Forum Kamisan DaringForum Kamisan daring 2024Program

Kelompok Rentan di Persimpangan Pengakuan: Mencari Kesetaraan di Tengah Diskriminasi

Absennya pengakuan yang rekognitif terhadap kelompok rentan menjadi salah satu problem akut yang masih bercokol di negara ini. Padahal, Indonesia sendiri telah mengadopsi beberapa regulasi, misalnya Kovenan International tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (UNCPRD), yang orientasi utamanya adalah untuk mengakui sekaligus meminimalisasi diskriminasi terhadap kelompok rentan.

Sayangnya, beberapa kelompok rentan seperti penghayat kepercayaan dan kelompok difabel meskipun secara hukum sedikit banyak telah direkognisi, pengakuannya masih tampak setengah hati. Hal ini terlihat, misalnya, ketika pelayanan terhadap penghayat yang cenderung dipersulit dalam mengurus administrasi-administrasi publik, seperti kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Tidak berhenti di situ, pada level sosial, dua kelompok ini juga kerap mengalami stigma peyoratif (bagi penghayat) dan stigma ableisme (bagi penyandang disabilitas), yang menyebabkan mereka cukup sulit berpartisipasi secara maksimal dalam masyarakat.

Pada gilirannya, fenomena tersebut, dengan kata lain, mengungkap adanya proses eksklusi sosial yang berlapis terhadap kedua kelompok rentan tersebut. Ruth Levitas dkk., dalam “The Multi-Dimensional Analysis of Social Exclusion,” (2007) berpendapat bahwa eksklusi sosial tidak hanya membincang kurangnya akses terhadap sumber daya atau hak seseorang, tetapi juga mencakup ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan dan hubungan yang dianggap normal atau umum di masyarakat. Eksklusi ini, dalam praktiknya, bisa terjadi di pelbagai sektor, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, hingga politik.

Di antara tumpukan eksklusi yang serba berlapis tersebut, muncul pertanyaan, mungkinkah kelompok-kelompok rentan tetap eksis, dan bagaimana cara mereka bertahan dalam situasi yang penuh keterbatasan?

Dalam Forum Kamisan Daring ICIR seri ke-10 (19/9/2024), Tuti Alawiyah dari Yayasan Difabel Mandiri Indonesia (YDMI) Tangerang dan Sasmito Gati dari Paguyuban Eklasing Budi Murko mencoba mengartikulasikan berbagai praktik baik yang mereka lakukan untuk memperjuangkan hak-haknya. Meskipun secara akses, kelompok difabel dan penghayat kerap tidak sepenuhnya terfasilitasi dan dikucilkan, mereka tidak patah arang mencari jalan alternatif lain untuk memperkuat posisi mereka di tengah sistem yang sering kali tidak inklusif. Apa saja yang telah mereka lakukan?

Dari Objek Pasif Menjadi Aktor Aktif

Di kalangan kelompok difabel, langkah pertama yang diambil adalah dengan mengambil peran aktif dalam beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Inisiatif ini muncul bukan tanpa alasan, karena sebagaimana diungkapkan Tuti, eksklusi yang ia alami justru semakin rumit jika mereka menutup diri dari lingkungan. Atau dengan kata lain, keterlibatan langsung mereka mengandaikan bahwa keterbukaan dan interaksi yang positif, pada momentum tertentu, dapat meminimalisasi stigma yang ia hadapi.

Saat ini, terutama dalam konteks Indonesia, seperti diungkap Isnenningtyas Yulianti, dkk., (2022) persoalan mendasar tentang kelompok difabel adalah melihat isu ini sebagai “persoalan sosial,” yaitu menganggap penyandang difabel sebagai objek pasif yang tidak bisa berbuat apa-apa dan butuh belas kasihan. Artinya, cara pandang demikian, alih-alih berpihak terhadap mereka, justru secara tidak langsung turut melanggengkan eksklusi sosial terhadap mereka; aktivitas penyandang disabilitas dipandang tidak setara dan diperlakukan secara berbeda dibandingkan dengan mereka yang non-disabilitas.

Masalah seperti itulah yang coba dihempas Tuti melalui keterlibatannya di YDMI. Ia menegaskan bahwa perjuangannya di YDMI bukan untuk meminta belas kasih pemerintah, melainkan mengajak mereka berkolaborasi agar lebih memahami kebutuhan kelompok difabel. Sayangnya, pemerintah sering kali salah paham, mengarahkan organisasi disabilitas ke Dinas Sosial, seolah-olah hak-hak mereka hanya terkait isu sosial.

Padahal, banyak aspek lain yang perlu diperjuangkan, seperti akses pendidikan dan kesempatan kerja. Melalui YDMI, Tuti ingin membuktikan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang setara dengan non-disabilitas. Sebagai buktinya, ia berhasil menginisiasi sekolah inklusi di Kota Tangerang. Secara implisit, ini mengindikasikan bahwa kolaborasi yang tepat sekaligus melibatkan kelompok difabel sebagai aktor dapat menghasilkan perubahan nyata.

Secara tidak langsung, apa yang dilakukan oleh Tuti bersama dengan YDMI ini tidak lain adalah upaya untuk menggeser “paradigma sosial,” yang cenderung diskriminatif terhadap kelompok difabel, dengan paradigma lain yang sejalan dengan kerangka HAM. Melalui kerangka HAM ini, yang ingin ditekankan adalah bahwa penyandang disabilitas tidak melulu hanya dipandang sebagai objek yang pasif, melainkan juga dilibatkan sebagai aktor aktif yang memiliki hak, kemandirian, dan kontrol penuh atas hidup mereka.

Dalam paradigma ini, keterlibatan mereka dalam semua aspek kehidupan menjadi hak yang tidak bisa ditawar, yang berarti bahwa setiap keputusan terkait penyandang disabilitas harus melibatkan mereka secara langsung. Hal ini, seperti diungkap James I. Charlton dalam Nothing About Us Without Us (2000), bertujuan untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut sesuai dengan realitas kehidupan mereka dan tidak justru memperburuk stigma atau diskriminasi terhadapnya.

Penghayat dan Inisiatif Merawat Lingkungan

Artikulasi tentang praktik baik lainnya juga dinarasikan Sasmito Gati. Ia memaparkan pelbagai inisiasi yang dilakukan oleh PEBM, mulai dari pengelolaan sampah hingga pelestarian budaya lokal. Sebagai contoh, mereka rutin mengadakan acara-acara budaya dan keagamaan, seperti nyadran di Desa Salamrejo, yang memadukan partisipasi dari umat Islam, Nasrani, dan penghayat kepercayaan.

Selain itu, PEBM juga mendorong desa-desa di Kulon Progo untuk menjadi desa inklusi sosial dan budaya. Hasilnya, Desa Salamrejo, sebagai misal, kini telah dikenal sebagai desa budaya dan desa inklusi. Tidak berhenti di situ, Sasmito bersama komunitasnya juga terlibat dalam upaya mengelola sampah rumah tangga untuk dijadikan maggot (belatung) sebagai pakan ternak. Sasmito mendaku bahwa ia mengajarkan warga cara beternak ayam dengan modal kecil tetapi tidak membebani lingkungan.

Praktik-praktik kecil namun konsisten yang dilakukan oleh PEBM ini, seperti pengelolaan sampah dan ternak, adalah kontribusi samar yang berdampak signifikan bagi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Artinya, mereka mencoba untuk menumbuhkan kesadaran dalam menjaga lingkungan dalam kerangka pemahaman bahwa ia dianggap signifikan pengaruhnya terhadap keberlanjutan manusia. Dalam konteks ini, lingkungan dipandang dalam keterkaitannya dengan praktik sehari-hari yang mereka lakukan.

Sayangnya, praktik-praktik baik tersebut justru berbanding terbalik dengan perlakuan pemerintah, termasuk stigmasisasi pejoratif yang dilekatkan kalangan awam pada mereka. Dalam beberapa regulasi yang ada, pada satu sisi, negara memang telah merekognisi aliran kepercayaan, misalnya dalam UUD 1945 (Pasal 28E) dan Putusan MK pada tahun 2017 silam. Namun, pada sisi yang lain, alih-alih direkognisi diskriminasi itu tidak sepenuhnya hilang, melainkan bermetamorfosa dalam bentuk yang baru.

Zainal Abidin Bagir (2020), sebagai misal, mengkritik kebijakan Kemendagri yang gagal memahami sepenuhnya Putusan MK mengenai pengakuan terhadap penganut kepercayaan. Kemendagri memisahkan kolom agama dan kepercayaan di KTP, yang pada satu sisi hanya memudahkan mereka untuk mencatat hal-hal yang bersifat administratif, tetapi pada sisi lain justru memperkuat pembedaan biner antara agama dan kepercayaan. Artinya, cara demikian justru mengarah pada upaya simplifikasi cara beragama penganut kepercayaan yang sangat heterogen dan kompleks, tanpa benar-benar mengurangi diskriminasi terhadap mereka.

Sampai tahap ini, meskipun negara dan masyarakat awam masih memandang kelompok-kelompok rentan seperti difabel dan penghayat sebagai yang liyan, hal ini tentu tidak boleh dinormalisasi. Dalam konteks demokrasi substantif, kesetaraan hak bagi kelompok disabilitas dan penghayat menjadi hal yang mendasar. Demokrasi substantif mengandaikan bahwa demokrasi bukan sekadar partisipasi formal, tetapi juga memastikan semua warga, termasuk kelompok rentan, benar-benar menikmati hak dan perlindungan yang setara.

Oleh karena itu, kesadaran bahwa mereka memiliki hak yang setara dengan warga negara lainnya perlu terus didiseminasikan. Baik kelompok disabilitas maupun penghayat harus didorong untuk menjadi “subjek aktif” bukan “objek pasif” mulai dari tahap perumusan hingga implementasi kebijakan yang melibatkan mereka.

 

Simak tayangan selengkapnya:


Kontributor: Abd. Rasyid

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button