FKD 2023Forum Kamisan DaringProgram

Merefleksikan Ulang Hubungan Manusia dengan Alam dalam Bingkai Agama Leluhur

Isu mengenai perubahan iklim kian menjadi sentral dan mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Perubahan iklim dimaknai sebagai sebuah tantangan bagi umat manusia sekaligus mempertanyakan kembali hubungan manusia dengan alam. Kerusakan lingkungan yang terjadi seperti pemanasan global, kekeringan, sampai krisis pangan yang merupakan dampak perubahan iklim menjadi persoaalan yang perlu penyelesaian. Tak hanya kalangan saintis, pemerhati lingkungan, dan pembuat kebijakan, kelompok agamawan—tak terkecuali agama leluhur—turut serta dalam merespon persoalan tersebut. Hal ini menunjukan bahwa tantangan akan krisis iklim tidak mengenal batas-batas perbedaaan identitas. Artinya, setiap orang yang terdampak atas perubahan-perubahan yang terjadi harus bekerja sama dalam upaya penyelamatan lingkungan.

Dengan memahami bahwa isu tersebut menjadi permasalahan bersama, pelibatan agama leluhur menjadi penting karena mereka memiliki pengetahuan dan praktik kepercayaan yang tidak terlepas dari keterhubungan dengan alam. Forum Kamisan Daring (FKD) episode ke-6 pada 13 April 2023 mengundang penganut agama leluhur untuk merespon terkait isu perubahan iklim dalam tajuk “Tantangan Krisis Iklim bagi Penganut Agama Leluhur”. Dalam sesi tersebut Febrianus Kori (Komunitas Binua Sunge Samak Dayak Kanayat’n) dan Renita Kusuma (Aliran Kebatian Perjalanan) membagikan pandangannya terhadap isu perubahan iklim mewakili komunitas masyarakat adat dan penghayat kepercayaan. Penanggap dalam diskusi ini yakni Rangga Kala Mahaswa dari Departemen Filsafat UGM dan moderator yakni Karunia Haganta dari Antropologi UI.

Di awal diskusi, Febrianus Kori membuka dengan membahas mengenai realitas krisis iklim itu sendiri. Menurutnya, dalam konteks keterkaitan krisis iklim dan agama leluhur, kebijakan publik menjadi satu hal yang krusial karena merupakan satu bentuk kuratif yang harus dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam usahanya untuk mengadvokasi masalah-masalah yang dialami oleh penganut kepercayaan. Hal ini dihadapkan dengan persoalan lebih besar yang tejadi yakni keterpinggiran penganut agama leluhur baik dari aspek identitas maupun haknya sebagai warga negara. Maka dari itu, penting bagi kita semua untuk dapat memahami persoalan di atas secara menyeluruh. Di samping itu, Febri menambahkan bahwa hal lain yang juga penting untuk dicermati adalah keberadaan tiga pilar hukum adat (manusia-alam-pencipta). Apabila ketiga pilar ini hilang ataupun rusak maka akan menjadi masalah dan tantangan yang lebih besar bagi penganut agama leluhur dalam persoalan krisis iklim.

Bagi Febri, membahas persoalan krisis iklim berarti merujuk pada akar di mana hal tersebut berasal dari tereduksinya relasi manusia dengan alam. Febri menyampaikan bahwa salah satu contoh yang mudah kita lihat terkait kehadiran alam di kehidupan manusia khususnya masyarakat adat adalah dalam pemanfaatan hutan. Menurutnya, hutan dapat dianalogikan sebagai pelindung bagi masyarakat adat yang hidup di sekelilingnya. Masyarakat adat dalam hal ini memiliki nilai-nilai yang amat erat dengan pemeliharaan lingkungan, salah satunya dengan menjaga kelestarian hutan. Jika kita pahami bersama, alam menjadi entitas yang penting bagi masyarakat adat. Oleh karenanya, perspektif masyarakat adat sangat signifikan untuk disertakan dalam pembuatan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan.

Selain bagi masyarakat adat, alam sama esensialnya bagi penghayat kepercayaan. Retina Kusuma mencoba untuk menyoroti pada aspek-aspek yang jarang dilihat seperti kurangnya edukasi masyarakat mengenai pengetahuan-pengetahuan kepenghayatan sebagai dasar yang mengajarkan keterhubungan manusia dengan alam. Menurutnya, hal tersebut secara tidak langsung menyebabkan masyarakat secara umum menjadi abai pada kondisi lingkungan di sekitarnya. Padahal, sudah sejak lama masyarakat Indonesia mengenal tradisi sedekah bumi yang merupakan bentuk usaha untuk melindungi, merawat, dan melestarikan alam. Penghayat kepercayaan meyakini sedekah bumi bukan hanya sebuah seremoni karena di dalamnya mengandung nilai-nilai luhur seperti nilai religius, sosial, dan budaya sebagai bentuk penghormatan dan rasa terimakasih kepada alam, leluhur, dan keberkahan.

Menanggapi pemaparan materi sebelumnya, Rangga Mahaswa menempatkan fokus pada beberapa hal yang telah disampaikan oleh kedua narasumber. Rangga berpendapat bahwa dari apa yang telah disampaikan dapat ditarik satu garis lurus bahwa krisis iklim merupakan isu universal namun dampaknya partikular dan perspektival. Artinya, isu krisis iklim selalu berkelindan dengan masalah lain. Rangga menilai isu mengenai krisis iklim juga tidak dapat dipahami dengan persepektif tunggal, ia mencontohkan perbandingan isu iklim di Eropa yang mungkin berbeda dengan isu iklim di Asia Tenggara. Selanjutnya, ia menawarkan beberapa perspektif yang dapat digunakan untuk memahami isu krisis iklim, yakni melalui pendekatan sains, sosiologis, psikologis dan filosofis.

Sementara dalam kaitannya dengan agama leluhur, persoalan yang menjadi perhatian di antarnya seperti advokasi hukum adat serta rekognisi masyarakat adat dan penghayat kepercayaan. Peminggiran agama leluhur menyebabkan pergeseran terhadap pemaknaan tradisi-tradisi yang ada di masyarakat, termasuk praktik yang menjaga keterhubungan dengan alam. Rangga kemudian kembali menegaskan keutamaan tiga pilar hukum adat yang tidak dapat dipisahkan secara biner dan harus dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh untuk kembali menyadarkan masyarakat luas dalam memelihara lingkungan.

Konsep lainnya yang dipaparkan Rangga adalah wacana antroposen. Secara sederhana wacana antroposen menurut Rangga merupakan epoch yang memaknai manusia sebagai subjek sekaligus sebagai objek geologis. Lebih lanjut bahwa manusia menempatkan dirinya juga sebagai ‘korban’ dari ketidakadilan lingkungan. Wacana ini kemudian menjadikan manusia untuk mengubah, mengalienasi, mentranformasi struktur geologi menjadi satu dunia yang ‘tersituasikan’ secara berbeda. Dalam persoalan krisis iklim, antroposen menjadi harapan sekaligus ketakutan kolektif. Harapan yang dimaksud adalah ketika muncul generasi muda yang mulai sadar untuk mengelola alam dan diri mereka sendiri. Sedangkan akan menjadi ketakutan ketika apa yang mereka usahakan tidak mampu menangani krisis yang terjadi.

Berdasarkan penjelasan para narasumber dan penanggap, terdapat beberapa poin penting yang perlu diperhatikan yakni bahwa penting bagi kita untuk mulai memikirkan ulang hubungan manusia dan alam—termasuk dengan ‘sang pencipta’. Dengan kata lain, isu mengenai hubungan manusia dengan alam selalu merujuk pada bagaimana hubungan manusia dengan segala yang ada di luar manusia. Poin selanjutnya yang juga perlu diperhatikan adalah dengan kita menelusuri kembali tentang keberagaman pengetahuan lokal—pemahaman pluriversal—terkait interaksi manusia dengan alam. Jika kita masih menganggap manusia dan alam sebagai entitas yang terpisah-pisah, maka kita masih terjebak dalam logika Cartesian yang hanya melihat selain manusia sebagai obyek. Terakhir, dengan berbagai tantangan yang dihadapi, masyarakat adat dan penghayat kepercayaan tetap hadir memberi gagasan alternatif melalui nilai-nilai ekologisnya untuk penyelesaian isu krisis iklim.


Penulis: Ahmad Makmun Khodori

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button