UU Pemajuan Kebudayaan dan Masa Depan Pengetahuan Masyarakat Adat dan Penghayat
Menurut Apriliska dari BPAN, UU no.5 Tahun 2017 adalah acuan legal bagi upaya pemajuan kebudayaan. Dengan menyoroti isu pendidikan adat dan agama lokal, Apriliska melihat terdapat urgensi yang perlu untuk diseriusi. Menurutnya, dilihat dari perspektif pemuda adat menyatakan bahwa pemajuan kebudayaan dan pengetahuan lokal dapat dilakukan melalui media literasi dan regulasi yang memadai. Gerakan pulang kampung menjadi isu penting bagi pemuda/i adat guna membangun dan mengupayakan pemajuan budaya serta pengetahuan lokal dan adat. “Masyarakat Adat adalah penjaga bumi” semboyan ini menjadi pendekatan praktis bagi pemuda/i untuk dapat mengambil kesempatan melestarikan kebudayaan. Melalui sekolah adat, pemegang pengetahuan adat dan sumber pengetahuan adat dapat diwariskan dan dipraktikkan bagi generasi berikutnya. “Literasi harus diiringi dengan Regulasi yang mendukung” ujar Apriliska.
Dwi S.Utami, Penghayat Sapta Dharma Semarang, menjelaskan bahwa UU Pemajuan Kebudayaan dirumuskan secara kolektif melalui strategi kebudayaan. Namun, pada praktiknya UU ini justru belum memuat objek-objek kebudayaan secara mendalam, salah satunya adalah sistem Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Dwi, dibutuhkan suatu kesepahaman persepsi dan konsep mengenai kebudayaan dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah bagian dari kebudayaan Nasional atau budaya Indonesia”. Lebih lanjut, Dwi Utami menyampaikan “Kebudayaan adalah nafas kehidupan, dijalani secara spiritual, dan dihidupi oleh perempuan”. Kepercayaan kepada Tuhan YME dalam dimensi kebudayaan nasional termanifestasi dalam berbagai aspek kehidupan (sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain) yang lekat dengan peran perempuan. Kendati demikian, masih terdapat problem dalam upaya-upaya ini, yakni banyaknya kearifan lokal yang belum terdokumentasi dengan baik, solusinya adalah melakukan dokumentasi melalui pendidikan bahasa.
Panji, selaku penanggap, menjelaskan bahwa terdapat fenomena di mana masyarakat Indonesia berada pada keadaan seperti terseret arus, lebih tertarik mengenal budaya luar dibandingkan mengenal budaya dan diri sendiri. Ketidaktahuan terhadap nilai-nilai budaya dapat menyumbang pola pembiaran ketika lingkungan dan budaya menjadi rusak akibat dari eksploitasi yang berbahaya. Sehingga perlu melibatkan peran dari pemuda dan anak-anak dalam upaya pemajuan kebudayaan, hal ini perlu juga disesuaikan dengan konteks pemuda dan anak-anak. Perlu upaya mengemas upaya-upaya ini dalam bentuk yang menarik.
Selengkapnya:
Kontributor: Puti Ayu Anandita
Editor: Puja Alviana