ArtikelVideo

Penghayat Kepercayaan/Agama Leluhur Menyikapi Masa Adaptasi Kebiasaan Baru

Untuk menekan penyebaran wabah COVID-19 dan sekaligus menjaga laju ekonomi dan kehidupan sosial, pemerintah membuat aturan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB—sebelumnya disebut Kenormalan Baru atau New Normal). Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kebijakan masa Adaptasi Kebiasaan Baru, di antara sektor sosial yang terdampak ialah sektor keagamaan. 

Namun demikian, penerapan kebijakan AKB ini masih mengalami kendala yang berkisar pada ketidaksiapan pemerintah dan banyaknya masyarakat yang enggan menaati peraturan. Pemerintah sendiri sudah berusaha melakukan perhitungan epidemiologis untuk mempertimbangkan sektor-sektor vital yang boleh beroperasi kembali di masa AKB, yang antara lain mencakup beberapa sektor keagamaan. Sejauh mana kesiapan pemerintah dalam memperhitungkan dampak AKB terhadap umat beragama? Bagaimana kesiapan umat beragama sendiri untuk menjalankannya?

Hampir semua agama mengutamakan ritual yang di dalamnya terjadi kontak satu sama lain secara langsung. Pandangan dari sebagian umat beragama yang cenderung fatalistik dalam menyikapi wabah COVID-19 kadang menambah masalah baru dalam penerapan AKB. Pada kenyataannya, sejumlah perkumpulan keagamaan telah menjadi penyebar utama virus (super spreader). Kendati demikian, umat beragama di Indonesia terus beradaptasi melalui fatwa-fatwa dan himbauan dari pemimpin agama masing-masing. Kelompok penghayat kepercayaan atau agama leluhur pun tidak ketinggalan. Mereka memiliki sejumlah strategi di masa AKB.

Bagaimana kelompok yang disebut terakhir itu beradaptasi di masa kebiasaan baru ini dibahas dalam diskusi rutin Forum Kamisan Online Rumah Bersama pada 11 Juni 2020. Diskusi ini diisi oleh beberapa kelompok penghayat yang dipandu oleh Wandi Lumbanraja dari Ugamo Parmalim, Gress Raja dari Pelajar Kawruh Jiwa, Juwita Jatikusuma Sunda Wiwitan, dan peneliti LIPI Ahmad Najib Burhani. Diskusi ini merangkum berbagai tradisi yang bersumber pada kesadaran sebagai makhluk sosial untuk menerapkan keteraturan hidup, strategi bertahan, dan kemampuan untuk merampungkan masalah global melalui konsep spiritual masing-masing kelompok penghayat. 

Kepatuhan sebagai Tradisi

Meskipun pada praktiknya keberadaan kelompok penghayat masih sering terbentur masalah struktural dengan negara, perspektif beberapa agama lokal terhadap pemerintah tidak banyak berubah. Hal ini menjadi salah satu patokan dasar komunitas Ugamo Parmalim untuk menaati pemerintah, yang mereka analogikan sebagai Raja yang mengatur hukum dan tatanan sosial. Kebijakan AKB dengan seperangkat aturan dari pemerintah disikapi oleh penganut Ugamo Parmalim sebagai titah Raja yang wajib ditaati.

Dari satu sisi, sikap penghayat terhadap pemerintah dapat dilihat karena faktor  ‘kepatuhan formal’. Wanri Lubanraja sebagai bagian dari komunitas Ugamo Parmalim menyebutkan bahwa kepatuhan terhadap pemerintah ini tidak terkait dengan masalah spiritual. Ini dapat dilihat sebagai sikap kepatuhan karena adanya ikatan yang disebut oleh Bikhu Parekh dalam Rethinking Multikulturalism: Cultural Diversity and Political Theory (2000) sebagai gerak komunitas minor berupa kesadaran keterikatan secara kultural (culturally embeded) dengan subjek yang lain, yaitu pemerintah yang sah. Komunitas penghayat menyadari bahwa mereka hidup dalam dunia yang telah terstruktur secara kultural dan karenanya mereka menjalankan relasi-relasi sosialnya sebagai warga negara. 

Mengenai subjek ‘yang lain’, kepatuhan terhadap pemerintah juga mempunyai tendensi ke arah paradigma agama leluhur (indigenous religion) yang terbagi ke dalam tiga jenis prinsip, yaitu tanggung jawab (responsibility), etika (ethics), dan hubungan timbal-balik (reciprocity). Ketiga hal ini merupakan relasi intersubjektif yang ditawarkan oleh Samsul Maarif dalam ‘ndigenous Religion Paradigm: Re-Interpreting Religious Practices of Indigenous People (2019). Kepatuhan terhadap AKB berupa protokol kesehatan dan sosial adalah bagian dari prinsip rasa tanggung jawab (responsibility) atas kesejahteraan antarsubjek untuk mematuhi aturan sosial dan menjaga subjek yang lain. 

Berlakunya paradigma ini tampak dalam mudahnya komunitas Ugamo Parmalim menafsirkan kembali ritual keagamaan mereka untuk merespons AKB seperti penutupan rumah ibadah dan mengganti sistem persembahan. Sebagai ganti, konsep rumah ibadah ditafsirkan sebagai tubuh, sehingga tubuhlah yang digunakan sebagai medium untuk beribadah secara mandiri. Seserahan yang biasanya dilakukan di rumah ibadah berupa jeruk purut, dupa, bane-bane, dsb, ditafsirkan ulang dengan menggantinya dengan bagian inti dari tubuh manusia yaitu, hati, darah dan nadi. Tafsiran ini diterima dengan baik di kalangan penganut Ugamo Parmalim. Mereka dapat tetap beribadah dan segaligus tetap taat kepada anjuran pemerintah.

Senada dengan Ugamo Parmalim, kelompok penghayat Pelajar Kawruh Jiwa juga menekankan konsep ‘kesadaran eksistensial’ sebagai ‘ethics’ dan ‘responsibility’ dalam rumus nyawang karep (mengadili diri) agar tidak berlebihan dalam bersikap dan menjaga ketamakan semasa pandemi. Kesadaran tersebut berupa pelestarian raga yang siap menerima perubahan. 

Kembali Selaras

Kekhawatiran terhadap pandemi Covid-19 sebenarnya merupakan sesuatu yang asing bagi komunitas agama lokal di Indonesia. Sebab, warisan tradisi leluhur yang diturunkan melalui ajaran-ajaran yang digunakan oleh para penganut agama lokal di Indonesia telah menuturkan bagaimana seharusnya bersikap dalam pandemi. Pada abad lalu, Nusantara telah menghadapi situasi kala virus menyebar dan menyebabkan bencana yang tak sedikit memakan korban jiwa. 

Di antara virus itu ialah kolera dan pes, yang dulu disebut pagebluk, yang menyerang pulau Jawa. Penyebaran penyakit menular juga pernah melanda Sumatera, khususnya masyarakat Batak, yang mereka sebut dengan Begu Attuk. Respons yang terjadi adalah terciptanya kesenian lokal seperti dhongkrek; perlengkapan untuk melindungi diri dari virus seperti sayur padhamara, barikan; dan juga berbagai tradisi lisan berupa dongeng atau lagu-lagu yang menceritakan kesiagaan terhadap virus. Sikap antisipatif terhadap pandemi sudah dipelihara dalam tradisi penghayat. 

Kencenderungan menyikapi wabah dalam kesenian lokal dan tradisi antisipatif tersebut, jika mengacu pada paradigma agama leluhur (indigenous religion paradigm), berasal dari wujud relasi intersubjektif komunitas penghayat dalam memandang wabah. Wujud relasi yang tampak adalah adanya relasi timbal-balik (reciprocity), yakni bahwa wabah adalah dampak dari sikap manusia itu sendiri. Sebagaimana disampaikan Juwita Jatikusuma sebagai salah satu penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, masa pra-pandemi tidak dapat dikatakan ‘normal’ karena kenyataannya semasa pra-pandemi kebanyakan manusia berada dalam hiruk-pikuk, kesibukan, serta kerakusan sehingga terjadi eksploitasi dan polusi terhadap hutan, tanah, air, dlsb. 

Relasi timbal-balik penghayat terhadap aspek-aspek natural yang ditempatkan sebagai subjek memberikan komitmen bahwa wabah itu sendiri adalah akibat ketimpangan relasi antarsubjek. Bila pandangan komunitas agama lokal dalam masa AKB itu dirangkum, penghayat cenderung memaknai bahwa masa adaptasi kebiasaan baru adalah jalan untuk menyelaraskan kembali kesadaran manusia terhadap subjek yang lain.

Ketahanan Psikologis dan Material

Relasi intersubjektif itu memberikan kemampuan bertahan pada masa pandemi secara psikologis dan material. Sebagai contoh dari ketahanan material adalah adanya sistem tani dan lumbung pangan yang diasupi oleh komintas penghayat itu sendiri, seperti Ugasan Saptorop (Ugasan punya bersama) milik komunitas Ugamo Parmalim yang merupakan sistem koperasi lumbung padi dan simpan-pinjam; juga Sunda Wiwitan yang telah menerima dawuh untuk bersiaga dalam keadaan sulit dengan cara menanam dan berternak jauh-jauh hari; juga sistem lumbung pangan bagi komunitas penghayat Ciptagelar; dan penghayat lainnya yang mampu menyediakan ketahan pangan untuk waktu cukup lama. Penghayat di Indonesia mempunyai ciri khas terkair kemampuan komunitas untuk mandiri. Normal/lazim itu sendiri bagi penghayat adalah kemandirian dan keseimbangan antarrelasi.

Dengan ketahanan tradisional ini, pandemi tidak membawa akibat yang serius pada sistem komunitas para penghayat. Sebaliknya, komunitas penghayat di Indonesia dengan tradisinya lebih siap menghadapi pandemi. Bagi masyarakat urban, masa adaptasi kebiasaan baru selalu disandingkan dengan sistem tatanan baru, pro-kontra, dan kurangnya kesiapan pemerintah. Di sisi lain, komunitas penghayat yang sebagian besar berada di pedesaan mampu bertahan karena kemandirian mereka sebagai komunitas yang berdaulat.


Tautan rekaman diskusi: https://www.youtube.com/watch?v=52jQO3u2DVk(Penghayat Kepercayaan/ Agama Leluhur Menyikapi New Normal)

Penulis: Zulfikar RH Pohan

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button