Forum Kamisan DaringForum Kamisan daring 2024Program

Masyarakat Adat dan Penghayat Kepercayaan: Antara Warisan Leluhur, Modernitas, dan Nihilnya Peran Negara

Local wisdom (kearifan lokal) adalah fondasi bagi kehidupan Masyarakat Adat dan Penghayat Kepercayaan di Indonesia. Perkembangan zaman yang membawa arus modernitas menempatkan local wisdom sebagai poros dalam menjaga dan merawat nilai-nilai luhur melalaui pewarisan lintas generasi.

Dalam kesempatan ini, ICIR Rumah Bersama melalui FKD (Forum Kamisan Daring) #12 dengan tajuk “Dilema Modernitas: Praktik Pengalaman Masyarakat Baduy Luar dan Penghayat Kepercayaan” mengundang Kang Pandi dari Masyarakat Adat Baduy Luar dan Agung Begawan Prabu yang merupakan Sekretaris DMD MLKI Kab. Magelang.

Kegiatan yang dimoderatori Nana Karolina dari Wadhah Rindang mendapat umpan baik dari Dewi Kanti seorang Komisioner Paripurna Komnas Perempuan. Secara garis besar, kegiatan ini berusaha memunculkan kembali ingatan dan pengalaman kehidupan Masyarakat Adat dan Penghayat Kepercayaan dalam konteks modernitas.

Adaptasi Masyarakat Adat dan Penghayat Kepercayaan Terhadap Arus Modernitas

Melalui pembacaan atas warisan para leluhur, Kang Pandi mengemukakan bahwa ponsel sebagai salah satu produk modernitas digunakan untuk kebutuhan ekonomi, lain hiburan seperti yang digunakan khalayak ramai. Adaptasi atas modernitas ini dilakukan secara ketat dengan anjuran para Sesepuh guna menjaga ajaran-ajaran leluhur tidak tergerus dan lenyap begitu saja.

Di sini, Pemimpin Adat tidak hanya sebagai pemimpin dalam suatu komunitas melainkan juga memegang otoritas kultural dengan mewarisi tradisi masa lalu dan menghubungkannya dengan realitas masa kini. Sebagaimana fungsi tradisi yang dilontarkan oleh Edward Shils melalui karyanya Tradition (1981) dengan menekankan integrasi nilai-nilai masa lalu tanpa kehilangan identitasnya pada masa kini.

Keberlangsungan tradisi nenek moyang yang diajarkan para Sesepuh terabadikan melalui transmisi lisan Masyarakat Baduy seperti filosofi lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung yang berati bila panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung. Filosofi ini menegaskan tentang bagaimana Masyarakat Baduy melaksanakan perannya sebagai penjaga (termasuk hukum adatnya).

Di satu sisi, arus modernitas yang membawa beragam nilai baru mengharuskan Masyarakat Adat dan Penghayat Kepercayaan melakukan filterisasi. Seperi yang diungkapkan oleh Agung Begawan Prabu (Sekretaris DMD MLKI Kab. Magelang) bahwa filterisasi budaya berguna untuk merawat otentitas budaya lokal. Konteks ini mengingatkan upaya Prabu dalam ranah media di lingkungan MLKI Kab. Magelang yang pada akhirnya diadopsi oleh Dewan Musyawarah Pusat MLKI.

Ia melakukan pengenalan dan melawan stigma yang sering dialamatkan pada Penghayat Kepercayaan melalui kanal-kanal media online. Di mana, arus utama berita kini kerap menggambarkan Masyarakat Adat dan Penghayat Kepercayaan sebagai kelompok yang menolak kemajuan, kuno, tradisional, tidak berkembang, dan berbagai variabel negatif lainnya.

Kiranya, hal ini perlu menjadi perhatian setiap elemen masyarakat agar sadar dan mempelajari apa itu Masyarakat Adat dan Penghayat Kepercayaan agar tidak jatuh dalam stigma-stigma negatif yang jauh dari kata benar.

Absennya Suara Masyarakat Adat dan Penghayat Kepercayaan

Kebijakan negara yang dihadirkan ‘borjuis nasional’ sering kali mengarah pada keberlanjutan dari praktik-praktik kolonial yang semakin memperlemah warisan leluhur. Kehadiran ‘borjuis nasional’ atau pemerintah di sini alih-alih memelihara warisan lokal justru menggantikan posisi-posisi penjajah (Fanon, 1961).

Hal itu nyata adanya, seperti tanggapan oleh Dewi Kanti yang menyatakan bahwa dari tahun 2008 sampai 2023 tercatat ada 67 kasus konflik sumber daya alam yang mengatasnamakan proyek pembangunan dan proyek strategis nasional yang nyatanya semakin meminggirkan dan menjadikan Masyarakat Adat sebagai korban. Fenomena eksploitasi alam oleh Negara ini kerap ditemukan di berbagai desa-desa yang dibalut dengan program-program bernada halus sepert Desa Wisata dan Eksotika Desa.

Maka tak mengherankan jika suara Masyarakat Adat dan Penghayat Kepercayaan nihil dalam perancangan regulasi atau kebijakan negara. Bagi Spivak, dalam karyanya Can Subaltern Speak? (1998) menunjukan kelompok-kelompok yang terpinggirkan seperti Masyarakat Adat dan Penghayat Kepercayaan tidak mampu bersuara karena logika yang dibangun oleh negara yakni logika kapitalisme global ketimbang penghormatan terhadap kearifan lokal.

Dalam konteks pertanian pun demikian, Negara justru melakukan pemerkosaan terhadap tanah dengan menerapkan pupuk kimia yang dianggap menghasilkan panen lebih cepat dan sesuai dengan logika produksi kapitalisme. Padahal, melalui pengalaman Agung Begawan Prabu setelah mempelajari sistem bercocok tanam Masyarakat Baduy beranggapan bahwa tanah juga memerlukan istirahat dengan begitu penggunaan pupuk kimia dirasa sangat tidak ramah bagi keberlanjutan alam.

Padahal, dalam buku Decolonising the Mind (1986) garapan Ngũgĩ wa Thiong’o menjelaskan bahwa penguatan pengetahuan lokal dapat digunakan sebagai gerakan perlawanan terhadap kolonisasi pengetahuan dan budaya. Dengan itu, selaras dengan pandangan Dewi Kanti yang meneropong ketahanan Masyarakat Adat dan Penghayat Kepercayaan pada masa Pandemi lalu yang tetap hidup dengan menggunakan cara-cara kuno.

Maka dari itu, kiranya kita perlu untuk kembali membaca bagaimanakah modernisasi yang perlu untu terus diupayakan. Nilai modernisasi semestinya dikembalikan pada pikiran dan kesadaran yang bijaksana bukan pencapaian-pencapian atau pengakuan-pengakuan, atau bahkan menerapkan sistem-sistem yang tidak selaras dengan warisan leluhur kita.


Kontributor: Satrio Dwi Haryono

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button