. Tidak ada kesan tindak kekerasan dan negasi terhadap pihak yang lain dari dua strategi pro lingkungan yang dikembangkan Shiva dan Nasr.

Dapat disimpulkan bahwa worldview kehidupan akan menghasilkan ragam tindakan yang ramah terhadap manusia dan alam. Sebaliknya, worldview kematian akan menghasilkan tindakan yang sewenang-wenang, termasuk dalam hal ini kepada perempuan adat dan penghayat. Kita juga bisa belajar dari FKD tersebut bahwa meskipun dalam keadaan “termarginalkan” namun worldview kehidupan itulah yang membuat para perempuan adat dan penghayat baik di Kendeng, Wadas, Kalimantan, dan berbagai lokasi lain dapat melakukan resistensi yang dibangun di atas spirit life and love. Dengan demikian, melalui upaya resistensi tersebut kita justru semakin terdorong untuk peduli dan membangun solidaritas terhadap perjuangan mereka yang pada hakikatnya adalah perjuangan untuk kita semua sebagai warga penghuni bumi yang satu ini.


Penulis: Nuruddin Al Akbar

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Lihat Juga
Close
Back to top button