Artikel

Warisan Pangan, Wilujengan, dan Tradisi Saparan Masyarakat Giripurno Borobudur

Tradisi Saparan di Desa Giripurno

Salah satu desa yang terletak di pucuk perbukitan Menoreh, Desa Giripurno, memiliki tradisi yang masih kuat, salah satunya yakni peringatan bulan Sapar atau biasa disebut Saparan. Perayaan tersebut dilakukan dari level dusun hingga desa. Setiap dusun merayakan Saparan dengan cara mereka masing-masing. Dusun Parakan misalnya, merayakan Saparan dengan melakukan mujahadah di mushola yang mereka sebut dengan istilah Rebo Wekasan. Sementara, Dusun Miriombo Wetan merayakan Saparan dengan menggunakan tata cara adat Jawa. Mereka menyebutnya dengan istilah Saparan Merti Dusun.

Sementara itu, untuk level desa, masyarakat Giripurno merayakan Bulan Sapar setiap dua tahun sekali yang mereka sebut sebagai Saparan Sebandot. Menurut sesepuh Giripurno, Mbah Ali Mukhsin, perayaan Sebandot sebenarnya merupakan bentuk ziarah petilasan Kanjeng Sunan Kalijaga yang dilakukan dua tahun sekali di Bulan Sapar sehingga disebut juga sebagai Saparan Sebandot.

Bandot dijenengi saparan, karena dilakukan di Sasi Sapar. Asline niku namung ziarah petilasan Kanjeng Sunan Kalijaga pas zaman riyen madosi balok kanggo Masjid Demak. Wektune luhur kok urung oleh balok ajeng luhuran, nyekel teken ditancepke lemah kok metu banyune koyo uyuh wedus bandot.(Mbah Ali: 2022)

(Bandot disebut Saparan karena dilakukan di Bulan Sapar. Sebenarnya itu hanya ziarah petilasan Kanjeng Sunan Kalijaga. Dahulu ketika mencari balok (kayu) untuk membangun Masjid Demak, waktunya dzuhur namun belum dapat balok lalu mau sholat dzuhur, bawa tongkat dan ditancapkan ke tanah keluar air yang mirip kencing kambing bandot).

Sebandot sendiri merupakan nama dari sumber mata air atau tuk (yang menurut cerita mengeluarkan air berwarna keruh seperti kencing kambing tersebut). Lokasi sumber air ini berada di area lahan sekitar 1000m2 terletak di Dusun Gayam RT 002 RW 001 atau sekitar 300 meter dari Kantor Pemerintah Desa Giripurno. Ziarah Sebandot dilakukan setiap hari Selasa Kliwon di Bulan Sapar. Menurut cerita masyarakat Giripurno, Saparan Sebandot sudah dilakukan sejak zaman Kepala Desa Giripurno yang pertama yakni Simbah Kromoyudo. Prosesi Saparan di Tuk Sebandot dilakukan dengan salah satunya menyembelih Kambing Bandot sebagai bentuk sedekah. Pada mulanya hanya satu ekor kambing yang disembelih untuk prosesi sedekahan dari masyarakat Dusun Pokoh sebagai panitia penyelenggara. Kemudian Dusun Pokoh mengalami pemekaran menjadi tiga dusun yakni Jombor, Pokoh, dan Gayam. Dengan demikian, panitia penyelenggara tetap dilakukan oleh masyarakat dari tiga dusun ini di mana masing-masing dusun mempersembahkan satu ekor kambing sehingga minimal terdapat tiga ekor kambing. Seiring waktu, banyak masyarakat yang memiliki nadzar tertentu dan ikut menyembelih kambing, bahkan pernah sekali waktu terdapat 9 ekor kambing yang disembelih seperti yang terjadi pada tahun 2021.

Aneka Sajian Saparan

Berbeda jenis Saparan, berbeda pula makanan yang disajikan. Pada Saparan Sebandot, masyarakat yang memiliki keterbatasan dana namun memiliki nadzar, boleh hanya menyajikan ayam ingkung yang disertai dengan nasi ambeng. Tetapi mereka yang memiliki nadzar untuk menyembelih kambing harus menyertakan ingkung ayam, tumpeng, dan nasi ambeng. Nasi ambeng merupakan nasi tumpeng yang diletakkan di atas ancak lengkap dengan sayur dan lauknya termasuk jajanan pasar serta hasil bumi. Seluruh persembahan tersebut kemudian dibagikan merata ke masyarakat.

Sementara itu, Saparan tingkat dusun seperti Rebo Wekasan menyajikan nasi ambeng, tumpeng rasul, dan ingkung. Menurut seorang tokoh agama Dusun Parakan, Mbah Dul, masyarakat hari ini lebih menyukai sajian makanan yang lebih sederhana. Selain itu, masyarakat Dusun Parakan tidak lagi memiliki sesepuh yang bisa menjelaskan secara lengkap seperti Mbah Ali Mukhsin di Miriombo Wetan. “Kalau masyarakat sekarang sama, karena tidak ada yang jelasin, tapi kalau di Miriombo Wetan masih ada yang jelasin jadi masih sesuai dengan (adat) sebelumnya. Kalau di luar Miriombo Wetan yang simpel ingkung dan rasul (tumpeng rasul)”, ujar Mbah Dul.

Berbeda dengan Dusun Parakan, di Dusun Miriombo Wetan peringatan Saparan dilaksanakan dengan tata cara adat Jawa, dirayakan dengan acara yang lebih meriah serta menghadirkan aneka rupa pangan yang lebih komplit. Mereka tidak saja menghadirkan sajian wilujengan atau slametan, tetapi juga menghadirkan aneka bentuk sesaji lainnya. Pada Saparan Merti Dusun Miriombo Wetan sebagaimana yang dilakukan pada Agustus 2022, masyarakat mengadakan slametan atau doa bersama dengan menghadirkan aneka pangan wilujengan seperti tumpeng rasul beserta ingkung, tumpeng robyong, jenang abang putih limo pancer, larakan, tumpeng lulut, sego giling, sego golong, dan ragam jenis pangan lainnya seperti nasi, sayur, dan lauk.

Menurut Mbah Ali Mukhsin, tumpeng rasul dan ingkung yang disajikan merupakan bentuk bakti kepada nabi-nabi yang ada, sementara tumpeng robyong ditujukan untuk Dewi Sri yang menjadi lantaran rezeki, lantaran di sini memiliki makna seperti utusan. Adapun jenang abang putih limo pancer, terdiri dari nasi yang dijadikan bubur dan disajikan dengan lepek atau piring kecil. Dua buah piring diisi dengan bubur putih yang kemudian disebut dengan jenang putih, dua piring lainnya diisi dengan bubur yang berwarna merah dengan dicampur gula jawa dan dinamakan jenang abang.

Pancer wonten ngarsane Allah SWT. Jenang abang kangge roh bopo, jenang putih kanggo biyung. Mbok bilih semangkih wonten ingkang modo rupo, mugi mboten ngruko bedo hajatan punika. Mugi-mugi Gusti Allah Ta’ala paring ijabah. (Ali Mukhsin: 2022)

(Tertuju di hadapan Allah SWT. Jenang abang untuk roh bapak, jenang putih untuk ibu. Apabila nanti ada yang menyamar (sebagai bapak dan ibu), semoga tidak mengganggu hajatan ini. Semoga Allah Ta’ala mengabulkan.)

Jenis pangan lainnya yang disajikan dalam wilujengan tersebut yakni tumpeng lulut yang menjadi simbol agar tanaman bisa hidup dengan mudah, dapat memberi manfaat, dan membuat pasokan air di sumber mata air memiliki volume yang lebih besar, serta menjadi pengayoman untuk seluruh warga masyarakat. Tumpeng lulut ini juga mengandung arti ‘keeratan’, hal ini juga sesuai dengan sifat bahan dasarnya yakni beras ketan yang lengket. Hal ini juga dimaksudkan sebagai harapan agar tidak memunculkan pendapat yang kurang baik di masa yang akan datang sekaligus agar seluruh warga masyarakat selalu rukun, semua lulut lahir dan batin.

Jenis pangan lainnya yang disajikan yakni sega giling dan golong. Sega giling yaitu makanan terbuat dari nasi putih yang kemudian dikepal-kepal sehingga membentuk bulatan sebesar kepalan tangan. Sega giling disajikan diatas piring atau ancak dengan jumlah tertentu sesuai dengan hajatan yang dilakukan. Sega giling ini dimaknai sebagai simbol untuk memproses segala permohonan supaya dapat terkabul. Sementara sega golong yakni nasi putih yang dibungkus dengan daun jati dan berjumlah empat belas atau tujuh pasang. Setiap pasangan memiliki makna yang berbeda. Secara umum ketujuh pasang sega golong tersebut merupakan simbol keberlanjutan agar masyarakat serta tanaman yang ditanam memperoleh kehidupan yang baik.

Sesaji
Dokumentasi pribadi: Sesaji dalam perayaan Saparan Merti Dusun Miriombo Wetan

Selain ragam jenis pangan yang disajikan dalam slametan atau yang mereka sebut wilujengan, Saparan Merti Dusun Miriombo Wetan juga menghadirkan sesaji dan tumpeng larakan yang ditempatkan di sembilan tempat yang mereka anggap wingit dan fungsional. Sembilan tempat tersebut di antaranya berupa gunung, perbatasan dusun, dan sumber mata air yang masih digunakan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penempatan sesaji dilakukan dengan cara dikirab diikuti dengan kesenian rakyat jathilan.

Menurut sesepuh Miriombo Wetan, Karjio, pemberian sesaji ditujukan sebagai bentuk syukur dan pengharapan agar masyarakat tetap diberikan keselamatan. Menurutnya, sesaji yang ditempatkan pada ancak atau tempat persegi empat yang terbuat dari bambu adalah simbol empat arah: barat, timur, selatan dan utara. Sementara isinya yakni tumpeng larakan menyimbolkan keswasembadaan pangan karena berisikan aneka rupa jenis pangan yang berasal dari lingkungan sekitar. Tumpeng larakan terdiri dari: tumpeng kecil; polo kapendem (hasil pertanian yang terpendam di dalam tanah seperti bengkoang, ubi); polo gumantung (tanaman yang buahnya bergelantung seperti pisang); sayuran mentah seperti kobis, tomat, dan wortel; jajanan pasar seperti jenang; sembilan jenis lauk pauk yang sudah dimasak; janur; sebatang dupa; serta kelapa muda.

Degan (kelapa muda) disebut sebagai air dewa karena ada rasa manis alami sekaligus menyegarkan. Lalu sayurnya berupa sembilan warna melambangkan seluruh anggota badan kita yang memiliki sembilan lubang. Untuk sayurnya berasal dari apa yang ada di sekitar kita terdiri dari daun singkong, daun mlinjo, kacang, waluh, kluwih, dan jenis daun-daunan yang enak dikluban lalu semuanya dijadikan satu wadah”, ujar Karjio sebelum memimpin prosesi kirab tumpeng Saparan.

Selain itu, Saparan Merti Dusun juga menyediakan sesaji utuh yang ditaruh di rumah yang dijadikan lokasi peringatan Saparan. Sesaji tersebut terdiri dari cikal dua ganthet (empat buah kelapa tua yang sudah keluar daunnya dan siap ditanam), padi dua ikat, pisang raja, tumpeng, ingkung dan lauk pauknya, satu kelapa muda, janur, jagung empat buah, buah jeruk empat buah, ketela dua biji serta satu kendi yang berisi air dari tujuh sumber mata air yang diberi sesaji dan minuman tujuh warna. Selain itu, sesaji juga menyertakan dupa dan bunga kanthil. Kemudian sesaji tersebut diletakkan di atas pintu masuk rumah yang digunakan untuk peringatan Saparan. Menurut Mbah lurah Pujo, sesaji tersebut diperuntukkan bagi para pepunden Dusun Miriombo Wetan yang barangkali datang untuk ikut memperingati Saparan Merti Dusun.

Nek saparan niku, Sasi Sapar aliase kejawi kangge menopo tawasul Gusti kita, kangge tawasul para pepunden, Dewi Sri kang nglantari ngei rejeki (Saparan itu ditujukan sebagai bekti kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada pepunden, kepada Dewi Sri yang menjadi perantara rezeki)”, ungkap Mbah Ali.

Analisis Pangan Saparan dan Wilujengan

Terdapat tiga ragam jenis perayaan Saparan di Desa Giripurno, yakni perayaan Saparan dengan cara-cara yang lebih Islami seperti Rebo Wekasan di Dusun Parakan, perayaan Saparan dengan menekankan pada ritual Jawa seperti Merti Dusun Miriombo Wetan, serta perayaan Saparan yang sama-sama menekankan elemen Islam dan Jawa seperti Saparan Sebandot yang merupakan ziarah petilasan Sunan Kalijaga. Sebagaimana yang telah dijelaskan, meski sama-sama merupakan perayaan Saparan, masing-masing menghadirkan sajian yang berbeda dengan konteks dan pemaknaan masing-masing. Tetapi, inti dari ketiga bentuk Saparan tersebut terletak pada acara wilujengan atau slametan yang didalamnya dilakukan doa bersama.

Fenomena tersebut, sejalan dengan pendapat seorang antropolog yakni Andrew Beatty dalam ‘Varieties of Javanese Religion’ yang melihat slametan sebagai ritual universal masyarakat Jawa kendati setiap ritual memiliki tata cara dan aneka rupa sajian pangan yang berbeda-beda. Beatty menekankan multivokalitas yang memungkinkan adanya manipulasi makna demi kepentingan bersama. Saparan di Dusun Parakan misalnya, dilakukan sebagai peringatan Bulan Safar dalam kelender Hijriyah. Dikatakan, pada Bulan Safar sendiri dalam sejarahnya pernah turun berbagai bencana sehingga perlu diadakan sholat tolak bala diikuti dengan aneka rupa pangan yang disesuaikan dengan konteks masyarakat setempat. Sedangkan perayaan Sapar di Dusun Miriombo Wetan, yang disebut Merti Dusun, dirayakan dengan tujuan membersihkan dusun secara spiritual sehingga Saparan dilakukan dengan cara yang lebih meriah termasuk sajian aneka jenis pangan dan sesaii yang lebih lengkap.

Menurut Beatty perbedaan makna pada aneka jenis pangan slametan atau wilujengan dikarenakan sifat pangan slametan yang polisemik dan ambigu sehingga peruntukannya bisa disesuaikan dengan kebutuhan kelompok. Hal tersebut ditujukan agar tercipta kesatuan dan solidaritas kelompok. Hal ini sesuai dengan karakteristik Jawa yang halus dan lebih menekankan pada makna simbolis dan menjunjung tinggi keseimbangan. Di sisi lain, sifat tersebutlah yang menurut Beatty menjadikan slametan bertahan lama.

 

Referensi:

Beatty, Andrew. Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account. netLibrary Edition. Cambridge University Press, 2003.


Penulis: Chusnul C

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button