Angkatan IIProgramSekolah Agama Leluhur

Trilogi Leluhur: Menerapkan Ilmu dalam Kehidupan Sehari-hari

Pada 23 hingga 25 Juni 2024, Sekolah Agama Leluhur (SAL) Angkatan II diselenggarakan di Sanggar Candi Sapta Rengga Yogyakarta oleh ICIR Rumah Bersama, CRCS UGM, Yayasan LKiS, MLKI, dan didukung oleh Universitas Oslo. SAL Angkatan II menekankan pentingnya penguatan kapasitas kewargaan penganut agama leluhur melalui berbagai kegiatan edukatif dan interaktif. Program ini tidak hanya menyalurkan pengetahuan tentang ajaran leluhur tetapi juga mendorong peserta untuk membangun jejaring sosial yang kuat, yang sangat penting dalam mencapai kewargaan inklusif.

Di antara banyak topik yang dibahas, trilogi pengetahuan dan laku dalam agama leluhur menjadi sorotan utama yang memberikan wawasan mendalam tentang prinsip-prinsip dasar ajaran leluhur. Artikel ini akan mengeksplorasi trilogi tersebut, serta peran Sekolah Agama Leluhur dalam konteks ilmu dan ngelmu, serta bagaimana keduanya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Trilogi Pengetahuan dan Laku dalam Agama Leluhur

Trilogi pengetahuan dan laku yang diusung dalam diskusi Sekolah Agama Leluhur Angkatan II terdiri dari tiga filosofi utama: Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Gusti, dan Memayu Hayuning Bawono. Tidak hanya memberikan landasan filosofis, ketiganya juag memberikan landasan praktis bagi penganut agama leluhur untuk memahami posisi mereka dalam dunia ini dan bagaimana berinteraksi dengan lingkungan serta sesama manusia.

Saya mendapatkan kesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut sebagai mahasiswa CRCS. Dalam sesi diskusi bersama para Penghayat Kepercayaan mengenai trilogi, para peserta dibagi menjadi 5 kelompok yang kemudian mempresentasikan hasil diskusi mereka. Berikut merupakan hasil diskusi kelompok di mana saya terlibat di dalamnya.

Sangkan Paraning Dumadi membahas asal-usul kehidupan dan tujuan akhir dari eksistensi manusia. Ajaran ini mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki awal yang sama dan tujuan akhir yang luhur, yaitu kembali kepada Sang Pencipta. Selain itu, setiap individu pasti memiliki “percikan” dari Sang Pencipta yang berfungsi sebagai pengingat akan dari mana kita berasal dan tempat akhir kita kembali. Dalam pembahasan falsafah ini, peserta diajak untuk mendalami makna dan implikasi dari pemahaman ini, serta bagaimana hal tersebut membentuk pandangan mereka terhadap kehidupan dan tujuan mereka.

Manunggaling Kawula Gusti merujuk pada penyatuan antara manusia dengan Tuhan. Konsep ini mengajak setiap individu untuk merasakan kedekatan dan kesatuan dengan Sang Pencipta dalam setiap aspek kehidupan mereka. Dalam prakteknya, hal ini tercermin dalam perilaku sehari-hari yang penuh kasih dan kebijaksanaan. Diskusi ini memberikan pemahaman tentang bagaimana prinsip penyatuan ini dapat diterapkan dalam interaksi sosial dan spiritual. Falsafah ini juga sangat terkait dengan falsafah sebelumnya, yang lebih menekankan kesadaran bahwa Sang Pencipta ada dalam diri kita. Sehingga kita perlu untuk selalu memperhatikan bagaimana tingkah laku keseharian kita.

Memayu Hayuning Bawono berfokus pada upaya memperindah dan memperbaiki dunia. Konsep ini menekankan tanggung jawab manusia dalam menjaga harmoni alam dan sosial serta kontribusi positif yang dapat diberikan untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Peserta diajak untuk merenungkan peran mereka dalam upaya ini dan bagaimana mereka dapat berkontribusi secara aktif dalam komunitas mereka.

Ilmu dan Ngelmu: Dari Pengetahuan ke Praktik Sehari-hari

Ilmu merujuk pada pengetahuan yang diperoleh melalui proses belajar informal dan pendidikan formal. Dalam hal ini, ilmu mencakup pemahaman tentang ajaran leluhur, seperti trilogi pengetahuan yang telah disebutkan. Ilmu adalah dasar yang penting, namun untuk benar-benar memberdayakan diri dan komunitas, pengetahuan tersebut harus diinternalisasi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ngelmu, di sisi lain, adalah ilmu yang telah terwujud atau diterapkan dalam tindakan sehari-hari. Ini mencerminkan bagaimana pengetahuan yang diperoleh menjadi bagian integral dari perilaku, keputusan, dan interaksi kita. Melalui diskusi yang telah dilakukan, ngelmu berarti bagaimana prinsip-prinsip dari trilogi pengetahuan, seperti memperindah dunia dan menyatukan diri dengan Tuhan, diterapkan dalam aktivitas sehari-hari peserta. Misalnya, pengembangan UMKM berbasis nilai-nilai leluhur dan peran pemuda dalam melestarikan tradisi merupakan contoh konkret bagaimana ngelmu dapat diwujudkan.

Harapannya, melalui kegiatan seperti Sekolah Agama Leluhur, para peserta dapat terus mengembangkan kapasitas mereka dalam menerapkan ajaran leluhur dalam kehidupan sehari-hari dan memperluas dampak positif mereka di masyarakat. Semoga inisiatif ini mendorong lebih banyak individu untuk tidak hanya memahami ilmu tetapi juga mengamalkan ngelmu, sehingga menciptakan komunitas yang lebih harmonis, inklusif, dan berkelanjutan. Dengan demikian, pengetahuan leluhur dapat menjadi kekuatan yang menginspirasi perubahan positif dan kemajuan bersama.


Oleh: Amyaz Bill Aufaq

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button