Artikel

Pendidikan Kepercayaan dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia: Antara Alienasi dan Signifikansi

Penghapusan pendidikan kepercayaan dari Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU SISDIKNAS) merupakan langkah mundur dalam upaya pemenuhan hak-hak kewargaan penghayat, yang sesungguhnya telah terjamin dalam konstitusi. Antonius Ferry Timur (Direktur Yayasan Abisatya Yogyakarta) mengatakan bahwa pendidikan kepercayaan mestinya dijadikan sebagai sumber pendidikan nasional, sejalan dengan keputusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang menegaskan kesetaraan kepercayaan dan agama, serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 27 tahun 2016 tentang layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada satuan pendidikan.

Dalam Forum Kamisan Daring (FKD) bertajuk “Pendidikan Inklusif bagi Penghayat Kepercayaan & Masyarakat Adat” yang secara khusus membahas tentang RUU SISDIKNAS, Samsul Maarif mengatakan bahwa dihapusnya pendidikan kepercayaan dalam RUU tersebut menunjukkan bahwa negara masih gagal mengakui kehadiran kelompok agama leluhur dan memenuhi hak konstitusional mereka sebagai warga negara sebagaimana ditegaskan dalam putusan MK 2016.

Kendatipun RUU ini pada akhirnya tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023, persoalan penghapusan tersebut penting untuk dibahas karena ia sesungguhnya merepresentasikan persoalan eksklusi dan diskriminasi yang telah menyejarah dalam pengalaman penganut agama leluhur. Dengan menggunakan konsep pendidikan dari Ivan Illich, tulisan ini berargumen bahwa pengabaian pendidikan kepercayaan dari RUU SISDIKNAS merupakan bentuk alienasi warga dan pengetahuannya, yang sesungguhnya penting untuk direkognisi demi menjawab persoalan-persoalan sosiokultural yang ada.

Masyarakat sebagai Basis dan Orientasi Pendidikan

Dalam bukunya Deschooling Society (1973), Ivan Illich mengkritisi peran sekolah bagi perubahan tatanan masyarakat. Illich percaya bahwa sekolah yang tidak memberi ruang bagi kebebasan berpikir kritis justru menciptakan polarisasi dan alienasi antar komunitas.  Pola alienasi tersebut dimulai saat pemerintah atau penguasa menciptakan sistem sekolah yang berorientasi menciptakan pekerja dan bukan kebutuhan pendidikan bagi persoalan konkret di tengah masyarakat seperti buta huruf dan kemiskinan. Alhasil, alih-alih membawa dampak positif bagi penyelesaian persoalan nyata bagi masyarakat, sekolah justru mengalienasi masyarakat dari tantangan hidup mereka sendiri karena sistem sekolah dirancang untuk memenuhi kebutuhan industri dan kapitalisme yang dimotori oleh penguasa.

Ivan Illich kemudian mengembangkan gagasan yang ia sebut deschooling society—atau “budaya masyarakat pembelajar”—sebagai kritik atas monopoli pendidikan yang terjadi dalam konteks Amerika Latin di masanya. Bagi Illich, pendidikan adalah proses belajar untuk kehidupan yang tidak bisa dibatasi hanya pada ruang kelas dan gedung sekolah. Dunia keseharian juga adalah sumber ilmu dan pendidikan bagi setiap orang. Namun seburuk-buruknya sekolah, keberadaannya tetap memiliki peran bagi perkembangan pendidikan.

Untuk mencapai cita-cita budaya masyarakat pembelajar, Illich mendesak agar pemerintah dan masyarakat secara organis membangun budaya pendidikan yang dia sebut  jaringan pembelajaran (learning web). Secara sederhana, jaringan pembelajaran a la Ivan Illich merujuk kepada suatu kondisi di mana sistem pendidikan terselenggara secara resiprokal antara sekolah dan masyarakat. Jaringan pembelajar dapat terjadi hanya jika sekolah menyediakan kurikulum dan pendidikan yang paham akan kebutuhan dan pengetahuan sosial yang ada di tengah masyarakat. Karenanya, sekolah bukan merujuk pada nama benda melainkan kata kerja. Lebih tepatnya, relasi saling belajar antara masyarakat dapat terselenggara di mana dan kapan saja tanpa naungan institusi bernama “sekolah”.

Alienasi Warga melalui Politik Pendidikan

Dengan menggunakan perspektif Illich, penghapusan Pendidikan Kepercayaan dalam RUU SISDIKNAS sesungguhnya adalah bentuk alienasi terhadap penganut agama leluhur, yang di antara dampaknya adalah; pertama, pendidikan kepercayaan tidak akan diterima sebagai sumber ‘pengetahuan’ yang relevan dalam menjawab tantangan sosial-kemasyarakatan di Indonesia. Padahal, pengetahuan agama leluhur misalnya sangat signifikan peranannya dalam pendidikan lingkungan hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh Lakoat.Kujawas di Nusa Tenggara Timur dan Sokola Rimba di Jambi.

Kedua, Kemendikbud secara sadar telah melahirkan sebuah sistem pendidikan yang membatasi hak kewargaan penganut agama leluhur untuk mendapatkan layanan pendidikan. RUU tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi, yaitu UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 yang menyatakan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan. . .”

Ketiga, Kemendikbud telah ikut serta dalam melakukan diskriminasi terhadap kelompok penghayat kepercayaan dan masyarakat adat dengan menciptakan sistem pendidikan yang memaksa mereka untuk mempelajari pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama mereka. Kasus seperti ini misalnya terjadi pada murid di SMK Negeri 7 di Semarang yang diwajibkan untuk mengikuti shalat yang bukan merupakan ajaran kepercayaannya.

Signifikansi Pendidikan Kepercayaan

Dalam FKD bertajuk “Pendidikan Kepercayaan & Masa Depan Regenerasi Penghayat Kepercayaan”, Makrus Ali menyampaikan bahwa pengakuan terhadap pendidikan kepercayaan harus dipertahankan dalam rancangan sistem pendidikan nasional agar upaya regenerasi pengetahuan dan eksistensi masyarakat agama leluhur sebagai bagian penting dari masyarakat Indonesia terus dapat dilestarikan. Dengan begitu, akan tercipta—meminjam istilah Illich—masyarakat dan sekolah sebagai jaringan pembelajaran.

Kebijakan sistem pendidikan di Indonesia kemudian hadir bukan untuk melanggengkan diskriminasi dan alienasi terhadap agama leluhur, melainkan menjadi alat bantu dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, sekolah menjadi lembaga yang mendukung regenerasi dan reaktualisasi peran pendidikan kepercayaan yang besar signifikansinya dalam merespons isu-isu sosial-ekologis terkini. Dengan menginklusinya dalam sistem pendidikan, komunitas agama leluhur juga, perlahan tapi pasti, akan diakui sebagai sumber pengetahuan yang memiliki kontribusi signifikan dalam menjawab persoalan sosial-kemasyarakatan di Indonesia.

Seiring dengan proses redistribusi pendidikan kepercayaan dalam politik pendidikan nasional, diskriminasi terhadap pendidikan dan pemeluk agama leluhur di Indonesia, baik yang datang dari negara maupun sesama warga, akan perlahan memudar. Semua itu dapat direalisasikan, pertama-tama melalui kehadiran rancangan undang-undang pendidikan yang menginklusi materi pengetahuan agama leluhur dengan pendidikan kepercayaan sebagai salah satu bentuknya.


Penulis: Jear Nenohai

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button