Gerakan Perempuan Agama Leluhur: Peran dan Resiliensi
Setelah menunaikan 23 episode FKD 2023, episode terakhir FKD di tahun ini melihat bagaimana adaptasi dan strategi yang dilakukan masyarakat Adat atau penganut Agama Leluhur dalam menghadapi pembatasan terhadap peran perempuan serta bernegosiasi dengan nilai-nilai yang cenderung membatasi gerak perempuan. Narasumber dalam FKD kali ini, baik Gispa Ferdinanda dari Pemuda Adat Doberay ataupun Rambu Dai Mami dari Sumba, sama-sama berbagi cerita mengenai pengalaman-pengalaman mereka dalam menghadapi kedua hal tersebut.
Pengalaman Perempuan Suku Mpur
Di banyak masyarakat Adat, peran perempuan dibentuk dan dibatasi oleh tradisi patriarki yang sudah berlangsung lama. Hal ini seperti diceritakan oleh Gispa, bahwa perempuan Suku Mpur di wilayah Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya sering kali terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan yang disebut Tikar Adat.
“Tikar Adat itu suatu musyawarah besar untuk mengambil suatu keputusan bersama. Kami perempuan tidak diizinkan untuk bahkan ada dalam radius kurang lebih 1 km dari tempat dibuatnya Tikar Adat tersebut.”
Gispa juga menuturkan bahwa ketika seorang perempuan ingin menyampaikan kekesalan atau keluh kesah harus melalui figur laki-laki dalam rumah mereka baru bisa disampaikan kepada Kepala Marga. Hal ini semakin memudarkan gagasan yang ingin disampaikan perempuan Suku Mpur mengingat dalam satu suku terdapat banyak sekali marga, di mana setiap marga terdiri dari setidaknya 20 rumah tangga sehingga apa yang semula ingin disampaikan oleh perempuan bagi kepentingan adat atau lingkungannya sendiri belum tentu dianggap penting. Karenanya, pikiran dan perasaan perempuan Suku Mpur hanya terbatas pada tembok rumah.
Situasi ini semakin buruk bagi perempuan yang menjadi janda. Dalam banyak kasus, para janda kehilangan hubungan mereka dengan keluarga suami mereka bahkan keluarga mereka sendiri. Mereka menjadi “tidak terlihat” secara sosial, terpinggirkan, dan tidak memiliki forum untuk mengekspresikan kebutuhan mereka. Tanpa kerabat laki-laki untuk memperjuangkan mereka, suara mereka semakin ditekan, menggambarkan betapa gentingnya posisi perempuan dalam masyarakat patriarki.
Padahal, perempuan Adat memainkan peran utama dalam menopang komunitas. Secara tradisional, perempuan dipandang sebagai pemberi kehidupan dan pengasuh, yang sangat erat kaitannya dengan Bumi, yang juga menyediakan makanan dan perlindungan. Dalam rumah tangga misalnya, perempuan menyiapkan makanan, merawat kebun, dan menyediakan makanan sehari-hari yang dibutuhkan untuk bertahan hidup.
Pengalaman Perempuan Adat Sumba
Tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan Gispa, Rambu juga menyampaikan kisahnya tentang perempuan Adat di Sumba. Peran perempuan Adat di Sumba telah lama diwarnai oleh berbagai lapisan tanggung jawab, baik dalam kehidupan domestik maupun sosial. Perempuan Sumba, khususnya mereka yang tinggal di daerah pedesaan terpencil, secara tradisional dihadapkan pada tanggung jawab domestik yang sangat besar. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak perempuan Adat menjalani tugas yang sudah dianggap umum di masyarakat seperti memasak, mencuci, dan mengurus rumah, sementara peran laki-laki sering kali berfokus pada urusan ekonomi atau kegiatan lain di luar rumah. Sayangnya, budaya patriarki masih sangat kuat mengakar, menyebabkan peran perempuan Adat kerap kali terbatas pada wilayah domestik yang dianggap “kodrat perempuan.”
Meski demikian, perspektif mengenai peran perempuan di Sumba tidaklah sepenuhnya mengabaikan posisi dan kehormatan mereka. Dalam pandangan Adat Sumba, perempuan kerap dianggap sebagai pelindung alam. Hal ini terlihat dari praktik tenun menggunakan pewarna alami, di mana perempuan menjaga kelestarian tanaman yang menghasilkan pewarna untuk memastikan keseimbangan alam. Dalam budaya ini, tanah bahkan sering disimbolkan sebagai “ibu” yang melahirkan dan menopang kehidupan, memperkuat filosofi bahwa perempuan merupakan sumber kehidupan yang tak tergantikan.
Terkikisnya Nilai-Nilai Adat dan Peran Perempuan: Dampak Kolonialisme dan Modernisasi
Seiring waktu, khususnya di wilayah yang memiliki akses lebih mudah terhadap informasi, pelatihan, dan pendidikan tentang kesetaraan gender, telah terjadi perubahan pandangan terhadap peran perempuan Adat. Lewat pelatihan ini, perempuan-perempuan petani dan penenun dilatih untuk menyampaikan pendapat mereka dan meraih kesempatan untuk lebih terlibat dalam peran kepemimpinan. Tantangan tentu ada; perempuan kerap harus meninggalkan anak di rumah dalam upaya untuk belajar lebih jauh, meski ini sering menimbulkan ketidaknyamanan bagi para suami.
Terkait kedua pengalaman yang telah disampaikan sebelumnya, Akhol Firdaus dari IJIR UIN SATU Tulungagung memberi tanggapan dengan menengok kembali tradisi lisan yang kaya dari masyarakat adat di Papua, Sumba, dan di seluruh Nusa Tenggara Timur (NTT) yang telah lama menghargai perempuan secara simbolis, sering kali mengaitkannya dengan alam, peran sebagai ibu, dan kehidupan itu sendiri. Ia menceritakan pengalaman emosional dari perjalanannya di Sentani dan Kepulauan Solor, di mana adat istiadat setempat memandang makanan pokok, seperti sagu dan biji-bijian, sebagai sesuatu yang sangat terkait erat dengan simbolisme perempuan dan pengorbanan ibu.
Ia membahas kepercayaan masyarakat Solor yang memuliakan perempuan sebagai simbol dan pemimpin spiritual. Hal ini menggambarkan bagaimana, secara tradisional, banyak agama adat Indonesia menghormati dan menghargai perempuan dengan cara yang tidak memaksakan superioritas laki-laki. Ia mengamati bahwa kepemimpinan perempuan sering kali menonjol dalam praktik spiritual adat, dengan memperhatikan peran pemimpin perempuan dalam komunitas agama lokal, seperti Sapta Dharma di Jawa.
Sayangnya, pergeseran historis telah meminggirkan perempuan dari peran pengambilan keputusan dalam masyarakat Adat. Di banyak komunitas, perempuan kini dilarang berpartisipasi dalam diskusi penting atau memasuki ruang sakral, sehingga suara mereka tidak didengar. Ia mengaitkan pergeseran ini dengan pengaruh eksternal, seperti feodalisme, kolonialisme, dan pembangunan modern, yang memperkenalkan dan melembagakan norma-norma patriarki yang mengikis rasa hormat tradisional terhadap peran perempuan.
Menurut Akhol, patriarki menjadi lebih mengakar pada abad ke-19, selama periode kolonial Belanda, yang memaksakan struktur sosial yang mengabaikan peran tradisional perempuan. Pengaruh ini meluas ke era pascakolonial Indonesia, dengan kebijakan modern yang melembagakan norma-norma kolonial tersebut. Ia berpendapat bahwa campur tangan eksternal ini mengganggu sistem pangan lokal, praktik spiritual, dan, akhirnya, rasa hormat masyarakat terhadap perempuan.
Di Sentani, misalnya, pengetahuan tradisional dan varietas sagu—makanan yang dulunya penting bagi kehidupan masyarakat—telah berkurang karena dorongan untuk mengonsumsi beras. Pergeseran ini tidak hanya melemahkan ketahanan pangan lokal tetapi juga merusak penghormatan budaya yang mendalam terhadap sagu dan, sebagai akibatnya, peran perempuan dalam masyarakat ini. Hilangnya sagu merupakan simbol dari pergeseran budaya yang lebih besar, yang mengurangi status perempuan dan nilai-nilai adat yang pernah menopang hubungan masyarakat yang harmonis.
Simak tayangan selengkapnya:
Kontributor: Puja Alviana Dewantri