Perjuangan Hak Kelompok Rentan di Indonesia: Sebuah Advokasi yang Terus Berjalan
Kelompok rentan di Indonesia, seperti difabel dan penghayat kepercayaan, sering kali menghadapi berbagai kesulitan dalam mendapatkan hak-hak dasar mereka. Meski undang-undang yang mengatur perlindungan sosial sudah ada, realitas di lapangan masih jauh dari kata ideal. Aksesibilitas fasilitas publik yang minim, stigma sosial yang kuat, dan kurangnya kesadaran masyarakat umum terhadap hak-hak kelompok ini menjadi tantangan utama. Bagi difabel, jalan menuju inklusivitas masih penuh rintangan. Di sisi lain, penghayat kepercayaan masih harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan formal, bahkan dalam hal administrasi yang seharusnya sudah menjadi hak dasar mereka sebagai warga negara.
Masalah-masalah ini menjadi semakin kompleks ketika sistem birokrasi dan minimnya pemahaman publik memperlambat langkah-langkah advokasi yang sudah diupayakan. Kelompok rentan ini tidak hanya terpinggirkan secara sosial, tetapi juga dalam hal akses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
Dalam upaya untuk membahas tantangan-tantangan ini secara lebih mendalam, Forum Kamisan Daring (FKD) Seri 9 digelar pada Kamis, 12 September 2024. Dengan tema ”Advokasi dan Perlindungan Sosial bagi Kelompok Rentan: Pengalaman Praksis Difabel dan Penghayat Kepercayaan” acara ini bertujuan untuk mengangkat isu-isu yang dihadapi kelompok difabel dan penghayat kepercayaan, serta menggali strategi advokasi yang telah dan sedang dijalankan. Acara ini menghadirkan dua narasumber yang memiliki pengalaman panjang di lapangan: Ibu Herta Simanjuntak dari PUANHAYATI Sumatera Utara dan Bapak Syafaruddin Syam, Ketua GEMA Difabel Kabupaten Mamuju.
Advokasi Sosial: Lebih dari Sekadar Kebijakan
Dalam konteks advokasi sosial, difabel dan penghayat kepercayaan sering kali menghadapi situasi di mana mereka diabaikan oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka. Difabel di Indonesia, misalnya, masih sering menemukan fasilitas publik yang tidak ramah, seperti jalan yang sulit diakses, minimnya trotoar yang memadai, serta kurangnya sarana transportasi yang inklusif. Selain itu, mereka kerap kesulitan mendapatkan pekerjaan karena diskriminasi yang masih ada dalam pasar tenaga kerja. Bapak Syafaruddin menekankan, “Advokasi yang kuat diperlukan agar layanan publik bisa benar-benar merata dan ramah bagi semua, termasuk difabel.”
Di sisi lain, pengalaman Ibu Herta Simanjuntak dari PUANHAYATI Sumatera Utara memberikan pandangan yang lebih positif terkait kebijakan. Ia mengungkapkan bahwa ada kemajuan signifikan dalam pengurusan administrasi untuk penghayat kepercayaan di daerahnya. “Administrasi bagi penghayat kepercayaan di Sumatera Utara sekarang sudah jauh lebih cepat dan lebih efisien dibandingkan sebelumnya,” kata Ibu Herta. Hal ini menunjukkan adanya perubahan sikap dari pemerintah daerah terhadap pengakuan hak-hak penghayat kepercayaan, meskipun masih ada tantangan di wilayah lain.
Kolaborasi: Kunci Sukses Advokasi
Dari diskusi ini, satu hal menjadi jelas bahwa advokasi tidak bisa berjalan sendiri. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan komunitas rentan itu sendiri adalah kunci dari keberhasilan advokasi. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Herta Simanjuntak, tanpa dukungan dari komunitas yang lebih besar, advokasi sering kali mandek atau malah menghadapi resistensi.
Keterlibatan masyarakat luas menjadi sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang inklusif. Dalam hal ini, kampanye kesadaran publik melalui media massa, media sosial, dan inisiatif komunitas menjadi salah satu cara untuk mengubah pola pikir masyarakat yang masih terjebak dalam stereotip tentang kelompok rentan. Kolaborasi ini tidak hanya diperlukan di tingkat kebijakan, tetapi juga di tingkat masyarakat, di mana pemahaman tentang keberagaman dan inklusivitas perlu ditingkatkan. Di sinilah peran tokoh masyarakat, media, dan pemerintah menjadi sangat penting.
Membangun Masa Depan yang Inklusif
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan komitmen jangka panjang dari berbagai pihak. Pemerintah harus lebih proaktif dalam mengimplementasikan kebijakan yang telah ada, sementara masyarakat harus lebih terbuka dalam menerima perbedaan dan mendukung hak-hak kelompok rentan. Edukasi dan kampanye kesadaran menjadi instrumen penting dalam hal ini.
Selain itu, penting untuk melihat advokasi bukan hanya sebagai upaya untuk memperbaiki kebijakan atau layanan publik, tetapi juga sebagai perjuangan untuk mendapatkan pengakuan yang setara dalam masyarakat. Difabel dan penghayat kepercayaan tidak hanya membutuhkan layanan yang lebih baik, tetapi juga pengakuan bahwa mereka adalah bagian penting dari masyarakat yang berhak atas hak-hak yang sama seperti kelompok mayoritas.
Dari diskusi ini, kita bisa belajar bahwa advokasi sosial bukanlah tugas yang mudah. Dibutuhkan kesabaran, ketekunan, dan kerjasama untuk menciptakan perubahan yang signifikan. Selain itu, penting bagi kita semua untuk terus mendukung upaya advokasi ini, baik melalui partisipasi langsung, maupun dengan meningkatkan kesadaran di lingkungan sekitar kita.
Advokasi yang berhasil adalah advokasi yang inklusif, melibatkan berbagai pihak, dan berfokus pada penciptaan lingkungan yang ramah bagi semua. Masa depan yang inklusif bisa terwujud, tetapi hanya jika kita semua bergerak bersama.
Selengkapnya:
Kontributor: Sry Lestari Samosir, Dosen Universitas Negeri Medan