Terminologi ‘aliran kepercayaan’ yang hari ini sering digunakan pemerintah untuk merujuk kelompok penghayat sebagai kelompok di luar agama dunia bukanlah kategori sui generis, melainkan kategori politis. Di satu sisi kategori ini dianggap sebagai proses rekognisi yang menguntungkan dalam beberapa hal. Di sisi lain, kategori ini bekerja secara politis dalam praktik pengelolaan kehidupan penghayat yang kadang menyisakan praktik-praktik yang diskriminatif oleh negara.
Kategori ini juga bukan kategori yang sempurna, sebab, seiring berjalannya waktu, penggunaan istilahnya terus berubah-ubah. Mulai dari aliran kebatinan, kejiwaan, kerohanian, kejawen, kasundaan, agama leluhur, masyarakat adat dan lain-lain. Baru pada era orde baru istilah yang digunakan adalah aliran kepercayaan. Relasi antara kelompok aliran kepercayaan dan negara juga sangat dinamis. Tahun 2017 Putusan MK mengenai pengosongan kartu identitas penduduk (KTP) menuai catatan sejarah baru bagi aliran kepercayaan yang dianggap sebagai langkah yang positif untuk masa depan aliran kepercayaan.
Membicarakan topik ini, Forum Kamisan Daring seri ke-20 menggelar diskusi bertajuk Lika-Liku Perjalanan Anak Bangsa: Refleksi Kepenghayatan pada Berbagai Era. Acara ini digagas atas kerja bersama sepuluh lembaga, ICRS, CRCS UGM, PUSAD Paramadina, PusKAHA FH UP, LIPI, Yayasan Satu Nama, Puan Hayati, MLKI, dan KOMNAS Perempuan, dan IJIR IAIN Tulungagung. Seri ini memberi ruang untuk para penghayat kepercayaan menceritakan kisah perjalanannya selama hidup. Narasi-narasi atas pengalaman hidupnya sangat mencerminkan proses politik yang terjadi di Indonesia. Hal ini masih jarang ditemui mengingat beberapa penghayat mengalami ketakutan dan trauma yang lama saat mengekspresikan identitasnya sebagai penghayat di ruang publik.
Politik Agama dan Aliran Kepercayaan
Secara politis, kategori aliran kepercayaan sebetulnya bisa dianggap sebagai praktik pembentukan subjek-kuasa. Praktik ini dengan sendirinya merupakan proses pendefinisian ulang siapa-siapa saja yang boleh masuk di dalamnya atau bukan. Dengan sendirinya juga, bentuk penciptaan subjek ini menciptakan kategori yang oleh otoritas negara bisa dan tidak bisa ‘dilayani’ hak-hak sipol ekososbudnya (sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya).
Saat hak sipol ekososbud seseorang tidak dilayani karena dianggap bukan merupakan kategori subjek-kuasa tersebut, di situlah adanya proses eksklusi. Kadang sering juga terjadi bahwa kelompok kelompok non-agama dunia tidak masuk dalam kategori tersebut karena dianggap tidak memenuhi syarat definisi. Para penghayat yang masuk dalam kategori tersebut juga tidak serta merta puas, sebab para penghayat sebetulnya merupakan subjek yang telah didefinisikan, dikontrol, dan ditundukan. Kategori tersebut dalam relasi subjek-kuasa juga problematis karena selalu mengandaikan kepatuhan dari para subjeknya. Praktik pendefinisian inilah yang oleh beberapa akademisi (foucauldian) disebut sebagai praktik ‘governmentality’.
Secara historis, menurut Samsul Maarif dalam Pasang Surut Rekognisis Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia (2017), istilah ‘kepercayaan’ baru ada di era Orde Baru. Istilah ini juga sebetulnya sudah ada pada Pasal 29 UUD 1945, tetapi bukan dalam maksud merujuk agama leluhur, melainkan varian kepercayaan dalam Islam. Sementara istilah ‘kepercayaan’ yang merujuk agama leluhur baru menjadi kategori politis pada 1978 melalui TAP MPR IV/1978 tentang GBHN. Era ini, merupakan proses awal rekognisi para penghayat kepercayaan sekaligus era puncaknya politik agama. Di satu sisi ada proses pem-budaya-an, yakni saat agama leluhur dianggap sebagai entitas budaya. Di sisi lain ada proses agamaisasi, yakni ketika negara mengklaim lima agama resmi sebagai agama yang diakui. Konsekuensinya: banyak dari penghayat agama leluhur dipaksa menginduk kepada lima agama tersebut.
Dalam situasi ini, salah satu penghayat yang menjadi narasumber dalam diskusi, Tuti Ekawati (Penghayat dari organisasi Budi Daya), menceritakan pengalamannya bahwa era itu terjadi satu fenomena ketika banyak orang di KTP-nya Islam tetapi tidak pernah sekalipun menjalankan syariatnya. Bahkan mereka sebenarnya lebih tepat disebut sebagai penganut agama leluhur karena kesehariannya masih menjalankan ritual-ritual agama leluhur.
Fenomena itu bisa dipahami dengan mengaitkannya pada politik agama Orde Baru. Beberapa hak sipil dan politik warga negara pada saat itu baru bisa ‘dilayani’ saat kita memiliki Kartu Identitas Penduduk (KTP). Begitupun hak sipil yang berkaitan dengan agama. Pelayanannya selalu merujuk apa yang ada pada kolom agama di KTP. Oleh karena itu, mencantumkan agama resmi pada KTP oleh penganut agama leluhur di satu sisi juga bisa dianggap sebagai bentuk kompromi penganut agama leluhur dalam mendapatkan hak sipilnya. Di sisi lain, itu sebetulnya tidak bisa dianggap sebagai ekspresi keagamaannya. Yang paling konkret untuk melihat agamanya bukan pada KTP, melainkan pada kehidupan praktisnya.
Dampak dari pencantuman agama resmi pada KTP juga berimbas pada pencatatan pernikahan adat, pendidikan agama di sekolah-sekolah, dan stigma di masyarakat. Ibu Tuti menjelaskan bahwa dulu dia, karena orang tuanya mencantumkan Islam sebagai agama di KTP, terpaksa harus mengikuti mata pelajaran Islam. Di sekolah juga belum ada pendidikan agama leluhur –poin ini yang masih terus diperjuangkan oleh para penghayat kepercayaan sampai hari ini.
Dalam pernikahan, menurut Ibu Tuti, pada tahun 1983 kakaknya bisa menikah menggunakan haknya sebagai aliran kepercayaan, tetapi malah pada tahun 2000-an adiknya tidak bisa mendapatkan pencatatan sipil dalam urusan pernikahan. Hal ini, pada Orde Baru, sangat kasuistik disebabkan karena belum ada payung hukum dan juga perlakuannya berbeda-beda tergantung pemerintah daerah setempat. Kadang karena berlakunya parsial, atau malah cenderung politis.
Dalam beberapa kasus saat para penghayat mengurus surat keterangan dari kepolisian sebagai syarat untuk mencari pekerjaan, mereka menjadi bahan tertawaan di pihak kepolisian. Stigmatisasi dari masyarakat juga menjadikan perjalanan para penghayat kepercayaan semakin berliku di era itu. Beberapa penghayat juga sulit mencari pekerjaan karena stigmatisasi dan perlakuan oleh negara dan masyarakat yang cenderung diskriminatif. Hal tersebut tentunya karena rekognisi penghayat yang belum usai dan politik agama orde baru sangatlah problematis.
Dilema Rekognisi Kepercayaan
Kesadaran akan diskriminasi dari praktik politik agama di Indonesia menumbuhkan kesadaran dan keberanian untuk memperjuangkan langsung hak sipol ekososbud. Kalau agama lain bisa, kita (agama leluhur) tidak. Agama dan Aliran Kepercayaan seharusnya mendapat hak yang setara, tetapi kenyataannya tidak. Kondisi ini yang mendorong beberapa di antara penghayat terlibat dalam memperjuangkan hak sipil sampai perjuangan UU Adminduk tahun 2006. Tetapi beberapa di antaranya yang lain banyak juga yang tidak terlibat memperjuangkan hak sipil lantaran masih ada ketakutan dan trauma yang mendalam.
Sejak sebelum kemerdekaan, beberapa penghayat sebetulnya terlibat langsung dalam perjuangan melawan kolonial seperti organisasi Budi Daya. Sesepuh organisasi Budi Daya, bapak Meikarta Winata (1897) terlibat dalam pergerakan anti-kolonialisme dan gerakan kemerdekaan. Ia bahkan bertemu dengan Bung Karno dan terlibat dengan gerakan persiapan kemerdekaan. Pak Mei, sebagai sesepuh pada waktu itu, bahkan juga turut berbicara Pancasila. Pada tahun 1950, Ia juga mendirikan partai PERMAI (Persatuan Marhaen Indonesia) dan mendapatkan kursi di parlemen.
Salah satu narasumber lain, Pak Suroso, Ketua Palang Putih Nusantara (PPN) Kejawen Urip Sejati, juga menjelaskan bagaimana para sesepuhnya terlibat melawan penjajahan. Pascakemerdekaan pun para sesepuh pernah membentuk partai lokal. Tetapi sejarah dan narasi pergerakan dari bawah ini sangat jarang ditemui.
Di Indonesia, penghayat kepercayaan seolah-olah diberi ruang, seperti adanya wadah ‘Mimbar Kepercayaan’ di stasiun TVRI, pencetusan istilah aliran kepercayaan, dan MK mengizinkan bisa mencantumkan aliran kepercayaan di KTP pada 2017. Tetapi, bagi Okky Puspa Madasari, sebagai penanggap dalam diskusi tersebut, hal itu lebih tepat dilihat sebagai bentuk arogansi negara dalam mendefinisikan agama di luar agama resmi. Praktik arogansi negara ini dengan seenaknya menempatkan realitas yang plural ke dalam satu kategori yakni Aliran Kepercayaan terhadap Tuhan YME. Konsekuensinya bukan hanya pada hilang atau tergerusnya keberagaman dari aliran kepercayaan tersebut, tetapi juga praktik reifikasi yang menyertai dibelakangnya sebagaimana kasus Hinduisme di India, misalnya.
Di tahap ini sebetulnya dilema terjadi: apakah rekognisi Aliran Kepercayaan ini menjadi kabar baik dalam persoalan hak sipol ekososbud, atau justru sebaliknya menjadi subjek-kuasa yang baru bagi sejarah perjalanan penghayat ke depannya. Dengan adanya rekognisi dari negara, dengan sendirinya penghayat memberikan otoritas negara untuk mendefinisikan ulang apa yang sejak awal disebut sebagai ‘aliran kepercayaan’. Terlepas dari seberapa inklusif negara memberikan definisi tersebut, kekuasaan akan tetap bisa membuatnya eksklusif sejauh itu dibutuhkan oleh kekuasaan. Artinya, meskipun hari ini kita punya definisi yang inklusif mengenai aliran kepercayaan, kita sulit untuk tahu kekuasaan model apa yang akan menggunakan definisi tersebut.
Hari ini, saat rekognisi penghayat mulai membaik, praktik-praktik diskriminasi juga masih banyak ditemui, khususnya dalam kasus-kasus pernikahan. Dalam pernikahan beda agama, antara penganut agama-dunia dan agama leluhur menikah, misal, kalau perempuannya seorang penghayat biasanya dia mengalah untuk ikut dalam agama suaminya. Hal ini karena negara tidak mengayomi dari pernikahan beda agama. Meskipun dalam Adminduk tercantum perkawinan beda agama, praktiknya sangat sulit mendapatkan pengakuan. Padahal, mereka sudah menikah secara adat (agama leluhur) dan secara agama (dari Islam, misal). Akhirnya perempuan biasanya mengalah. Ini berdampak pada menurunnya jumlah penghayat kepercayaan.
Dalam pendidikan formal, pendidikan agama dunia juga menjadi titik perubahan paling signifikan bagi penghayat untuk mengonversi agamanya. Beberapa agama dunia difasilitasi oleh negara, tetapi agama leluhur hampir tidak difasilitasi. Memang betul negara merupakan ruang kontestasi, tetapi ruang kontestasi ini adalah ruang yang tidak pernah seimbang sedari awal.
Tautan rekaman diskusi: https://www.youtube.com/watch?v=MhovV6MWdJk
Penulis: Ronald Adam