Demokrasi bagi Kelompok Rentan: Tantangan dan Harapan Menyongsong Transmisi Pemerintahan
Highlight FKD 7
Kelompok rentan acap kali menjadi korban dan menjadi kaum terpinggirkan di tengah hiruk pikuk pemerintahan. Keberadaannya terabaikan atau mungkin sengaja diabaikan dalam tata kelola pemerintahan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Namun, di tengah keriuhan pesta demokrasi, kelompok rentan cenderung dijadikan alat untuk meraup keuntungan perolehan suara bagi kalangan tertentu. Namun apakah benar suara kelompok rentan diperhitungkan dalam kancah demokrasi di Indonesia?
Tulisan ini merupakan sebuah narasi dari hasil perbincangan dengan dua narasumber yang berasal dari kelompok rentan dengan pengalaman demokrasi di Indonesia. Kelompok rentan pertama berangkat dari permasalahan diskriminasi agraria yang telah berlangsung selama belasan tahun. Kelompok kedua berasal dari penghayat kepercayaan dan sering kali mengalami perlakukan diskriminatif dari masyarakat di sekitarnya.
Pengalaman Berdemokrasi
Warga Kampung Pecinan Tambak Bayan menjadi kelompok rentan yang mengisahkan pengalaman berdemokrasi di tengah negeri ini. Tambak Bayan secara geografis masuk di wilayah Kota Surabaya, Jawa Timur. Wilayah tersebut merupakan salah satu wilayah pecinan atau tempat berkumpul dan tempat tinggal peranakan Tionghoa. Awalnya, warga kampung Tambak Bayan menganut kepercayaan Konghucu.Kampung Tambak Bayan menjadi dikenal di kalangan publik tatkala terjadi kasus sengketa tanah yang melibatkan mafia tanah. Suseno Karja atau sering disapa Om Seno yang merupakan pelaku sejarah menuturkan bahwa sengketa tanah dimulai antara warga kampung Tambak Bayan dengan salah satu perguruan tinggi, kemudian terjadi tukar guling hingga bersengketa kembali dengan managemen sebuah hotel di wilayah tersebut.
Tapi sejak dulu, kami sudah membayar iuran, zaman dulu istilahnya IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) yang sekarang jadi PBB … baru 2024 ini PBB kami tidak keluar dengan alasan nilainya di bawah 18 juta jadi kami gak pernah pajak tanahnya sekarang.”
Om Seno juga menceritakan perjuangannya menempuh jalur hukum untuk menyelamatkan lahan hidup warga Tambak Bayan mulai dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung. Dengan pengalaman tersebut, warga kampung Tambak Bayan merasa bahwa demokrasi belum dapat seutuhnya dirasakan oleh seluruh rakyat di Indonesia. Jikalau Demokrasi dijalankan dengan baik, maka Sila Ke-lima Pancasila akan dapat dirasakan oleh seluruh warga Indonesia, tanpa memandang ras, suku, agama, golongan dan strata sosialnya.
Pengalaman selanjutnya dituturkan oleh Ibu Yetti yang merupakan seorang penganut kepercayaan Kawruh Budi Lestari Adjining Djiwo atau biasa disebut dengan komunitas BULAD. Komunitas ini berpusat di Kepanjen, Kabupaten Malang, yang merupakan turunan Mbah Citro yang ke 7. Sejalan dengan namanya, roso kawruh menjadi ajaran utama dalam komunitas ini. Sayangnya, meski telah diakui oleh pemerintah, masyarakat sekitar masih menganggap komunitas ini menjalankan ilmu klenik dan menganut ilmu hitam.
Dari dulu orang penghayat semenjak G30S, orang beragama melihatnya dianggap bukan merupakan bagian dari agama, sehingga banyak yang tidak memahami bahwa kepercayaan BULAD merupakan salah satu aliran kepercayaan yang ada dan diakui oleh Pemerintah Indonesia.”
Dalam pengalamannya, hal buruk pernah terjadi tatkala ada salah satu siswa penghayat sempat tidak keluar nilainya karena dianggap bermasalah dengan pelajaran agamanya. Padahal telah ada penyuluh dan pengajar penghayat yang telah diakui oleh negara. Permasalahan ini menyebabkan kepala sekolah tidak mau tanda tangan, sehingga nilai siswa tersebut tidak dikeluarkan.
Permasalahan yang dialami menjadi pelecut semangat untuk memperkenalkan diri di tengah masyarakat melalui keikutsertaan di dunia politik. Ibu Yetti dengan semangatnya memperjuangkan eksistensinya dalam berdemokrasi di Indonesia. Dalam perjuangan tersebut, tidak sedikit orang mempertanyakan agama apa itu, aliran apa itu, dan lain sebagainya. Kabar baiknya, masyarakat yang lebih luas mengenal BULAD dan eksistensinya.
Membangun Jejaring
Pengalaman dalam usaha berdemokrasi telah memberikan pelajaran berharga untuk membangun jejaring, baik dengan mahasiswa maupun dengan masyarakat secara umum. Jaringan ini berguna untuk menguatkan ikatan yang telah ada, serta mematangkan gerakan yang lebih sistematis dalam upaya merebut ruang demokrasi bagi kelompok rentan di masyarakat. Jejaring perlu dilakukan dengan sesama komunitas penghayat, pemerintah, aktivis juga kelompok akademisi. Jejaring ini dapat menjadi sarana untuk menyebarluaskan empati dan simpati kepada masyarakat secara luas.
Jaringan antar komunitas dapat menjadi penguat tercapainya cita-cita bersama dalam demokrasi. Tak dapat dipungkiri bahwa demokrasi yang ada di Indonesia masih timpang. Dalam pendapatnya, Samsul Maarif menyatakan bahwa,
Saya melihat bahwa demokrasi sebagai sistem itu menempatkan semua warga sama setara. Minoritas itu sesungguhnya dalam demokrasi enggak boleh ada karena kita bicara per orang semuanya setara. Jadi kalau ada perlakuan bahwa kita didiskriminasi atau karena kita sedikit, harus kita lawan. Saya kira demonstrasi yang hari ini berkembang adalah untuk melawan pembajakan demokrasi, itu adalah untuk mengembalikan demokrasi itu kepada kita. Saya kira minimal kita di sini dan saya kira ada banyak yang terus berjuang bersama bahwa mayoritas-minoritas tidak tepat dan harus diubah dan mungkin di tangan kita melakukan apa saja. Buat saya sih yang Pak Suseno lakukan, Mbak Yetti lakukan, dan teman-teman penghayat, teman-teman yang terus diminoritaskan adalah bentuk upaya mengembalikan demokrasi itu ke tangan sampai titik langkah kita harus lakukan semua sampai enggak bisa lagi melangkah terus saja. Ini Pak ya dan apa yang kita lakukan ini adalah upaya untuk menjaring itu agar gagasan bahwa demokrasi ini milik rakyat diperjuangkan oleh rakyat adalah hakikat yang kita ingin lakukan”.
Di samping itu, komunitas BULAD berharap bahwa akan adanya pemerintah yang baru dapat lebih memberikan jaminan keamanan dan jaminan sosial bagi kelompok penghayat. Sementara itu, Warga Kampung Tambak Bayan berharap jika pemimpin yang baru merupakan pemimpin yang amanah, sehingga dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya. Suara dari kelompok rentan memberikan sinyal bahwa demokrasi belum berjalan dengan baik. Diperlukan bangunan masyarakat yang kuat serta jejaring sosial yang solid untuk dapat merebut serta menegakkan demokrasi yang timpang di Indonesia.
Selengkapnya:
Kontributor: Fibry Jati Nugroho & Miftah Firdaus Zein, Volunteer ICIR