Forum Kamisan DaringForum Kamisan daring 2024Program

Demokrasi bagi Kelompok Rentan: Praksis Penghayat Kepercayaan dan Transpuan

Highlight FKD 1

Bagaimana kondisi demokrasi kita saat ini? Apakah demokrasi sudah inklusif bagi semua kelompok?

Para pendiri bangsa memilih demokrasi sebagai konsep bernegara karena demokrasi dinilai dapat menghormati sekaligus mengayomi keberagaman sosial di Indonesia. Namun dalam praktiknya, demokrasi tidak selalu berjalan mulus. Terdapat berbagai faktor yang mengakibatkan berbagai kelompok minoritas nan rentan untuk terlibat di panggung demokrasi Indonesia. Kecenderungan utama mengapa demokrasi tidak bekerja secara maksimal adalah diskriminasi dari negara dan dominasi kelompok mayoritas tertentu.

Menyadari akan kendala berdemokrasi bagi kelompok masyarakat di Indonesia, ICIR kembali mengadakan Forum Kamisan Daring (FKD) dengan mengembangkan tema yang tidak hanya berkutat pada agama leluhur dan masyarakat adat, namun juga kelompok rentan lainnya termasuk keragaman gender, orientasi seksual, disabilitas, serta kelompok minoritas atau marginal lainnya. Karenanya, pada forum kali ini, tema yang diangkat adalah “Demokrasi Bagi Kelompok Rentan: Praksis Penghayat Kepercayaan dan Transpuan”. Kami kemudian mengundang dua perwakilan komunitas yang sampai saat ini mengalami kendala dalam menikmati ruang demokrasi yakni Mbak YS Al Buchori yang mewakili kelompok Pesantren Waria Al-Fatah dan Ujang Sumarna dari DMD AK Perjalanan Jawa Barat pada FKD #1 2024 ini.

Berbicara mengenai transpuan, Yogyakarta merupakan sedikit dari ruang aman yang tersedia di Indonesia. Dengan adanya Pondok Pesantren Waria Al-Fatah misalnya, teman-teman transpuan dapat menggunakan haknya  untuk berserikat dan berorganisasi meski dukungan dari negara masih kurang sehingga keamanan mereka belum sepenuhnya terjamin. Bunda YS Al Buchori, dalam diskusi yang berlangsung, menyatakan adanya persekusi dari kelompok fundamental tertentu terhadap Pondok Pesantren Waria Al-Fatah yang notabene merupakan ruang aman bagi teman-teman waria untuk beribadah saat ini. Mereka kemudian melaporkan peristiwa tersebut untuk mendapatkan perlindungan hukum, namun polisi sebagai pelindung warga tidak mengambil sikap apa pun. Menurut Bunda YS, kelompok waria merasakan belum dapat menikmati hak sebagai warga negara untuk mengakses perlindungan dari pemerintah. Pemerintah (dalam hal ini polisi dan pihak keamanan lainnya) lebih tunduk pada suara kelompok mayoritas tertentu yang memiliki kekuatan besar dalam mengendalikan sikap pihak keamanan. Sampai hari ini, kelompok waria Al Fatah belum merasa aman untuk terlibat di ruang publik. Karenanya, pemerintah diharapkan dapat memberikan jaminan tertulis untuk keamanan dan kenyamanan (terutama beribadah) bagi teman-teman transpuan.

Ujang Sumarna dari DMD Aliran Kebatinan Perjalanan (AK Perjalanan) Jawa Barat menyampaikan pandangan yang tidak jauh berbeda. Melaporkan hasil pengamatannya, Sumarna menyampaikan terdapat berbagai faktor yang membuat kelompok AK Perjalanan menjadi sangat rentan antara lain faktor kemiskinan, stigma buruk dari mayoritas, diskriminasi pada segi layanan negara, lambatnya sosialisasi pemerintah bahwa negara sudah mengakui status legal AK Perjalanan, dan lain sebagainya. Di sisi lain, pemerintah sendiri juga dirasa belum clear dengan status Penghayat Kepercayaan. Hal ini membuat kelompok rentan seperti Penghayat Kepercayaan sering kali mengalami diskriminasi dan ketidakadilan terutama dalam hal pendidikan dan administrasi. Pendidikan bagi penghayat kepercayaan menghadapi tantangan besar di lapangan meskipun regulasi telah disahkan.

Pada sesi pertanyaan, Samsul Maarif dari CRCS mengajukan pertanyaan, “apa arti demokrasi bagi teman-teman Al Fatah dan AK Perjalanan?” Kedua narasumber memberi respons yang berbeda namun sangat mendalam. Bunda YS berpendapat bahwa demokrasi itu bukan hanya soal pesta demokrasi seperti Pilkada. Demokrasi itu juga terjadi ketika warga mendapatkan haknya dalam keseharian. Sumarna, melanjutkan, dengan penekanan bahwa demokrasi terjadi ketika hak-hak kebebasan berpendapat, kebebasan beragama semua diperhatikan dan dilindungi negara.

Lantas bagaimana kedua kelompok tersebut bertahan bahkan beradaptasi terhadap ruang demokrasi yang terkkotak-kotakkan?

Selengkapnya:


Kontributor: Jear Nenohai dan Puja A.D, CRCS UGM

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button